Title: The Games Land - Part.2 (New
York Crisis)
Main Cast(s):
~Sandara Park (2NE1)
~Kwon Jiyong
(Big Bang)
~Dong Yongbae (Big Bang)
~Lee Seunghyun as Lee Seungri (Big Bang)
Supporting Cast(s):
-Goo Hara (Kara)
-Yong Junhyung
(Beast)
-Bae Suzy (Miss A)
-Hwang Kwanghee (Ze:a)
-Park Sanghyun/ Thunder
(Mblaq)
-Yang Yoseob (Beasy)
-Do Kyungsoo (EXO K)
-Lee Jieun
-Im Yoona (SNSD)
-Jung
Soojung (F(x))
-Oh Sehun (EXO K)
-Lee Donghae (Super Junior)
-and other. Find
the other cast in the next chapter!
Length: Chaptered
Genre: Adventure, Fantasy, Mystery,
Science Fiction, Friendship, Romance
Disclaimer: Human and thing belong
to God. I only own the plot. Terinspirasi dari banyak novel (Harry Potter,
Percy Jackson, Divergent, Hunger Games) dan komik (Doraemon dan Conan). Happy
reading ^0^
a/n: I only published this fanfict
here and at Indofanfictkpop
Summary: Berapa kali sudah
kau mencoba permainan di playstation, komputer, dan NDSmu? Mungkin kau sudah
lihai memainkan semua permainan di dalamnya. Kau tahu tokoh mana yang bagus dan
jurus mana yang harus dipakai. Kalau kau kalah - game over - kau tinggal menekan
tombol retry, atau play again. Bagaimana jika games itu nyata? Bagaimana jika
kau yang menjadi tokoh utama dalam games dengan berbagai macam jurus dan
kekuatan?
Watch the previous part:
Previously at The Games Land:
Suatu hari Sandara Park mendapat
sebuah tiket tour gratis - yang ia kira berasal dari undiannya. Namun ternyata,
tiket itu malah membawa Sandara Park ke pulau Kynigo - pulau games - yang
bahaya dan penuh tantangan. Di perjalanannya ke pulau itu, mereka dibagi dalam
beberapa gerbong, dan Sandara diletakkan di gerbong Gi -gerbong tanah, di mana
setiap gerbong mewakili kekuatan masing-masing peserta. Di dalam kereta yang
mengantarkannya itu, ia bertemu dengan Seungri yang baik hati, serta Jiyong
yang menawan. Mereka berdua selalu siap bertarung melawan apa saja tanpa rasa
takut. Bagaimana kelanjutannya? Apakah Sandara dapat bertahan dalm dunia baru
ini?
Check this out!
.
.
.
.
And the train stop.
Ketika kereta berhenti, Sandara
berdiri dari tempatnya meringkuk. Ia memindai ruangan dalam gerbong yang telah
amburadul, meninggalkan jendela terbuka dan gorden merah yang berkibar-kibar.
Tapi, sudah tak ada angin laut bertiup, Sandara menyadari. Gadis itu mendekati
jendela. Ia telah sampai. Sampai di pulau itu. Pulau Kynigo. Pulau Games.
Suara gaduh mulai terdengar di
mana-mana. Kegaduhan yang berasal dari alas sepatu yang menghantam-hantam
bergantian. Sandara menoleh ke belakang dan menyadari bahwa kegaduhan itu
berasal dari mereka.
Ya, mereka.
Kepala Sandara masih pusing saat
mengingat kejadian yang baru saja berlangsung beberapa menit yang lalu. Saat
semuanya berjalan, Sandara seakan diajak berkelana dalam petualangan nonstop.
Namun ketika Sandara memiliki waktu untuk berpikir, ia mengatakan pada dirinya
sendiri bahwa ia sedang berada dalam mimpi buruk akibat ramen pedas yang dibuat
Sanghyun. Itu pasti penyebabnya.
Satu persatu orang di dalam gerbong
berjalan menuju pintu keluar. Orang-orang itu dibagi menjadi mereka yang terlau
antusias, contohnya Seungri – laki-laki berambut hitam yang manis, dan mereka
yang seperti baru saja ditendang bokongnya oleh Mike Tyson, contohnya Sandara.
“Ayolah, bersemangat!” Seungri yang
berjalan di belakang Sandara menepuk-nepuk pundak gadis itu. “Kau baru
menghadiahkan dua puluh poin! Mana senyummu?” Lalu ia berjalan mendahului
Sandara sambil nyengir, melambai pada gadis itu sambil berkata, “Sampai jumpat
di Ankolis!”
Sandara mengamati perginya
laki-laki berambut hitam itu. Tersenyum? Bagaimana ia dapat tersenyum?
Baru beberapa jam yang lalu ia
berada di dalam kereta dengan banyak angan-angan tentang liburan. Ia
membayangkan pulau Jeju yang penuh lautan dan romantis. Namun Sandara juga
tidak keberatan dengan bukit-bukit hijau dan kuil-kuil seperti di Jepang yang
dapat dikunjungi untuk berdoa. Lalu beberapa menit yang lalu impiannya
dihancurkan dengan kenyataan bahwa ia dibawa ke tempat ini. Ke tempat di mana
ia mungkin harus bertarung – seperti yang dilakukannya di kereta. Mungkin pula
akan menghancurkan sesuat, sebagai contoh kopernya yang tergeletak tak berdaya
dengan sobekan di tengah.
Di luar kereta, semua tourist
berdesak-desakkan di jalanan sempit stasiun. Langit telah berubah gelap,
sehingga cahaya yang menerangi mereka hanya berasal dari lampu jalan yang di
letakkan berjejer di tepi jalan stasiun. Kini Sandara dapat menemukan ratusan
orang dari ketujuh gerbong.
Sandara masih setengah melamuni
nasibnya yang buruk, berjalan lunglai sambil menggeret kopernya hingga tanpa
sengaja tertabrak baja. Ia berhenti berjalan, melepas kopernya, lalu memegang
hidung dan merintih kesakitan. Ada cairan yang menguar dari sana. Cairan merah
yang berbau karat. Darah?
“Oh, mianhae!” kata seseorang.
Sandara mengangkat kepalanya. Ia sedang berhadapan dengan seorang perempuan
bertubuh jangkung yang memiliki pelindung depan dan belakang tubuh. Pelindung
yang sudah tidak asing bagi gerbong Fortia. “Bajanya kuat sih. Kau bedarah ya?
“Oh ya, tak apa kok,” kata Sandara.
Ia melirik ke sana ke mari. Orang-orang telah berlalu darinya. Untung saja
mereka tidak melihat tingkah bodohnya memegang hidung yang berdarah-darah.
“Tapi kau berdarah,” kata gadis
itu. Matanya membulat. Ia sangat cantik dengan rambut merah tuanya, manis
dengan wajah bonekanya, dan seharusnya feminim jika tidak dilengkapi dengan
pelindung-pelindung hitam “Biar aku bersihkan,”
“Tidak perlu,” kata Sandara
mengibaskan tangannya yang lain. Tapi, ia hanya sungkan. Darahnya terus
mengalir dari lubang hidungnya.
“Tidak bisa begitu,” kata gadis
berambut merah itu. “Tunggu, aku akan mencari sapu tangan… ehm..” Ia melepaskan
ranselnya, membuka resliting tas, dan mengaduk-aduk.
“Sungguh tidak perlu,” ujar Sandara
sekali lagi, ia mengamati sekilas sekitarnya yang telah kosong. “Lagipula aku
yang menabrakmu.”
“Tapi…” Gadis itu bersikeras, masih
mengaduk-aduk tasnya.
“Bom!” Sesorang berseru. Gadis di
depan Sandara menoleh, dan Sandara mengikutinya. Seorang laki-laki terlihat
sedang berjalan menghampiri mereka. “Kau sedang apa di sini? Semua orang sudah
berkumpul mendengarkan pengumuman di Ankonis.”
“Sebentar, Jiyong. Gadis ini
berdarah gara-gara baju bodoh kita!” seru Bom. Ia kembali mencari-cari dalam
tasnya.
Sandara sudah tidak asing dengan
wajah Jiyong. Wajah laki-laki dengan garis-garis sempurna dan ketampanan luar
biasa yang tak pernah ia temukan sebelumnya. Laki-laki dengan rambut merah
menyala seperti api yang dapat ia kobarkan dari telapak tangannya.
Mendadak Sandara mengutuki
hidungnya. Mengapa ia harus berhadapan dengan Jiyong dengan pose memegang
hidung yang mengalirkan darah. Ini memalukan!
“Oh,” Jiyong sudah berada di dekat
mereka. Sandara menunduk agar Jiyong tidak melihatnya. Ia menunduk menatap
sepatunya, sepatu Bom, dan sepatu Jiyong yang baru saja datang.“Geser
tanganmu.”
Awalnya Sandara tidak menanggapi.
Setelah keheningan selama beberapa detik, ia mengangkat kepalanya lagi. Jiyong
tepat berdiri menghadap dirinya. “Kau berkata padaku?” tanya Sandara bodoh.
Jiyong mengangguk. Wajahnya datar,
tanpa ekspresi, seperti biasa.
Menggeser tangannya? Apa yang
diinginkan Jiyong? Sandara menatap laki-laki berparas tampan tersebut untuk
menebak-nebak. Ia mengernyit.
“Kau benar-benar tak mau menggeser
tanganmu?” tanya Jiyong kesal. Ia melangkah mendekati Sandara, mengulurkan
jemariya, menepis dengan lembut tangan Sandara yang memegang hidung. Seharusnya
Sandara dapat mempertahankan tangannya tetap menggantung di hidung, namun
karena terlalu kaget, ia melepaskannya. Jiyong merogoh saku celana
jeansnya dan mengeluarkan selembar sapu tangan bewarna coklat lembut. Ia
mendekatkan wajahnya untuk mengamati Sandara, lalu mengelap dengan hati-hati
hidung gadis tersebut yang berdarah. Tangannya yang lain merengkuh wajah
Sandara, menahannya agar tidak goyang. Tapi Sandara tahu, tanpa ditahanpun,
tubuhnya sudah berubah kaku.
“Aku tahu kau,” kata Jiyong pelan
selesai mengelap darah dari hidung Sandara. Ia menjauhkan wajah dan tangannya
dari Sandara. Jiyong menyeringai. “Kau gadis gila di gerbong Gi, ‘kan?”
Tubuh Sandara masih kaku. Ia
mengerjap sebelum menjawab dengan gugup, “Ya, aku dari gerbong Gi, tapi bukan
gadis gila.”
Jiyong mendengus, namun di bawah
siraman redup lampu jalan, Sandara dapat melihat sudut-sudut bibirnya yang
terangkat membentuk senyum. Senyum itu lagi. Senyum yang entah mengapa membuat
ejekan laki-laki itu menjadi pujian.
Kini laki-laki berambut merah
tersebut melipat sapu tangannya dan mengulurkan benda tersebut pada Sandara.
“Tidak ada yang lebih gila daripada tourist baru yang melawan Kraken seorang
diri. Omong-omong, kalau darahya keluar lagi basuh dengan ini.”
Sandara menerima sapu tangan
tersebut dengan ragu-ragu. Benda itu bertekstur lembut dan dingin. Sepertinya
telah dijaga dan dicuci dengan benar oleh pemiliknya.
“Kau masih menyimpan sapu tangan
itu?” celetuk Bom dengan nada tak percaya di samping mereka. Sandara hampir
melupakan keberadaan gadis itu. Namun, Jiyong tidak menjawab pertanyaannya.
“Kita harus cepat sebelum mulai
pengumuman,” kata Jiyong. Ia menoleh pada Sandara sekilas, lalu turun menatap
koper yang tergeletak di sebelah gadis itu. Tanpa tedeng aling-aling, laki-laki
itu meraih pegangan koper Sandara, lalu menggeretnya dengan santai. “Kita pasti
dapat barisan belakang.”
***
Sandara tidak mengira bahwa Ankolis
hanyalah sebuah ruangan besar yang berada tepat di ujung stasiun. Ruangan itu
gelap dan dari segala sisi dipenuhi kaca tanpa tirai. Penerangan hanya berasal
dari lilin-lilin yang tergantung tinggi di sisi dinding tanpa kaca dan sinar
rembulan yang merembes masuk. Di luar ruangan hanya ada langit yang digantungi
bulan serta kegelapan total di bawahnya. Sandara yang menghabiskan hidupnya di
kota besar seperti Seoul tidak mengerti bagaimana ada tempat yang segelap ini.
Para tourist telah berjejer-jejer
baris di dalam ruangan, hanya menyisakan sedikti tempat bagi Sandara, Jiyong,
serta Bom. Mereka bertiga berbaris di tempat yang tersisa. Sandara berada di
barisan kedua dari belakang, sedang Bom dan Jiyong di paling belakang. (Dan
Sandara telah mendapat kopernya lagi.)
Sepertinya, pengumuman belum
dimulai. Banyak peserta di dalam ruangan masih asyik megobrol satu sama lain,
bahkan ada yang tertawa terbahak-bahak hingga suaranya menggema nyaring di
dalam ruangan. Sandara masih asyik mengamati sekitarnya, dan berhenti ketika
mendapati gadis yang berdiri di sebelahnya. Gadis itu juga sedang menatapnya.
Wajahnya yang hanya berupa bayang-bayang tampak familier.
“Ah!” seru gadis itu. “Aku tahu
kau! Gerbong Gi, ‘kan?”
Sandara mengangguk, lalu ia ingat
siapa gadis itu. Dia adalah tourist baru yang rambutnya ternodai lendir
monster. Gadis berambut hitam yang berwajah cantik.
“Tadi, jeongmal gomawo!” Gadis itu
membungkuk, lalu ia menatap Sandara. “Omong-omong, namaku Goo Hara.”
Sandara tersenyum mengangguk,
“Sandara Park.”
Namun percakapan mereka diinterupsi
sebuah suara. Suara yang memantul-mantul di jendela batu dan menggelegar. Semua
obrolan dan percakapan seketika lenyap. Sandara sendiri seperti sedang
mendengar suara itu bergema tidak hanya dalam ruangan, tetapi juga dalam
otaknya.
“Selamat datang, selamat datang.
Selamat datang di Kynigo Land, tourist lama maupun tourist baru. Kami berharap
kalian semua berhasil melewati level dua dengan baik,” kata suara tersebut.
Sandara tidak dapat menebak apakah itu suara wanita atau pria. “Kami memberikan
selamat dan apresasi bagi semua tourist yang berkumpul di gedung keramat ini,
gedung Ankolis, yang tahun ini genap berusia tujuh ratus tiga puluh lima tahun.
“Dan sekarang, kami akan membacakan
beberapa peraturan yang ada. Pertama, seperti games di tahun sebelumnya, semua
peserta telah diberkahi bakat masing-masing. Hendaknya gunakan bakat tersebut
dengan hati-hati. Kedua, seperti sebelumnya juga, poin dari gerbong kalian
masing-masing akan dimiliki oleh semua anggota gerbong, dan kalian dapat
menukarkan poin tersebut dengan senjata-senjata yang dapat dibeli di toko
peralatan. Tepatnya di tempat ini.”
Tiba-tiba saja, dari kehitaman
pekat di balik kaca, muncul kerlap-kerlip cahaya. Ada sebuah bangunan terbentuk
dari kerlap-kelip tersebut di kejauhan. Bangunan itu cukup tinggi dan seperti
bangunan-bangunan biasa yang ia temukan di tengah-tengah kota Seoul yang padat.
“Lalu, ketiga,” suara itu
melanjutkan. “Kalian tidak diperkenankan melewati batas-batas Kynigo Land jika
kalian tidak ingin menerima kematian yang tidak menyenangkan,” suaranya
terdengar santai dan senang, Sandara merinding. “Keempat, bagi kalian yang
melakukan kecurangan dan game over, akan dikirim langsung ke dalam
Apothikefsi.”
Apothikefsi? Apa itu? Seumur
hidupnya, ini adalah sebuah kata yang terdengar aneh di gendang telingany. Dan
entah mengapa, kata tersebuat membuat Sandara merinding. Mungkin karena cara
sang pemberi pengumuman yang mengucapkannya dengan serius dan terdengar
mematikan.
“Kelima,” suara itu berhenti
sejenak, lalu melanjutkan dengan sangat hati-hati, “kalian boleh berkeja sama,
kalian boleh memiliki teman seperjuangan dalam kelompok. Namun ingatlah, sejak
level tiga kedepan, poin hanya bertambah secara individu. Ini adalah games
Individu. Permaianan yang hanya dilakukan perorangan.”
Sandara menoleh pada Hara. Gadis
itu juga tengah menoleh pada Sandara. Mereka berdua terlihat ketakutan dan
tidak nyaman. Games individu? Setelah berbagai kerjasama dalam kereta? Ini
suatu hal yang tidak Sandara suka. Ia mengerling sedikit pada Jiyong yang
berdiri di belakang Sandara. Laki-laki itu terlihat melamun. Ia menatap
langit-langit Ankolis dengan tatapan kosong, seakan ingin menggapai tempat yang
nun jauh di atasnya.
Eh.. mengapa Sandara menjadi
melankolis begini? Oh, entahlah. Ia menggeleng sendiri pada dirinya.
“Dan terakhir, tema untuk games
tahun ini,” Berhenti lagi, lalu dilanjutkan dengan suara yang lebih dramatis,
“Around the World.”
Bersamaan dengan tema yang
disebutkan, kerlap-kerlip mulai muncul di mana-mana, menyilaukan mata Sandara
yang telah terbiasa menatap kegelapan. Satu persatu bangunan terbentuk di luar
kaca, berjejer-jejer rapi di sekitar bangunan pertama tadi. Ada gedung tinggi
seperti pecakar langit, gedung yang terlihat seperti mall. Jalanan terbentuk di
mana-mana.
"Selamat bermain! Semoga cukup
beruntung! Veni, vidi, vici!" seru suara sang informator sekali lagi.
Berikutnya, Sandara mendapati
tulisan yang terukir di kaca depannya. Tulisan yang bersinar-sinar emas.
NEW YORK.
New York? New York? Kota yang
dihiasi dengan patung Liberty dan jembatan Brooklyn itu? Kota yang berada di
dalam film Hollywood? Kota di mana para artis barat tinggal? Apakah ia akan
bertemu dengan Justin Timberlake, Eminem, dan penyanyi lainnya? Sandara
mengerjap. Sebelum ia berpikir lebih nyeleweng lagi, tulisan-tulisan itu
lenyap. Kaca di depannya beriringan membuka lebar, mempersilakan para tourist
di dalamnya keluar. Sandara mengikuti dengan semangat. Di dalam pikiranya hanya
terukir kata New York.
Namun mereka berhenti. Sandara
hampir sekalu lagi menabrak orang di depannya ketika ia mengerem langkahnya.
Gadis itu mengerjap bingung. Mengapa berhenti? Ia melihat melalui orang-orang
yang berbaris di depannya, lalu sedikit berjinjit. Ia melihat sosok-sosok yang
menggapai-gapai di angkasa, lalu mendengar suara pekikan-pekikan. Apa itu?
Sandara menoleh pada Hara. Gadis di
sebelahnya juga tengah berjinjit untuk melihat apa yang terjadi di depan, dan
tahu bahwa dengan tubuh yang sama kecilnya dengan Sandara, gadis trsebut juga
tidak akan menemukan apa-apa. Hara menoleh pada Sandara dengan pandangan
bertanya. Sandara juga menggeleng.
Mereka hanya maju beberapa langkah
secara perlahan. Sandara masih berusaha melihat apa yang membuat barisan ini
macet, dan mendapat jawabannya ketika ia sudah berada di garis di mana pintu
kaca tadi berada.
Di barisan terdepan, ada jurang
yang mengangga, memisahkan tempat mereka berpijak dengan kota yang
berkelap-kelip nun jauh di sana. Orang-orang yang berdiri di depan terlihat
meluruskan salah satu kakinya ke belakang dengan sikap ancang-ancang. Sandara
berjinjit lebih lagi. Ia tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan.
“Apakah mereka akan turun ke
jurang?” tanya Hara dengan ngeri. “Maksudku apakah kita juga harus
melakukannya?” Gadis itu juga sedang berusaha melihat apa yang berada di
barisan depan.
“Entahlah,” Sandara sendiri menelan
ludahnya. Ia meremas jemari-jemarinya sendiri dan baru menyadari bahwa ia
meremas sapu tangan. Gadis itu segera membenarkan sapu tangan yang kusut itu
dan menyimpannya ke dalam saku celana. Lagipula, ia merasakan bahwa hidungnya
sudah tidak terluka.
Detik berikutnya, para tourist di
depan menjawab pertanyaan mereka. Orang-orang yang tadi melakukan ancang-ancang
itu meloncat, tubuhnya terpelating ke langit, menembus kabut malam yang
tergantung di udara, lalu menghilang. Sandara memekik kaget. Begitu juga dengan
Hara. Tourist-tourist di barisan berikutnya melakukan hal yang sama.
Kini hanya tinggal lima baris yang
tersisa termasuk dengan barisan Jiyong dan Bo. Tourist yang berdiri di baris
terdepan tidak meloncat. Mereka semua berhenti. Keheningan mendadak
menggerogoti malam. Melewati batas Ankolis, mereka tengah berada di luar
ruangan yang dingin dan ditiup angin. Ditambah dengan pertunjukkan terjun bebas
yang ditunjukkan tadi, perut Sandara terasa merosot. Ia sendiri mulai berpikir
sudah berapa lama sejak ia dari kamar kecil? Ia benar-benar ingin ke toilet
saat ini.
“Oh, ayolah,” Ada sebuah suara
memecah keheningan aneh tersebut. “Tourist baru, ini adalah dinding pembatas
Ankolis dengan Parko – tempat games.” Sandara mencari-cari dari mana suara itu
bersumber, dan ia menemukan seorang laki-laki yang berdiri agak menepi di
jurang. Laki-laki itu bertubuh ramping dan jangkung. Rambutnya yang hitam di
puncak kepala ditiup angin malam. Matanya yang lebar menatap pada barisan di
depan.
“Apa yang harus kami lakukan dengan
dinding ini?” tanya seseorang dari barisan.
“Melompat,” kata laki-laki itu
santai, “bungkukan badan, melecutkan tubuh, tembuslah udara di depan.”
“Apakah kita tidak akan terjatuh?”
kali ini pertanyaan itu di lontarkan oleh seseorang yang berdiri cukup dekat
dengan Sandara. Seorang laki-laki yang berdiri dua baris di depannya. Sandara
menggeser tubuhnya sedikit dan mendapati bahwa pertanyaan itu keluar dari
laki-laki gerbongnya. Ia adalah laki-laki yang hampir mati dibelit Kraken.
“Ya, terjatuh, memangnya ada
melompat yang tidak terjatuh?” Kali ini jawaban itu dilontar oleh Youngbae.
Sandara bahkan tidak menyadari bahwa Youngbae berada di tepian yang berlainan
dengan laki-laki bermata lebar tadi.
“Maksudku di jurang, apakah kita
tidak akan jatuh ke jurangnya?” tanya laki-laki gerbongnya lagi.
Youngbae mengangkat bahu, “Tidak
seru kalau aku memberi tahu.”
Di belakang Sandara, ia mendengar
Bom mendengus. Sandara memutar kepalanya untuk melihat pada gadis dengan
pelindung itu. Gadis itu mengancungkan tangannya dengan malas-malasan.
“Youngbae, biarkan aku lewat dulu,”
kata Bom malas-malasan.
Youngbae mengangkat kepala,
mengamati Bom. “Ah, ketinggalan rupanya, Park Bom? Pantas aku tidak melihatmu.
Kukira kau tidak ikut.”
Park Bom mendengus lagi. Gadis itu
berjalan melalui sela antara Sandara dan Hara. Rambut merahnya yang terurai
dibiarkan berkibar tertiup angin malam. Gadis itu berjalan ke tepian jurang,
membuat ancang-ancang seperti yang dilakukan para tourist tadi; meluruskan kaki
kiri, mata menatap ke depan, lalu membiarkan tubuhnya bertumpu di depan sebelum
ia melompat ke udara, membiarkan tangannya menggapai-gapai langit, lalu lenyap.
Ada pekikan lagi, namun bukan dari
Sandara. Sebenarnya gadis itu tidak dapat benar-benar berpikir sekarang. Ia
merasa perutnya mulas.
“Oke, pertunjukkan yang baik.
Kalian tadi melihatnya, ‘kan?” Kali ini laki-laki bermata lebar itu kembali
berucap. Ia tersenyum. Wajahnya tampak menawan. “Ada yang ingin mencoba?” Ia
menatap pada barisan di depannya. Tidak ada yang mengancungkan tangan.
“Tapi kalian belum memberi tahu
apakah kita akan jatuh ke jurang atau tidak?” Laki-laki kraken itu bersikeras.
“Apakah kau selalu setakut ini,
bocah?” tanya laki-laki bermata lebar tersebut dengan tenang. Ia melipat kedua
tangannya.
“Aku tidak takut, aku hanya ingin
memastikan keselamatanku. Aku tidak ingin hanya karena permainan konyol ini aku
terbunuh,” Ia menekankan kata terbunuh dengan sungguh-sungguh. “Dan, aku bukan
bocah. Namaku Kwanghee.”
“Baiklah, Kwanghee,” Laki-laki
bermata lebar itu berujar dengan santai. “Aku akan menjawab pertanyaanmu. Tidak
tahu. Kami memang tidak tahu apakah kalian bisa jatuh. Mungkin ya, mungkin
tidak.”
Begitu laki-laki itu berujar, semua
tourist baru di sana saling berbisik dan bergumam gelisah. Sandara menatap pada
Hara yang sedang menggigit bibir dengan takut. Gadis berambut hitam panjang itu
memberi angkatan bahu pada Sandara.
“Oh, ayolah, jangan konyol!” Kali
ini seruan itu berasal dari seorang gadis. Ia berdiri di tepian yang lain di
sisi kiri. Gadis itu sedang melipat tangan dengan kesal. Di bawah rembesan
cahaya bulan yang amat pelit, gadis tersebut terlihat cantik dengan raut wajah
kesalnya. Ia sedang menatap pada barisan. “Kalau kalian memang tidak mau
melompat, kami akan meninggalkan kalian, sungguh.”
Kini Sandara mengamati sekitar
dengan lebih sesakma. Di setiap tepian ada orang-orang yang berjaga. Ada lima
keseluruhannya termasuk Youngbae, gadis tadi, dan laki-laki tampan bermata
lebar. Lalu di barisan belakang, ada Jiyong dan seorang gadis lagi yang Sandara
tidak ingat keberadaannya saat memasuki Ankolis. Tujuh orang. Sandara dapat
menebak bahwa mereka adalah perwakilan dari masing-masing gerbong.
“Ya, kalau nona Suzy sudah marah,
kalian benar-benar harus hati-hati,” kata laki-laki bermata lebar itu dengan
nada menggoda.
“Atau dia akan sedikit menggigit,”
timpal Yongbae. Mereka berdua tertawa sambil mengedikkan kepala satu sama lain.
“Oh, diamlah kalian berdua!” bentak
Suzy. Gadis itu memutar matanya dengan kesal, lalu beralih menatap pada barisan
tourist baru. “Apakah kalian benar-benar tidak mau melompat?”
Sandara merasa perutnya mengejang
tiba-tiba. Ia menggigit bibirnya. Ia benar-benar sudah tidah tahan. Tangannya
entah bagaimana terancung ke arah langit hitam pekat di atas. Ia sendiri tidak
mengerti bagaimana engsel-engselnya bergerak sendiri.
Suzy melihatnya, gadis itu
mengangguk kaku dan mengedikkan kepala ke arah tepian di barisan depan. Sandara
mengerti. Ia berjalan melalui sela-sela barisan seperti yang dilakukan Bom,
namun langkahnya amat lambat dan lemah, tidak semantap Bom. Roda-roda kopernya
bahkan beberapa kali tanpa sengaja menyandung kaki orang-orang yang berbaris.
Kini gadis itu telah berada di
tepian jurang. Ia bergidik. Dari jauh, jurang itu tampak gelap dan diam. Dari
dekat – Sandara menelan ludahnya – jurang itu tampak jauh, tak berpenghujung,
dan mengerikan. Sungguh ini di luar nalarnya. Ia merasa pilihannya mengangkat
tangan adalah pilihan paling gila yang pernah dilakukannya. Tapi gadis itu
benar-benar tidak tahan.
Ia belum melompat, masih menatap
jurang dengan perut merosot. Apa yang harus dilakukan? Ia mengangkat wajahnya,
menatap dinding tak kasat mata di depan. Mengamati pemandangan kota New York
yang menjulang indah di sebrang. Bagaimana cara melompatinya?
“Oh, aku tahu kau!” Itu suara
Youngbae. Sandara menoleh dan mendapati Youngbae berjalan menghampiri. “Kau
gerbongku! Teman Seungri tadi. Siapa namamu, Sand…?” Youngbae mengernyit untuk
mengingatnya.
“Sandara,” jawab Sandara dengan
suara yang tak lebih dari cicitan.
“Ya, ya, Sandara.” Youngbae
berjalan mendekati gadis itu. Ketika sudah berada di sampingnya, Youngbae
menepuk pundak Sandara, membuat gadis itu gugup. “Tenang saja, jangan tegang.
Kau hanya perlu melompat.”
“Bagaimana dengan koperku?” tanya
Sandara hati-hati.
Youngbae menoleh pada koper
Sandara, seakan baru menyadari gadis itu menggeret benda hitam yang telah
terkoyak. Youngbae mengangguk sedikit, “Dua pilihan, peluk atau tinggal.”
Tinggal? Meninggalkan koper hitam
yang ia bela mati-matian dari tentakel Kraken? Meninggalkan koper yang berisi
seluruh koleksi Sandara selama bertahun-tahun ini? Sandara menggigit bibirnya,
lalu segera membungkuk untuk mengangkat kopernya yang berat. Seandainya
Sanghyun di sini, pikir Sandara tiba-tiba, ia pasti akan membawakan benda itu
untuk Sandara. Baru beberapa jam ia meninggalkan adik laki-lakinya dan rasa
rindunya sudah bertumpuk-tumpuk seperti ratusan tahun mereka berpisah.
“Siap?” tanya Youngbae semangat.
Laki-laki itu terdengar antusias, mungkin karena Sandara berasal dari
gerbongnya. Apakah ini sejenis kebanggaan tersendiri? Mereka memiliki rasa
bangga dan selera permainan yang buruk menurut Sandara.
“Tidak juga,” gumam Sandara, masih
memperhatikan jurang di depannya. “Apakah di sana ada toilet?”
Youngbae melongo. Ia mengerjapkan
mata kaget, tidak menyangka akan ditanyai seperti itu. Ia tergelak sebelum
mengangguk. “Seharusnya ada, New York ‘kan kota metropolitan.”
Sandara ikut mengangguk. Ia
mengangkat wajahnya dari jurang yang melebar di depannya, menatap pada udara
terbuka di depannya. Gadis itu berusaha menirukan ancang-ancang Bom, lalu ia
menutup matanya ketika ia melemparkan tubuhnya ke depan, membiarkan
kaki-kakinya mengambang di udara.
Sensasi mengambang di udara ia
rasakan pertama kali ketika tubuhnya menggantung di udara. Perutnya terasa
seperti ditekan dan diguncang-guncang. Ia merasakan bulu kuduknya yang sekejap
berdiri ketika sensasi dingin angin menyergapnya. Kakinya yang menggapai-gapai
kekosongan kesemutan. Sandara menggigit bibirnya. Karena inilah ia benci
ketinggian.
Namun berikutnya, gadis itu
merasakan sesuatu yang lentur melewatinya. Sandara membuka matanya sedikit. Ia
masih mengambang di udara, namun ada selimut tipis yang membentang di tubuhnya.
Selimut itu dingin dan tidak berbau. Dinding pembatas. Gadis itu menyadarinya.
Dinding itu menarik tubuhnya perlahan ke dalam pusaran, terus hingga semua
pemandangan di depannya hanyut. Rasanya seperti ditekan di atas tempat tidur
yang kelewat empuk.
Sandara jatuh berguling di tempat
yang lembab dan menabrak benda silinder. Ia membiarkan tangannya melepaskan
diri dari kopernya dan melindungi kepalanya agar tidak terbentur. Selama
beberapa detik, Sandara masih dalam posisi terkulai. Setelah menyadari apa yang
terjadi, gadis itu menegakkan tubuhnya dan melihat sekitar. Ia sudah tidak
menggambang di dinding pembatas. Ia sepenuhnya berada di tanah. Ia berada di
sebuah jalan sempit yang di kedua sisinya berdiri bangunan-bangunan. Ada lampu
jalanan dengan cahaya redup di tepi yang menampakkan kopernya. Benda bewarna
hitam itu tergeletak di dekat selokan dalam keadaan yang lebih parah dari
sebelumnya. Sandara berdiri, berjalan terseok-seok menghampiri kopernya sembari
menatap sekitar dengan sesakma. Ia merasa beruntung bahwa tempat itu sepi
setidaknya tidak ada orang yang melihatnya dalam kondisi aneh sambil berusaha
menggapai koper.
Sayup-sayup dari kejauhan, Sandara
mendengar suara air. Ia mengendus-endus. Benar saja. Selain bau anyir darahnya,
ia dapat membau aroma asin yang khas. Sandara yang sedang merapikan kopernya
–yang sudah tak tertolong –menyadari bahwa ia berada di dekat laut. Gadis
itu mengangguk. Walau ia tidak tahu apapun tentang New York, ia dapat menebak di
mana gadis itu berada.
Detik berikutnya, kesunyian itu
dipecahkan oleh suara teriakan. Sesuatu baru saja terjatuh beberapa meter
darinya, berguling-guling dan menabrak tepi jalanan. Sandara mengamati dengan
waspada. Itu bukan sesuatu. Itu sebuah sosok.
“Auhh…” Sosok itu merintih. Ia
memegangi kepalanya, dan berusaha bergulung berdiri. Sandara menghampiri sosok
itu dengan hati-hati. Apakah itu suatu monster yang harus di lawan di level
tiga. Namun ketika sudah berada cukup dengan sosok itu, Sandara merasa lega.
“Hara!” Sandara memanggil.
Goo Hara menoleh pada Sandara.
Gadis itu terlihat pucat dan ketakutan, namun begitu menemukan Sandara, sudut
bibirnya tersenyum. Sandara membantu gadis berambut panjang itu berdiri.
“Pendaratan yang tidak sempurna,
eh?” tanya Hara. Ia memindai pemandangan di sekitarnya. “Di mana kita?”
“Di dalam games,” jawab Sandara
masuk akal, namun gadis itu menambahkan. “Sepertinya, kita berada di Manhattan.
Kau dengar suara airnya?”
Hara mengernyit. Ia menajamkan
pendengarannya, lalu mengangguk mengerti ketika mendengar suara deburan
sayup-sayup. “Jadi di mana semua orang? Maksudku tourist yang lain?”
“Entah. Eh, aku perlu ke toilet,
lalu kita mencari mereka. Bagaimana?” tanya Sandara. Hara mengangguk.
Mereka berdua baru saja akan
berjalan untuk mencari, namun sesuatu mendorong tubuh kecil Hara hingga gadis
itu jatuh ke depan. Sandara memekik ngeri. Ia segera berjongkok dan mengamati
Hara. Gadis itu menggerakan tangannya untuk memberi tahu bahwa ia tidak
apa-apa. Namun detik berikutnya, Sandara mendengar suara jatuh berdebam yang
mengagetkan. Gadis itu membalikkan tubuh dengan sikap waspada sekali lagi.
“Apa ini!” Seru seseorang. Suara
laki-laki. Ia mengumpat beberapa kali. Tidak seperi Sandara maupun Hara,
laki-laki tersebut segera menegakkan tubuh. Laki-laki itu berdiri dan menatap
sekitarnya. Matanya menatap Sandara, Hara, lalu beralih pada benda yang berada
di kaki Hara. “Tasku!”
Hara sudah dapat memutar tubuhnya.
Ia berdiri dan menghadap pada laki-laki yang tengah membungkuk mengambil tasnya.
Wajah Hara memerah karena jengkel.
“Kau tahu tasmu baru saja membuatku
jatuh dan kau bahkan tidak berkata maaf!” bentak Hara.
Laki-laki tadi mengangkat tasnya,
menyandangkan ke bahunya yang bidang. “Oh, mianhae,” katanya tanpa
sedikitpun terdengar bersalah.
Hara menggertakkan gigi. Matanya
menyipit menatap laki-laki itu dengan marah, namun yang dipandangi tidak
menghiraukan. Hara menoleh pada Sandara, memberi isyarat. Sandara hanya
mengangguk, tidak mengerti. Sebenarnya, sekarang ia hanya ingin menyelesaikan
keperluannya.
“Kita lanjut saja,” Sandara
mengedikkan kepala ke arah jalanan kosong. Hara mengangguk. Kedua gadis itu
berlalu meninggalkan laki-laki tadi. Baru saja beberapa langkah mereka
berjalan, suara laki-laki tadi terdengar.
“Hey, changkaman!”
Sandara dan Hara tidak mau
repot-repot membalikkan badan, namun nyatanya mereka berhenti. Laki-laki itu
melangkah lebih cepat dibanding yang mereka kira.
“Kalian ke mana?” tanya laki-laki
itu.
“Mencari kehidupan,” jawab Hara
ketus. “Menurutmu?”
“Aku ikut,” kata laki-laki tadi.
Hara membalikkan tubuh. Wajahnya
tampak tidak percaya. Sandara hanya ikut menoleh tanpa sedikitpun menaruh minat
untuk marah atau mengomel. Ia hanya perlu menyelesaikan keperluannya sekarang
sebelum semuanya terlambat.
“Kau baru saja menindihku dengan
tasmu, lalu sekarang minta ikut? Hahaha. Lucu,” Hara mencibir.
“Aku ‘kan sudah minta maaf,” tukas
laki-laki tadi. “Lagian kalian pernah ke New York?”
“Kau pernah?” tanya Hara.
“Pernah, aku cukup tahu jalan di
Manhattan, paling tidak kita tidak akan tersesat,” kata laki-laki tadi.
“Hah! Benarkah?” Hara mengejek.
Sandara menelan ludahnya. Mau
sampai kapan dua orang ini adu mulut? Ia benar-benar harus melangkah, mencari
tempat yang ia perlukan. Sandara menoleh pada Hara dan menatap gadis itu denga
lelah. “Biarkan dia ikut, aku benar-benar perlu ke toilet.”
Hara setuju. Akhirnya Sandara
ditemani Hara dan laki-laki tadi menelusuri jalan panjang yang membentang di
depan mereka. Jalanan itu benar-benar sepi. Tidak ada satupun batang hidung
maupun mobil yang muncul. Sandara mengangkat kepala dan mengamati.
Bangunan-bangunan di sebelahnya juga tampak gelap, tidak seperti kerlap-kerlip
yang tadi ia lihat di Ankolis.
“Ini aneh,” gerutu laki-laki yang
mengikuti mereka. “Kenapa sepi dan gelap seperti ini?”
“Kau ‘kan yang pernah ke sini,”
sindir Hara.
“Dan tempat ini tidak seharusnya
sesepi ini, gadis kecil,” tukas laki-laki tadi.
“Maaf ya, namaku Goo Hara, pak,”
Hara mencibir.
“Terima kasih Goo Hara kecil, dan
aku Yong Junhyung,” balas laki-laki tadi.
Sandara mendesah. Ia benar-benar
tidak tertarik dengan pertikaian mulut apapun ini. Gadis itu terlalu letih
untuk berbicara. Apalagi, ia benar-benar ingin cepat-cepat menemukan toilet. Ia
menggunakan segenap tenaganya yang tersisa untuk menoleh dan mencari-cari.
Jalanan itu masih tetap lurus,
lebar, dan gelap. Bangunan yang menjajar di sebelahnya tak kunjung habis, namun
sekalipun Sandara tidak menemukan tempat yang dicari. Gadis itu mulai lelah. Ia
bahkan tidak mendengarkan cekcok antara laki-laki dan perempuan di belakangnya.
Ia berhenti, mengamati dua buah gedung tinggi di sebelahnya. Seharusnya di
dalam gedung ada toilet ‘kan? Mengapa ia tidak berpikir.
“Ada apa, Sandara?” Hara bertanya.
Ia menyadari bahwa Sandara berhenti jalan.
“Kita tidak mencoba masuk?
Maksudku… aku… kau tahu, toilet.” Sandara merona, namun Hara membelalak.
“Benar! Kenapa kita begitu
bodohnya?” Hara berseru. “Lagian sepertinya tidak ada yang menjaga gedung.”
Sandara mengangguk. Mereka berdua
baru saja mendekati salah satu gedung tinggi yang di dalam cahaya remang-remang
bewarna hijau. Pintu utama yang lebar di lantai dasar terbuat dari kaca.
Sandara tidak punya banyak waktu. Ia mendorong pintu itu dengan cepat.
Bersamaan dengan tangannya
menyentuh pintu, tiba-tiba entah bagaimana cahaya mulai muncul di mana-mana.
Sandara mengerjap ketika mendapati lampu kuning di dalam gedung menyala, begitu
pula dengan lampu-lampu lain di lantai atas hingga puncak gedung.
Sandara dan Hara mundur perlahan.
Mereka mengamati dengan bingung.
“Hey, lihat, bagaimana ini bisa
terjadi?” Junhyung berseru.
“Aku sudah lihat, pabo!” ejek Hara,
masih menatap setiap jengkal jendela yang menampakkan cahaya dari gedung.
“Aku bukan pabo! Dan maksudku,
bukan itu, lihat sekeliling!” tukas Junhyung.
Sandara dan Hara menurunkan kepala.
Kini mereka lebih terperangah lagi. Tidak hanya gedung tadi yang menyala-nyala.
Kerlap-kerlip lampu kini timbul dari seluruh gedung di sekitar, di seluruh
penjuru jalan, membiarkan cahaya yang berasal dari lampu jalan tidak berguna
lagi. Tidak hanya itu, jalanan itu penuh ramai dengan orang. Orang-orang asing
berkeliaran di mana-mana, mobil-mobil melaju di jalan utama, dentuman musik
yang entah berasal dari mana. Sandara memutar tubuhnya. Ia melihat layar lebar
yang digantung di salah satu gedung. Suaranya amat bising, bahkan
menenggelamkan suara air yang tadi ia cium.
Sandara dan Hara terpesona.
“Ini keren!” Mereka berdua berseru.
“Tidak lazim,” komentar Junhyung.
Ia memandang sekitar dengan tatapan aneh. Ada seorang laki-laki tua berambut pirang
baru saja melewatinya, menubruk sedikit bahunya. Junhyung melempar pandangan
tidak suka, namun laki-laki tua itu tidak berbalik untuk minta maaf. “Apa
mereka manusia?”
Sandara juga ikut mengamati
sekarang. Menatap seorang keluarga kecil berisikan wanita, laki-laki, dan anak
perempuanya. Mereka bertiga sama-sama berambut coklat karamel yang menawan.
Orang tuanya menggandeng sang anak di dua sisi sambil mengamat-amati sekitar.
“Entahlah,” jawab Sandara jujur. Ia
bahkan telah melupakan keperluannya, terlalu takjub dengan pemandangan kota
metropolitan ini.
“Tetap jalan?” Junhyung
mengusulkan.
“Oh yeah!” Hara menimpali. “Dan
beli beberapa baju!”
“Haha.” Junhyung tertawa datar.
Mereka bertiga berjalan, kini lebih
lambat karena harus melewati arus manusia. Kini ada perempatan di ujung jalan.
Lampu lalu-lintas mengedip di tepi trotoar, didampingi oleh beberapa gelombang
manusia yang sedang menunggu. Mereka berdua membelok ke kanan. Di tengah
belokan Sandara mendengar suara bel. Suaranya nyaring, namun hampir tertimpa
oleh keramaian kota saat ini. Ada suara wanita menyusul di belakangnya, suara
yang tak asing. “LEVEL TIGA.”
Sandara, hara, dan Junhyung saling
menatap satu sama lain. Mereka baru saja akan berdiskusi sesuatu, namun
diinterupsi oleh jejak-jejak besar di depan. Makhluk itu hampir melebihi ukuran
pencakar langit. Sisik-sisik hijaunya mengilap di sepanjang tubuh hingga
buntutnya. Ia mengeluarkan suara yang besar dan membahana, membuat semua
pejalan kaki berlari ketakutan dan memekik-mekik.
Sandara masih dalam keadaan kaget.
Ia mengangga menatap makhluk besar itu. Otaknya masih macet dan belum dapat
mencerna apa yang sedang dilihatnya.
“Apakah itu-?” Hara tercekat.
“Dinosaurus?”
Sandara masih menatap makhluk
bersisik itu dengan kaget. Namun langkah-langkah besar makhluk hijau besar itu
sudah mencapai pada mereka. Sandara tersadarkan oleh gema yang diakibatkan oleh
langkahnya yang memecahkan aspal jalanan.
“Lari!” Ia berteriak. Hara dan
Junhyung yang ternyata juga melongo segera berlari. Mereka bertiga lari terbirit-birit,
kembali pada jalanan utama.
Namun itu ide yang buruk. Jalanan
utama macet. Terlalu banyak pejalan kaki dan mobil. Junhyung yang mengambil
inisiatif terlebih dahulu. Laki-laki itu berlari ke salah satu mobil yang
diparkir di tepi jalan – sebuah porche yang sangat mentereng, dan segera
berseru memanggil Sandara serta Hara. Kedua gadis itu segera masuk ke dalam
mobil, sedikit kesulitan ketika menjejal koper Sandara yang sudah tidak
berbentuk.
Mobil segera melaju cepat setelah
ketiganya masuk. Junhyung menyetir membelok di jalanan sebaliknya yang lebih
sempit, namun Sandara tahu, Dinosaurus itu pasti masih mengejar mereka. Ini
plotnya bukan? Mereka berada di dunia games. Merekalah lakonnya, dan lakon
selalu di kejar oleh musuh.
Sandara mengutuk. Mengapa musuhnya
dinosaurus? Ini sungguh tak adil, seperti pertarungan antara semut dan manusia.
Dinosaurus itu hanya perlu menggerakkan jempol kakinya untuk melumat tubuh
mereka bertiga.
Porche hitam itu masih melaju
dengan kecepatan gila-gilaan. Bahkan secara sadar Junhyung menabrak beberapa
mobil lain dan pejalan kaki. Sandara dan Hara memekik, namun mereka tidak dapat
memprotes. Hanya saja ada suara-suara yang menganggu setiap mereka menabrak
sesuatu. Sandara dapat mendengarnya sebagai, “merusak mobil, minus 1,” atau,
“menabrak manusia, minus 5.” Tapi ia toh tak peduli.
Mobil itu terus melaju dan berdecit
saat berbelok. Tubuh Sandara dan Hara yang mungil terpental beberapa kali,
menabrak kaca, ataupun dasbor mobil. Sandara memiliki tantangan sendiri dengan
memeluk kopernya agar tidak terbanting.
Tiba-tiba mobil berdecti berhenti.
Junhyung memukul setirnya dengan kesal. “Sial! Jalan buntu!”
“Kau bilang kau tahu Manhattan!”
protes Hara.
Junhyung menatap Hara kesal. “Kau
tinggal di Seoul bukan berarti kau tidak pernah tersesat, ‘kan?”
Sandara tahu Junhyung benar. Tapi
jalan buntu di saat seperti ini bukan hal yang ia sukai. Gadis itu merinding.
Ia baru saja teringat keperluannya. Sial. Bibirnya mengatup tertutup, menahan
setiap tubuhnya yang memberontak.
“Apa yang harus kita lakukan? Kita
akan mati!” jerit Hara frustasi. Mereka bertiga mulai mendengar
dentuman-dentuman itu, dentuman langkah tuan Dinosaurus.
“Serang,” Junhyung mendesah.
Laki-laki itu sudah membuka pintu mobil di sebelahnya, lalu melenggang keluar.
Ia membanting pintu itu cukup keras hingga Sandara dan Hara sedikit terlonjak.
Setelah kepergian Junhyung, Hara
menoleh pada Sandara. “Bagaimana dengan kita?’
“Ikut,” Sandara menggigit bibirnya,
seakan tidak setuju dengan jawabannya sendiri.
“Tapi kita sendiri, kita tidak
mengerti caranya bertarung – kau tahu,” Hara mengangkat bahunya.
Sandara mengangguk, ia tahu itu
dengan pasti. Namun Sandara lelah. Ia tahu bahwa mereka tidak dapat terus
berlari. Seperti contohnya sekarang, mereka pasti akan mendapat jalan buntu
suatu waktu. Lagipula, gadis itu merasakan sesuatu di dalamnya ingin berlari
untuk menghajar monster yang menganggu kedamaiannya itu. Ia benar-benar tidak
mengerti apa yang menjalar dalam tubuhnya ini. Adrenalin? Mungkin. Atau mungkin
karena ia begitu inginnya ke toilet.
Sandara membuka pintunya, keluar
dari mobil mewah itu. Ia mendapati Junhyung yang berada di luar mobil sedang
mengubek-ubek tong sampah yang di tabraknya sendiri. Sandara menghampirinya. Ia
tahu Junhyung sedang mencari sesuatu yang dapat dijadikan senjata, namun mereka
hanya mendapatkan dua batang tusuk sate dan kertas yang sudah kisut. Sandara
meraih tutup tong sampah dan mendesah. Seumur-umur ia tidak pernah mau
mengangkat-angkat tutup tong sampah seperti ini.
Tuan Dino tidak berjalan cukup
cepat, namun langkahnya yang besar-besar sebentar saja sudah menghampiri
Sandara dan Junhyung. Kedua remaja itu menatap raksasa bersisik hijau yang
bahkan wajahnya tidak terlihat karena terlalu tinggi itu dengan menggigit
bibir. Sandara dan Junhyung saling memandang satu sama lain, berusaha
mengirimkan signal pendukung, namun mereka malah menemukan kecemasan di
masing-masing wajah. Jantung mereka berdegup berkali-kali lebih cepat ketika
keduanya bersama-sama melaju menghadap tuan Dino.
Junhyung berlari sangat cepat. Ia
yang entah bagaimana mendapatkan senjata berupa besi pendek yang cukup tajam
menghambur pada Dino, menanamkan besi itu ke kaki tuan Dino. Jika Sandara yang
ditusuk seperti itu, ia yakin bahkan tidak ada erangan darinya – ia akan
langsung pingsan. Namun tuan Dino memiliki kulit yang lebih tebeal dari sweater
dan sol sepatu manapun. Kulitnya kokoh dan tajam. Besi itu menancap tak berarti
di kakinya. Tuan Dino tampak puas, ia memutar tubuhnya dan membuat ekornya
menyabet Junhyung. Dalam sekali hempasan, laki-laki itu melayang beberapa meter
dan menabrak pintu kayu salah satu bangunan.
“JUNHYUNG!” Sandara berteriak
ngeri. Namun ketika melihat Junhyung bangkit, ia merasa lega. Kini Sandara
berlari mendekati tuan Dino. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tapi
gadis itu memukul apa adanya pada reptil bertubuh tinggi itu. Berkali-kali
gadis itu berkelit menghindari injakan mematikan sang Dino. Walaupun gerakannya
lambat, sekali injak ia membuat aspal di bawahnya retak-retak, dan Sandara
tidak ingin tubuhnya seperti itu.
Kali ini Junhyung yang sudah
bangkit berlari mengalihkan perhatian sang Dino lagi. Entah bagaimana ia
mendapatkan kayu-kayu yang cukup runcing. Laki-laki itu menusukkannya
dengan sembarang, mendorongnya agar cukup mengenai daging tuan Dino. Sandara
mengambil kesempatan ini berkelit dan berputar mencari senjata.
Ia menatap sekeliling dengan panik.
Lorong itu cukup lebar, namun tidak terlalu terang. Cahaya-cahaya hanya berasal
dari lampu-lampu sorot tengah kota. Lalu Sandara menemukannya. Ketika ia
berbalik melihat Porchenya, gadis itu melihat besi yang terkulai di bawah
mobil. Berbeda dengan besi milik Junhyung, besi ini lebih panjang dan sedikit
memiliki retakan. Ia dapat menebak bahwa besi itu adalah bagian dari besi milik
Junhyung.
Sandara Park berlari, meghindari
kaki Dino maupun sabetan ekornya yang penuh duri. Gadis itu membungkuk dan baru
saja akan mengambil besinya, ketika sesuatu jatuh menindihinya. Sandara
terlonjak kaget. Ia sudah berbalik dengan besi terancung di tangannya. Ia sudah
mewanti-wanti serangan tuan Dino, namun yang didapatinya hanyalah ujung buntut
Dino yang terkulai. Di sebalahnya, Hara mendongakan kepala sambil mengangkat
sebuah pedang.
“Hara?” Sandara tampak syok.
“Bagaimana kau mendapat pedang?”
“Oh entahlah,” Hara menjawab tanpa
melihat Sandara. “Aku menemukannya di kursi penumpang.”
Sandara tidak banyak bertanya. Tuan
Dino menyadari buntutnya yang putus. Ia berbalik dan mulai menyerang kedua
gadis itu. Sandara dan Hara berkelit. Mereka beruntung karena memeiliki tubuh
kecil yang lincah.
Ketika Sandara meloncat di salah
satu aspal yang retak, tanpa disengaja kakinya terperosot. Sandara memegang
ujung aspal yang masih baik dan mengangkat dirinya. Besi masih berada di
tangannya. Ia mendesah lega sambil mengutuk aspal itu. Lalu ia teringat
sesuatu.
Aspal. Di atas tanah. Bukankah
gadis itu berasal dari gerbong Gi? Gerbong tanah? Ia sudah melihat bagaimana
Youngbae, Seungri serta yang lainnya mengontrol tanah. Tapi mereka tidak pernah
mengajarkan padanya bagaimana cara melakukannya. Gadis itu menggertakkan gigi.
Tiba-tiba Sandara kesal. Bukankah
ini tak adil? Membiarkan tiga orang baru bertarung dengan Dinosaurus beringas
tanpa dibekali apa-apa. Hanya sebongkah besi? Yang benar saja! Sandara
menggigit bibirnya. Ia berjalan mundur, merapat pada dinding, berhenti
menyerang. Ia melihat Hara dan Junhyung yang masih sibuk bertarung. Kaki Dino
itu baru saja hampir menginjak Hara. Gadis itu berhasil berkelit, namun
tubuhnya terpental ke belakang menabrak aspal lain.
Sandara memandangi aspal di
bawahnya yang masih mulus, belum terusak oleh kaki tuan Dino. Sandara
mengulurkan tangannya. Dalam pikirannya, ia sangat marah. Apa yang mereka
lakukan? Bagaimana mereka membuat tanah-tanah itu berenang sesuai keinginan.
Bagaimana caranya? Ia meremas jari-jarinya denga emosi, tepat saat aspal di
bawahnya retak secara perlahan. Gadis itu terkesiap.
Lalu Sandara mengangkat wajahnya.
Ia menatap pada tuan Dino, lalu beralih pada tanah yang sedang
diinjak-injaknya. Gadis itu mengulurkan tangan ke arah aspal yang telah hancur
itu seperti hendak meraihnya, lalu ia meremas jemarinya. Aspal itu retak.
Sandara melakukannya lagi. Sekali lagi. Sekali lagi.
Kini, kaki tuan Dino sepenuhnya
masuk dan terperosot. Makhluk itu tampak marah. Ia tidak menggerakkan kakinya
sedikitpun karena telah tenggelam di dalamnya. Tuan Dino menggerakkan buntutnya
yang buntung, dan ia menggeram marah sekali.
Junhyung dan Hara menyadari hal
itu. Mereka mundur untuk menghindari kaki mereka terperosok. Keduanya menoleh
pada Sandara dengan takjub.
“Bagaimana kau melakukannya?” tanya
Hara.
“Konsentrasi,” Sandara menjawab
singkat. Tangannya masih terulur dan terus meremukkan tanah di bawahnya,
membiarkan tubuh sang Dino makin tenggelam.
Hara mengernyit. Ia melakukan hal
yang sama seperti Sandara, namun tidak ada hasilnya. Ia melakukannya sekali
lagi, kali ini wajahnya terlihat serius. Tanah di bawah Dino semakin menjorok
dan mendalam. Hampir setengah tubuhnya berada di dalam. Kini wajahnya yang
terlihat seperti kadal bergigi gerigi tampak cukup jelas.
Junhyung seperti mendapat
inspirasi. Ia merentangkan tangannya dan memejamkan mata. Sandara tidak
mengerti apa yang sedang laki-laki itu lakukan, namun detik berikutnya gadis
itu melongo.
Tong sampah yang tadinya tergeletak
terbang ke arah mereka, menghantam dengan keras pada kepala kadal tuan Dino.
Kaca-kaca yang menutupi bangunan-bangunan di sekeliling mereka pecah,
berhamburan menusuk-nusuk tubuh Dino yang tenggelam. Batu-bata yang tersusun
rapi menutupi jalan buntu di depan mobil berhamburan dan melesat memukuli tuan
Dino. Ketika monster itu mengerang dan membuka mulut berteriak, pedang di
tangan Hara melayang dan menusuk tepat di tenggorokannya. Dinosaurus itu
merintih keras sebelum darah hijau muncrat dari tenggorokannya.
Selama sekian detik, Sandara
mengira itu adalah getah dari mulut Dinosaurus, namun berikutnya makhluk itu
menyusut, menyusut, dan menghilang, hanya menyisakan bekas lendir hijau dari
mulutnya. Pedang Hara terlempar dan terpelanting di aspal dengan bunyi yang
cukup keras.
“Level 3 completed, poin 70 untuk
Sandara Park.” Suara itu menggema di dalam kepala Sandara. Gadis itu menahan
napasnya. Level completed? Apakah… makhluk itu baru saja mati? Apakah mereka
sudah mengalahkannya?
“Wow!” Haralah yang pertama kali
berseru. Gadis itu mengerjap kagum. Ia bahkan membiarkan lendir hijau itu
mengotori sepatu haknya. Sandara sendiri baru ingat bahwa Hara mengenakan
sepatu hak. “Fantastis! Apa yang kau lakukan tadi?” Ia mengedik pada Junhyung.
Di sisi lain retakan, Junhyung
tersenyum di sela napas pendeknya. Ia sudah menurunkan kedua tangannya di sisi
tubuh. “Itu kekuatan gaib gerbongku... Kalian tahu… Antikeimeno… Pengendali
benda mati.”
Detik berikutnya, mereka mendengar
suara decitan mobil. Ketiganya mengira mereka akan menghadapi monster lagi.
Ketiganya mengambil sikap waspada, namun tidak begitu peduli dengan senjata
lagi. Mereka menyiapkan kedua lengannya di depan.
Ada tiga mobil tepatnya yang
berhenti di depan. Ketiga mobil itu hanyalah mobil jeep dan pikep yang jauh
lebih biasa dibanding Porche yang dicuri Junhyung. Begitu berhenti,
penumpangnya keluar dari mobil bebarengan.
Sandara sadar, tidak hanya satu
orang, tapi berbondong-bondong. Apa ini? Apa yang harus mereka hadapi. Darahnya
mengalir deras dalam tubuhnya dengan sikap waspada. Ia tidak dapat melihat
jelas orang-orang itu karena jaraknya berjauhan, namun ketika mereka mulai
mendekat, Sandara menurunkan lenganya. Di bawah cahaya lampu yang tidak terlalu
terang, Sandara mendapati Seungri berdiri di sana dan melambai.
“Sand… Dara!” Seungri memanggil. Ia
melihat lubang besar di depannya, lalu mengangkat lagi wajahnya menatap
Sandara. “Kau membuat ini?”
Sandara mengamati rombongan orang
yang keluar dari mobil. Ada Park Bom. Kelima orang dari gerbong Gi juga berkumpul
di sana. Sisanya Sandara tidak tahu, namun gadis itu tersenyum. Gelombang
kelegaan mengalir di dalamnya.
Sandara mengangkat bahu. “Kita
bertiga melakukannya.”
“Wow, daebak!” Seungri tersenyum.
Ia berjalan menghampiri Sandara. “Kalian tidak takut?”
Sandara mendengus. “Menurutmu?”
Seungri menatap Sandara, Hara,
serta Junhyung bergantian dengan takjub. Walaupun laki-laki itu tidak mengenal
Junhyung ataupun Hara –walaupun pastinya ia tahu bahwa Hara salah satu anggota
gerbongnya, namun ia memberikan senyum memuji yang akrab pada keduanya. “Kami
ngebut ke sini, kukira kalian bakal tidak selamat tadi,” tapi ia tersenyum
geli. “Ayo, masuk ke mobil, bersama-sama agaknya lebih mudah.”
Sandara menoleh pada Hara dan
Junhyung. Wajah keduanya, yang tadinya terlihat cantik dan tampan kini dipenuhi
coreng moreng hitam dan darah di mana-mana. Rambut hitam keduanya tampak
berantakan dan tidak teratur. Sandara tahu, tampangnya pasti juga seperti itu
sekarang. Namun kedua temannya itu terlihat bersemangat dengan ajakan Seungri.
Setelah mengambil tas, serta koper
– koper Sandara benar-benar sudah tak tertolong, mereka dituntun Seungri menuju
salah satu mobil. Sandara diam-diam mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
Ada sebuah pesan singkat.
From: Sanghyun
Nuna tidak menikmati liburan? Masa
sih? Separah itu? Memang mereka membawamu ke mana? Ladang pertanian yang penuh
cacing?
Sandara mendengus, lalu mulai
mengetik balasannya setelah ia sudah berada di dalam salah satu jeep. Mobil
besar itu segera melaju cukup kencang keluar dari terowongan, mulai memasuki
jalanan kota yang ramai. Anehnya, seperti tidak ada orang yang menyadari bahwa
baru saja ada Dinosaurus menyerang.
Kenapa lama sekali kamu membalas?
Sebenarnya... Tidak parah juga...
Tapi sangat parah. Aku tidak bisa bilang aku suka dengan ini, walau aku cukup
menikmati, sebenarnya. Oh, entahlah... Rasanya lama-lama aku menjadi gila.
Ps: Omong-omong, aku berada di kota
yang mirip New York, kau mau aku membawakan Angelina Jolie, Kristen Stewart,
atau Diana Agron? Haha
Pesan terkirim
to be continued
______________________________________________________________
Neomu-neomu Mianhaee!! Buatpart kedua ini, bener bener
berantakan dan aneh banget. Aku sendiri yang baca agak merasa weird. Karena
terlalu banyak tugas dan test menumpuk, juga novel dan DVD yang perlu dilihat,
akhirnya aku nulis ini dengan buru-buru.
Forgive me for some typo dan kata-kata yang aneh.
Buat manhattan, jujur aku nggak pernah ke sana dan cuma sering
lihat di film, di foto, dan di beberapa novel. :p
Dan omong-omong, di dua part ini Jiyongnya dikit amat ya? Iya,
soalnya baru permulaan gitu. But I promise bakal nunjukin banyak-banyak scene
Daragon di part selanjut-selanjutnya.
Finally, mohon
review ya! Aku masih penulis amatir dan butuh butuh butuh orang untuk
mengomentari. No bash please! ^^





0 komenz:
Post a Comment