Sunday, May 2, 2010

this music for you


Cerita ni q tulis 'tuk shabatq yg sdang mrung...

Dinding-dindingnya begitu gelap, begitu pula dengan langit-langitnya. Ruangan itu benar-benar gelap. Hanya ada seberkas cahaya dari sorot lampu yang menyoroti sesuatu di atas panggung. Para penonton terkagum-kagum melihat apa yang disorot sang lampu. Ya, mana mungkin sih tidak kagum melihat begitu indahnya grand piano berwarna putih yang elegan, megah dan cantik.
Antara percaya dan tak percaya, yang aku tahu, bahwa kenyataanya, grand piano itu sedang menungguku. Menungguku menekan tuts-tutsnya. Menungguku melantunkan lagu. Menungguku memecahkan keheningan ruangan ini. Menungguku membuat para penonton menikmati lagu.
Aku melaju selangkah demi selangkah menuju objek putih satu-satunya diruangan itu. Ketika aku yakin jarakku dengan grand piano cantik ini sudah dekat, pandanganku melayang pada masa lalu. Kini aku tak tahu di manakah aku? Di masa sekarang atau masa kini?

***

Aku masih duduk dengan tenang memperhatikan seorang cowok dengan rambut pirang menekan-nekan tuts-tuts pianonya. Senyumnya yang bak malaikat memerkah seiring lagu di mainkan. Aku betul-betul takjub, bagaimana jemari-jemarinya yang runcing itu dapat menghasilkan alunan musik yang indah dan bahkan dapat membuat yang mendengarkannya bahagia. Lebih manjur daripada obat apapun. Lagu ini betul-betul membuatku melupakan segala masalah dan memberiku kekuatan.
Ketika lagu berhenti, cowok yang telah memainkan lagu itu menoleh padaku dengan masih memasang senyumannya. Aku menarik nafas dalam-dalam dan memulai untuk bicara. Tapi suaraku masih belum bisa keluar. Rupanya aku terlalu terpesona oleh lagu yang dimainkannya tadi.. Akhirnya, ia duluan yang memecahkan keheningan di antara kami.
"Bagaimana lagu buatanku? Asli komposisiku loh..." Nadanya membanggakan tapi terdengar menyenangkan.
"Bagus." Kataku pelan lalu aku tersenyum dan aku melanjutkan. "Bagaimana... bagaimana kau membuat lagu itu. membuatku... bahagia." Seharusnya lebih dari itu, tapi aku bahkan tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat.
Senyuman manis memerkah di wajah cowok itu. "Karena, aku memainkannya dengan sangat bahagia. Tahukah kau, Alice? Lagu apapun yang kau mainkan selalu menyaratkan suasana hatimu."
Aku menggeleng cepat. "Aku tak mengerti, Rey. Aku tak pernah membuat orang lain bahagia dengan lagu yang kumainkan."
Rey mengangguk. "Alice, kau tahu, lagu yang dimainkan juga punya jiwa, jadi, kau harus memainkan lagu dengan sepenuh hati agar jiwamu menyatu dengan lagu. Maka lagu tersebut akan menyaratkan suasana hatimu."
Aku mendengus "Kau puitis sekali Rey... Kalau gitu, gantian, sini aku yang main! Aku akan mencoba menyatukan jiwaku dengan lagu atau apalah yang tadi kamu omongin itu.."

***

Aku sudah terduduk di depan grand piano ini. Kuangkat jemariku dan kuletakkan di atas tuts-tuts putih gading dan hitam pekat. Ketika jemariku mulai melompat lincah, alunan musik terdengar di sela-sela keheningan, telingaku tuli. Aku tak mendengar sedikitpun alunan laguku ataupun desahan kagum penonton. Yang kudengar jauh, sangat jauh di masa lalu.

***

Aku masih ingat siang itu. Rey baru saja selesai memainkan lagu baru buatannya. Aku terheran-heran. Baru kali ini, ia memainkan lagu tanpa ekspresi. Aku sendiri tidak bisa mengkategorikan lagu Rey kali ini adalah lagu sedih, lagu gembira, lagu rindu, atau lagu sembarang. Dan lagi, lagunya begitu singkat, belum ada satu menit aku mendengarkannya, lagu ini sudah habis.
"Aku tidak mengerti, lagu ini, kenapa begitu...?"
"Singkat dan tanpa arti yang jelas?" Sela Rey terlebih dahulu dan aku mengangguk pelan.
Rey menoleh padaku, tersenyum, lalu beralih pada pianonya lagi. Ia tidak memainkannya, tetapi memandangnya dengan tatapan aneh yang susah dijelaskan. Sorot matanya sendu, tapi ia tersenyum.
"Lagu ini, seperti suasana hatiku sekarang. Tak jelas. Haruskah aku senang atau sedih?"
Aku menelengkan kepala. "Kau sedang ada masalah, Rey?"
"Hidup ini singkat, dan aku tahu itu," Kata Rey entah sedang menjawab pertanyaanku atau tidak. "Tapi, apakah kau tak berpikir, hidupku terlalu singkat?"
Dahiku mengernyit, membuat sepasang alisku hampir menyatu. "Kau sedang bicara apa sih?"
Rey mendesah. Entah, ia sadar atau tidak, tapi yang kutahu, jari telunjuknya menekan tuts do sembarangan dan sepertinya ia betul-betul sedang ada masalah berat. Karena, baru kali ini aku melihat Rey yang tanpa ekspresi. Akhirnya, ia mulai bersuara. Suaranya tercekat dan perlahan.
"Dokter memvonisku kanker darah stadium akhir. Umurku tinggal satu bulan," Aku betul-betul tercengang kali ini. Shock sekaligus tak percaya Rey mengatakannya dengan tenang. "Dan aku tak tahu, harus bahagia atau sedih. Jujur saja, aku bahagia kar'na sebentar lagi aku akan bertemu dengan almarhuma mamaku, tapi," Kali ini ia memencet tuts re dan fa bebarengan. "Artinya, aku harus meninggalkan musik indah ini dan kamu 'kan?"
Mulutku terkatup. Tak menyaut, tak berkomentar. Aku betul-betul tak bisa berkata-kata.

***

Jemariku menggelitiki tuts-tuts piano. Dan aku berhasil memainkan lagu ini dengan benar. Aku masih ingat, dulu aku selalu salah memencet fa alih-alih fis pada lagu ini, dan Rey masih sempat menceramahiku.

***

"Aku bukan se-pro kamu!" Protesku yang sedang terduduk di depan piano Rey dan berada di sebelah ranjang tempat Rey berbaring. Atas keingingan Rey sendiri, ia tetap dirawat di rumahnya. Dan atas keinginannya juga, piano hitamnya dipindahkan di sebelah tempat tidurnya.
"Habisnya sih, kamu ini, sudah 10 kali main lagu itu tapi tetap salah." Ejek Rey di sela tawanya.
Wajahku cemberut menatap Rey yang tergelak-gelak tertawa dengan wajahnya yang pucat pasi dan tubuhnya yang sudah rapuh itu.
"Huh! Aku akan memainkan lagu yang pasti sukses membuatmu tidak mengenal enaknya nasi goreng lagi!" Ujarku marah dan jemariku sudah siap di atas tuts piano.
"Loh, aku sudah tidak makan nasi lagi kok belakangan ini, Kamu tidak tahu? Aku makan bubur terus." Suaranya tampak sedih dan aku menoleh padanya.
"Kenapa?" Tanyaku pelan dibalas tawa Rey yang tak jelas.
"Masa sih kamu nggak ngerti? Ini sudah satu bulan setelah vonis kematianku, ingat? Organ-organ tubuhku juga sudah melemah, jadi tinggal tunggu waktu saja." Aku shock mendengar ketenangan di kalimatnya. Tak ada sedikitpun rasa takut pada wajah atau suaranya.
Melihat reaksiku yang muram, Rey mengangkat bicara dengan masih suara yang penuh canda dan tak ada rasa takut. "Alice, kamu pasti berpikir aku orang aneh karena aku tidak merasa takut padahal waktuku sangat singkat?" Aku mengangguk pelan. "Ya, awalnya, aku juga takut. Kematian itu seperti apa. Apakah sangat mengerikan. Awalnya aku memprotes pada Tuhan, kenapa Ia memberiku hidup sesingkat ini? Tapi, sekarang, aku telah mengerti. Tuhan delah menyiapkan rencana indah dalam hidup setiap umatnya. Walau hidupku singkat, hidupku sangat berarti." Rey masih tersenyum. "Aku juga berterima kasih pada Tuhan yang telah mengkaruniakan kamu sebagai sahabatku dihidup ini. Sahabat yang paling top," Rey tertawa dan aku tak tahan untuk tidak tersenyum. "Walau aku sangat sedih harus meninggalkanmu, tapi aku percaya, tanpaku, kau akan tetap menjadi Alice yang top. Tanpaku, Alice bisa membuat penonton terkagum-kagum mendengar lagu yang dia lantukan. Tanpaku, kau akan berusaha menekan fis alih-alih fa. Bukan kah begitu?"
Aku tersenyum walau harus menahan sesuatu yang ingin jatuh di pelupuk mataku. "Aku akan kehilangan kamu Rey..." Ucapku pelan.
"Tidak, kau tak akan kehilangan aku. Aku selalu berada di dekatmu, walau tidak dalam wujud nyata," Rey tertawa. "Aduh, aku bingung sendiri, aku 'kan belum meninggal, kok sudah cerita sampai dalam wujud tak nyata sih?"
Aku mendesah pelan, belum mampu membalas candaannya.Mataku sudah mendidih, siap menyemburkan air mata hangat kapanpun juga. Tapi aku tetap berusaha memasang senyuman.
"Alice, bisakah kau mainkan satu lagu untukku?" Tanya Rey tiba-tiba.
Aku terdiam sejenak mengontrol raut wajahku sejenak lalu menjawab pelan. "Boleh saja, kau mau aku mainin lagu apa? Aku hafal semua lagumu, kok!"
Rey mendengus tawa. "Tentu saja hafal, kau kan penggemarku nomor 1. Tapi bukan laguku yang ingin kudengar, aku ingin kau memainkan lagu Amazing Grace."
Jemariku perlahan menekan tuts-tuts piano. Alunan lagu Amazing Grace mengema di kamar Rey. Lagu ini sangat tenang. Lagu ini jugalah yang mengantarkan Rey ke peristirahatannya yang terakhir. Setelah aku menyelesaikan lagu itu, aku menoleh pada Rey dengan pandangan kabur karena air mataku. Aku tahu pasti bahwa jantungnya telah berhenti berdetak. Matanya suda terpejam rapat, tapi senyuman masih memerkah di wajahnya, dan sebulir air mata membasahi pipinya yang pucat.

***

Penonton bertepuk tangan dan bersiul selesai aku memainkan lagu terakhirku. Lagu terakhir yang didengar Rey pula. Amazing Grace.
Rey, kau benar, Tuhan telah merencanakan segala sesuatunya indah bagi setiap orang. Kini, aku bisa berdiri di sini, karena rencana-Nya yang sungguh mulia. Aku bisa membuat beribu orang terkagum karena Tuhan telah mengirim engkau dalam hidupku sebagai pendorong dan pengubah hidupku.

By: Sy_Jy