Friday, January 18, 2013

The Games Land - Part.2 (New York Crisis)




Title: The Games Land - Part.2 (New York Crisis)
Main Cast(s):
~Sandara Park (2NE1)
~Kwon Jiyong (Big Bang)
~Dong Yongbae (Big Bang)
~Lee Seunghyun as Lee Seungri (Big Bang)
Supporting Cast(s):
-Goo Hara (Kara)
-Yong Junhyung (Beast)
-Bae Suzy (Miss A)
-Hwang Kwanghee (Ze:a)
-Park Sanghyun/ Thunder (Mblaq)
-Yang Yoseob (Beasy)
-Do Kyungsoo (EXO K)
-Lee Jieun
-Im Yoona (SNSD)
-Jung Soojung (F(x))
-Oh Sehun (EXO K)
-Lee Donghae (Super Junior)
-and other. Find the other cast in the next chapter!
Length: Chaptered
Genre: Adventure, Fantasy, Mystery, Science Fiction, Friendship, Romance
Disclaimer: Human and thing belong to God. I only own the plot. Terinspirasi dari banyak novel (Harry Potter, Percy Jackson, Divergent, Hunger Games) dan komik (Doraemon dan Conan). Happy reading ^0^
a/n: I only published this fanfict here and at Indofanfictkpop
Summary: Berapa kali sudah kau mencoba permainan di playstation, komputer, dan NDSmu? Mungkin kau sudah lihai memainkan semua permainan di dalamnya. Kau tahu tokoh mana yang bagus dan jurus mana yang harus dipakai. Kalau kau kalah - game over - kau tinggal menekan tombol retry, atau play again. Bagaimana jika games itu nyata? Bagaimana jika kau yang menjadi tokoh utama dalam games dengan berbagai macam jurus dan kekuatan? 
Watch the previous part:
Previously at The Games Land:
Suatu hari Sandara Park mendapat sebuah tiket tour gratis - yang ia kira berasal dari undiannya. Namun ternyata, tiket itu malah membawa Sandara Park ke pulau Kynigo - pulau games - yang bahaya dan penuh tantangan. Di perjalanannya ke pulau itu, mereka dibagi dalam beberapa gerbong, dan Sandara diletakkan di gerbong Gi -gerbong tanah, di mana setiap gerbong mewakili kekuatan masing-masing peserta. Di dalam kereta yang mengantarkannya itu, ia bertemu dengan Seungri yang baik hati, serta Jiyong yang menawan. Mereka berdua selalu siap bertarung melawan apa saja tanpa rasa takut. Bagaimana kelanjutannya? Apakah Sandara dapat bertahan dalm dunia baru ini?
Check this out!


.
.
.
.

And the train stop.
Ketika kereta berhenti, Sandara berdiri dari tempatnya meringkuk. Ia memindai ruangan dalam gerbong yang telah amburadul, meninggalkan jendela terbuka dan gorden merah yang berkibar-kibar. Tapi, sudah tak ada angin laut bertiup, Sandara menyadari. Gadis itu mendekati jendela. Ia telah sampai. Sampai di pulau itu. Pulau Kynigo. Pulau Games.
Suara gaduh mulai terdengar di mana-mana. Kegaduhan yang berasal dari alas sepatu yang menghantam-hantam bergantian. Sandara menoleh ke belakang dan menyadari bahwa kegaduhan itu berasal dari mereka.
Ya, mereka.
Kepala Sandara masih pusing saat mengingat kejadian yang baru saja berlangsung beberapa menit yang lalu. Saat semuanya berjalan, Sandara seakan diajak berkelana dalam petualangan nonstop. Namun ketika Sandara memiliki waktu untuk berpikir, ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia sedang berada dalam mimpi buruk akibat ramen pedas yang dibuat Sanghyun. Itu pasti penyebabnya.
Satu persatu orang di dalam gerbong berjalan menuju pintu keluar. Orang-orang itu dibagi menjadi mereka yang terlau antusias, contohnya Seungri – laki-laki berambut hitam yang manis, dan mereka yang seperti baru saja ditendang bokongnya oleh Mike Tyson, contohnya Sandara.
“Ayolah, bersemangat!” Seungri yang berjalan di belakang Sandara menepuk-nepuk pundak gadis itu. “Kau baru menghadiahkan dua puluh poin! Mana senyummu?” Lalu ia berjalan mendahului Sandara sambil nyengir, melambai pada gadis itu sambil berkata, “Sampai jumpat di Ankolis!”
Sandara mengamati perginya laki-laki berambut hitam itu. Tersenyum? Bagaimana ia dapat tersenyum?
Baru beberapa jam yang lalu ia berada di dalam kereta dengan banyak angan-angan tentang liburan. Ia membayangkan pulau Jeju yang penuh lautan dan romantis. Namun Sandara juga tidak keberatan dengan bukit-bukit hijau dan kuil-kuil seperti di Jepang yang dapat dikunjungi untuk berdoa. Lalu beberapa menit yang lalu impiannya dihancurkan dengan kenyataan bahwa ia dibawa ke tempat ini. Ke tempat di mana ia mungkin harus bertarung – seperti yang dilakukannya di kereta. Mungkin pula akan menghancurkan sesuat, sebagai contoh kopernya yang tergeletak tak berdaya dengan sobekan di tengah.
Di luar kereta, semua tourist berdesak-desakkan di jalanan sempit stasiun. Langit telah berubah gelap, sehingga cahaya yang menerangi mereka hanya berasal dari lampu jalan yang di letakkan berjejer di tepi jalan stasiun. Kini Sandara dapat menemukan ratusan orang dari ketujuh gerbong.
Sandara masih setengah melamuni nasibnya yang buruk, berjalan lunglai sambil menggeret kopernya hingga tanpa sengaja tertabrak baja. Ia berhenti berjalan, melepas kopernya, lalu memegang hidung dan merintih kesakitan. Ada cairan yang menguar dari sana. Cairan merah yang berbau karat. Darah?
“Oh, mianhae!” kata seseorang. Sandara mengangkat kepalanya. Ia sedang berhadapan dengan seorang perempuan bertubuh jangkung yang memiliki pelindung depan dan belakang tubuh. Pelindung yang sudah tidak asing bagi gerbong Fortia. “Bajanya kuat sih. Kau bedarah ya?
“Oh ya, tak apa kok,” kata Sandara. Ia melirik ke sana ke mari. Orang-orang telah berlalu darinya. Untung saja mereka tidak melihat tingkah bodohnya memegang hidung yang berdarah-darah.
“Tapi kau berdarah,” kata gadis itu. Matanya membulat. Ia sangat cantik dengan rambut merah tuanya, manis dengan wajah bonekanya, dan seharusnya feminim jika tidak dilengkapi dengan pelindung-pelindung hitam “Biar aku bersihkan,”
“Tidak perlu,” kata Sandara mengibaskan tangannya yang lain. Tapi, ia hanya sungkan. Darahnya terus mengalir dari lubang hidungnya.
“Tidak bisa begitu,” kata gadis berambut merah itu. “Tunggu, aku akan mencari sapu tangan… ehm..” Ia melepaskan ranselnya, membuka resliting tas, dan mengaduk-aduk.
“Sungguh tidak perlu,” ujar Sandara sekali lagi, ia mengamati sekilas sekitarnya yang telah kosong. “Lagipula aku yang menabrakmu.”
“Tapi…” Gadis itu bersikeras, masih mengaduk-aduk tasnya.
“Bom!” Sesorang berseru. Gadis di depan Sandara menoleh, dan Sandara mengikutinya. Seorang laki-laki terlihat sedang berjalan menghampiri mereka. “Kau sedang apa di sini? Semua orang sudah berkumpul mendengarkan pengumuman di Ankonis.”
“Sebentar, Jiyong. Gadis ini berdarah gara-gara baju bodoh kita!” seru Bom. Ia kembali mencari-cari dalam tasnya.
Sandara sudah tidak asing dengan wajah Jiyong. Wajah laki-laki dengan garis-garis sempurna dan ketampanan luar biasa yang tak pernah ia temukan sebelumnya. Laki-laki dengan rambut merah menyala seperti api yang dapat ia kobarkan dari telapak tangannya.
Mendadak Sandara mengutuki hidungnya. Mengapa ia harus berhadapan dengan Jiyong dengan pose memegang hidung yang mengalirkan darah. Ini memalukan!
“Oh,” Jiyong sudah berada di dekat mereka. Sandara menunduk agar Jiyong tidak melihatnya. Ia menunduk menatap sepatunya, sepatu Bom, dan sepatu Jiyong yang baru saja datang.“Geser tanganmu.”
Awalnya Sandara tidak menanggapi. Setelah keheningan selama beberapa detik, ia mengangkat kepalanya lagi. Jiyong tepat berdiri menghadap dirinya. “Kau berkata padaku?” tanya Sandara bodoh.
Jiyong mengangguk. Wajahnya datar, tanpa ekspresi, seperti biasa.
Menggeser tangannya? Apa yang diinginkan Jiyong? Sandara menatap laki-laki berparas tampan tersebut untuk menebak-nebak. Ia mengernyit.
“Kau benar-benar tak mau menggeser tanganmu?” tanya Jiyong kesal. Ia melangkah mendekati Sandara, mengulurkan jemariya, menepis dengan lembut tangan Sandara yang memegang hidung. Seharusnya Sandara dapat mempertahankan tangannya tetap menggantung di hidung, namun karena terlalu kaget, ia melepaskannya.  Jiyong merogoh saku celana jeansnya dan mengeluarkan selembar sapu tangan bewarna coklat lembut. Ia mendekatkan wajahnya untuk mengamati Sandara, lalu mengelap dengan hati-hati hidung gadis tersebut yang berdarah. Tangannya yang lain merengkuh wajah Sandara, menahannya agar tidak goyang. Tapi Sandara tahu, tanpa ditahanpun, tubuhnya sudah berubah kaku.
“Aku tahu kau,” kata Jiyong pelan selesai mengelap darah dari hidung Sandara. Ia menjauhkan wajah dan tangannya dari Sandara. Jiyong menyeringai. “Kau gadis gila di gerbong Gi, ‘kan?”
Tubuh Sandara masih kaku. Ia mengerjap sebelum menjawab dengan gugup, “Ya, aku dari gerbong Gi, tapi bukan gadis gila.”
Jiyong mendengus, namun di bawah siraman redup lampu jalan, Sandara dapat melihat sudut-sudut bibirnya yang terangkat membentuk senyum. Senyum itu lagi. Senyum yang entah mengapa membuat ejekan laki-laki itu menjadi pujian.
Kini laki-laki berambut merah tersebut melipat sapu tangannya dan mengulurkan benda tersebut pada Sandara. “Tidak ada yang lebih gila daripada tourist baru yang melawan Kraken seorang diri. Omong-omong, kalau darahya keluar lagi basuh dengan ini.”
Sandara menerima sapu tangan tersebut dengan ragu-ragu. Benda itu bertekstur lembut dan dingin. Sepertinya telah dijaga dan dicuci dengan benar oleh pemiliknya.
“Kau masih menyimpan sapu tangan itu?” celetuk Bom dengan nada tak percaya di samping mereka. Sandara hampir melupakan keberadaan gadis itu. Namun, Jiyong tidak menjawab pertanyaannya.
“Kita harus cepat sebelum mulai pengumuman,” kata Jiyong. Ia menoleh pada Sandara sekilas, lalu turun menatap koper yang tergeletak di sebelah gadis itu. Tanpa tedeng aling-aling, laki-laki itu meraih pegangan koper Sandara, lalu menggeretnya dengan santai. “Kita pasti dapat barisan belakang.”
***
Sandara tidak mengira bahwa Ankolis hanyalah sebuah ruangan besar yang berada tepat di ujung stasiun. Ruangan itu gelap dan dari segala sisi dipenuhi kaca tanpa tirai. Penerangan hanya berasal dari lilin-lilin yang tergantung tinggi di sisi dinding tanpa kaca dan sinar rembulan yang merembes masuk. Di luar ruangan hanya ada langit yang digantungi bulan serta kegelapan total di bawahnya. Sandara yang menghabiskan hidupnya di kota besar seperti Seoul tidak mengerti bagaimana ada tempat yang segelap ini.
Para tourist telah berjejer-jejer baris di dalam ruangan, hanya menyisakan sedikti tempat bagi Sandara, Jiyong, serta Bom. Mereka bertiga berbaris di tempat yang tersisa. Sandara berada di barisan kedua dari belakang, sedang Bom dan Jiyong di paling belakang. (Dan Sandara telah mendapat kopernya lagi.)
Sepertinya, pengumuman belum dimulai. Banyak peserta di dalam ruangan masih asyik megobrol satu sama lain, bahkan ada yang tertawa terbahak-bahak hingga suaranya menggema nyaring di dalam ruangan. Sandara masih asyik mengamati sekitarnya, dan berhenti ketika mendapati gadis yang berdiri di sebelahnya. Gadis itu juga sedang menatapnya. Wajahnya yang hanya berupa bayang-bayang tampak familier.
“Ah!” seru gadis itu. “Aku tahu kau! Gerbong Gi, ‘kan?”
Sandara mengangguk, lalu ia ingat siapa gadis itu. Dia adalah  tourist baru yang rambutnya ternodai lendir monster. Gadis berambut hitam yang berwajah cantik.
“Tadi, jeongmal gomawo!” Gadis itu membungkuk, lalu ia menatap Sandara. “Omong-omong, namaku Goo Hara.”
Sandara tersenyum mengangguk, “Sandara Park.”
Namun percakapan mereka diinterupsi sebuah suara. Suara yang memantul-mantul di jendela batu dan menggelegar. Semua obrolan dan percakapan seketika lenyap. Sandara sendiri seperti sedang mendengar suara itu bergema tidak hanya dalam ruangan, tetapi juga dalam otaknya.
“Selamat datang, selamat datang. Selamat datang di Kynigo Land, tourist lama maupun tourist baru. Kami berharap kalian semua berhasil melewati level dua dengan baik,” kata suara tersebut. Sandara tidak dapat menebak apakah itu suara wanita atau pria. “Kami memberikan selamat dan apresasi bagi semua tourist yang berkumpul di gedung keramat ini, gedung Ankolis, yang tahun ini genap berusia tujuh ratus tiga puluh lima tahun.
“Dan sekarang, kami akan membacakan beberapa peraturan yang ada. Pertama, seperti games di tahun sebelumnya, semua peserta telah diberkahi bakat masing-masing. Hendaknya gunakan bakat tersebut dengan hati-hati. Kedua, seperti sebelumnya juga, poin dari gerbong kalian masing-masing akan dimiliki oleh semua anggota gerbong, dan kalian dapat menukarkan poin tersebut dengan senjata-senjata yang dapat dibeli di toko peralatan. Tepatnya di tempat ini.”
Tiba-tiba saja, dari kehitaman pekat di balik kaca, muncul kerlap-kerlip cahaya. Ada sebuah bangunan terbentuk dari kerlap-kelip tersebut di kejauhan. Bangunan itu cukup tinggi dan seperti bangunan-bangunan biasa yang ia temukan di tengah-tengah kota Seoul yang padat.
“Lalu, ketiga,” suara itu melanjutkan. “Kalian tidak diperkenankan melewati batas-batas Kynigo Land jika kalian tidak ingin menerima kematian yang tidak menyenangkan,” suaranya terdengar santai dan senang, Sandara merinding. “Keempat, bagi kalian yang melakukan kecurangan dan game over, akan dikirim langsung ke dalam Apothikefsi.”
Apothikefsi? Apa itu? Seumur hidupnya, ini adalah sebuah kata yang terdengar aneh di gendang telingany. Dan entah mengapa, kata tersebuat membuat Sandara merinding. Mungkin karena cara sang pemberi pengumuman yang mengucapkannya dengan serius dan terdengar mematikan.
“Kelima,” suara itu berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan sangat hati-hati, “kalian boleh berkeja sama, kalian boleh memiliki teman seperjuangan dalam kelompok. Namun ingatlah, sejak level tiga kedepan, poin hanya bertambah secara individu. Ini adalah games Individu. Permaianan yang hanya dilakukan perorangan.”
Sandara menoleh pada Hara. Gadis itu juga tengah menoleh pada Sandara. Mereka berdua terlihat ketakutan dan tidak nyaman. Games individu? Setelah berbagai kerjasama dalam kereta? Ini suatu hal yang tidak Sandara suka. Ia mengerling sedikit pada Jiyong yang berdiri di belakang Sandara. Laki-laki itu terlihat melamun. Ia menatap langit-langit Ankolis dengan tatapan kosong, seakan ingin menggapai tempat yang nun jauh di atasnya.
Eh.. mengapa Sandara menjadi melankolis begini? Oh, entahlah. Ia menggeleng sendiri pada dirinya.
“Dan terakhir, tema untuk games tahun ini,” Berhenti lagi, lalu dilanjutkan dengan suara yang lebih dramatis, “Around the World.”
Bersamaan dengan tema yang disebutkan, kerlap-kerlip mulai muncul di mana-mana, menyilaukan mata Sandara yang telah terbiasa menatap kegelapan. Satu persatu bangunan terbentuk di luar kaca, berjejer-jejer rapi di sekitar bangunan pertama tadi. Ada gedung tinggi seperti pecakar langit, gedung yang terlihat seperti mall. Jalanan terbentuk di mana-mana.
"Selamat bermain! Semoga cukup beruntung! Veni, vidi, vici!" seru suara sang informator sekali lagi.
Berikutnya, Sandara mendapati tulisan yang terukir di kaca depannya. Tulisan yang bersinar-sinar emas.
NEW YORK.
New York? New York? Kota yang dihiasi dengan patung Liberty dan jembatan Brooklyn itu? Kota yang berada di dalam film Hollywood? Kota di mana para artis barat tinggal? Apakah ia akan bertemu dengan Justin Timberlake, Eminem, dan penyanyi lainnya? Sandara mengerjap. Sebelum ia berpikir lebih nyeleweng lagi, tulisan-tulisan itu lenyap. Kaca di depannya beriringan membuka lebar, mempersilakan para tourist di dalamnya keluar. Sandara mengikuti dengan semangat. Di dalam pikiranya hanya terukir kata New York.
Namun mereka berhenti. Sandara hampir sekalu lagi menabrak orang di depannya ketika ia mengerem langkahnya. Gadis itu mengerjap bingung. Mengapa berhenti? Ia melihat melalui orang-orang yang berbaris di depannya, lalu sedikit berjinjit. Ia melihat sosok-sosok yang menggapai-gapai di angkasa, lalu mendengar suara pekikan-pekikan. Apa itu?
Sandara menoleh pada Hara. Gadis di sebelahnya juga tengah berjinjit untuk melihat apa yang terjadi di depan, dan tahu bahwa dengan tubuh yang sama kecilnya dengan Sandara, gadis trsebut juga tidak akan menemukan apa-apa. Hara menoleh pada Sandara dengan pandangan bertanya. Sandara juga menggeleng.
Mereka hanya maju beberapa langkah secara perlahan. Sandara masih berusaha melihat apa yang membuat barisan ini macet, dan mendapat jawabannya ketika ia sudah berada di garis di mana pintu kaca tadi berada.
Di barisan terdepan, ada jurang yang mengangga, memisahkan tempat mereka berpijak dengan kota yang berkelap-kelip nun jauh di sana. Orang-orang yang berdiri di depan terlihat meluruskan salah satu kakinya ke belakang dengan sikap ancang-ancang. Sandara berjinjit lebih lagi. Ia tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan.
“Apakah mereka akan turun ke jurang?” tanya Hara dengan ngeri. “Maksudku apakah kita juga harus melakukannya?” Gadis itu juga sedang berusaha melihat apa yang berada di barisan depan.
“Entahlah,” Sandara sendiri menelan ludahnya. Ia meremas jemari-jemarinya sendiri dan baru menyadari bahwa ia meremas sapu tangan. Gadis itu segera membenarkan sapu tangan yang kusut itu dan menyimpannya ke dalam saku celana. Lagipula, ia merasakan bahwa hidungnya sudah tidak terluka.
Detik berikutnya, para tourist di depan menjawab pertanyaan mereka. Orang-orang yang tadi melakukan ancang-ancang itu meloncat, tubuhnya terpelating ke langit, menembus kabut malam yang tergantung di udara, lalu menghilang. Sandara memekik kaget. Begitu juga dengan Hara. Tourist-tourist di barisan berikutnya melakukan hal yang sama.
Kini hanya tinggal lima baris yang tersisa termasuk dengan barisan Jiyong dan Bo. Tourist yang berdiri di baris terdepan tidak meloncat. Mereka semua berhenti. Keheningan mendadak menggerogoti malam. Melewati batas Ankolis, mereka tengah berada di luar ruangan yang dingin dan ditiup angin. Ditambah dengan pertunjukkan terjun bebas yang ditunjukkan tadi, perut Sandara terasa merosot. Ia sendiri mulai berpikir sudah berapa lama sejak ia dari kamar kecil? Ia benar-benar ingin ke toilet saat ini.
“Oh, ayolah,” Ada sebuah suara memecah keheningan aneh tersebut. “Tourist baru, ini adalah dinding pembatas Ankolis dengan Parko – tempat games.” Sandara mencari-cari dari mana suara itu bersumber, dan ia menemukan seorang laki-laki yang berdiri agak menepi di jurang. Laki-laki itu bertubuh ramping dan jangkung. Rambutnya yang hitam di puncak kepala ditiup angin malam. Matanya yang lebar menatap pada barisan di depan.
“Apa yang harus kami lakukan dengan dinding ini?” tanya seseorang dari barisan.
“Melompat,” kata laki-laki itu santai, “bungkukan badan, melecutkan tubuh, tembuslah udara di depan.”
“Apakah kita tidak akan terjatuh?” kali ini pertanyaan itu di lontarkan oleh seseorang yang berdiri cukup dekat dengan Sandara. Seorang laki-laki yang berdiri dua baris di depannya. Sandara menggeser tubuhnya sedikit dan mendapati bahwa pertanyaan itu keluar dari laki-laki gerbongnya. Ia adalah laki-laki yang hampir mati dibelit Kraken.
“Ya, terjatuh, memangnya ada melompat yang tidak terjatuh?” Kali ini jawaban itu dilontar oleh Youngbae. Sandara bahkan tidak menyadari bahwa Youngbae berada di tepian yang berlainan dengan laki-laki bermata lebar tadi.
“Maksudku di jurang, apakah kita tidak akan jatuh ke jurangnya?” tanya laki-laki gerbongnya lagi.
Youngbae mengangkat bahu, “Tidak seru kalau aku memberi tahu.”
Di belakang Sandara, ia mendengar Bom mendengus. Sandara memutar kepalanya untuk melihat pada gadis dengan pelindung itu. Gadis itu mengancungkan tangannya dengan malas-malasan.
“Youngbae, biarkan aku lewat dulu,” kata Bom malas-malasan.
Youngbae mengangkat kepala, mengamati Bom. “Ah, ketinggalan rupanya, Park Bom? Pantas aku tidak melihatmu. Kukira kau tidak ikut.”
Park Bom mendengus lagi. Gadis itu berjalan melalui sela antara Sandara dan Hara. Rambut merahnya yang terurai dibiarkan berkibar tertiup angin malam. Gadis itu berjalan ke tepian jurang, membuat ancang-ancang seperti yang dilakukan para tourist tadi; meluruskan kaki kiri, mata menatap ke depan, lalu membiarkan tubuhnya bertumpu di depan sebelum ia melompat ke udara, membiarkan tangannya menggapai-gapai langit, lalu lenyap.
Ada pekikan lagi, namun bukan dari Sandara. Sebenarnya gadis itu tidak dapat benar-benar berpikir sekarang. Ia merasa perutnya mulas.
“Oke, pertunjukkan yang baik. Kalian tadi melihatnya, ‘kan?” Kali ini laki-laki bermata lebar itu kembali berucap. Ia tersenyum. Wajahnya tampak menawan. “Ada yang ingin mencoba?” Ia menatap pada barisan di depannya. Tidak ada yang mengancungkan tangan.
“Tapi kalian belum memberi tahu apakah kita akan jatuh ke jurang atau tidak?” Laki-laki kraken itu bersikeras.
“Apakah kau selalu setakut ini, bocah?” tanya laki-laki bermata lebar tersebut dengan tenang. Ia melipat kedua tangannya.
“Aku tidak takut, aku hanya ingin memastikan keselamatanku. Aku tidak ingin hanya karena permainan konyol ini aku terbunuh,” Ia menekankan kata terbunuh dengan sungguh-sungguh. “Dan, aku bukan bocah. Namaku Kwanghee.”
“Baiklah, Kwanghee,” Laki-laki bermata lebar itu berujar dengan santai. “Aku akan menjawab pertanyaanmu. Tidak tahu. Kami memang tidak tahu apakah kalian bisa jatuh. Mungkin ya, mungkin tidak.”
Begitu laki-laki itu berujar, semua tourist baru di sana saling berbisik dan bergumam gelisah. Sandara menatap pada Hara yang sedang menggigit bibir dengan takut. Gadis berambut hitam panjang itu memberi angkatan bahu pada Sandara.
“Oh, ayolah, jangan konyol!” Kali ini seruan itu berasal dari seorang gadis. Ia berdiri di tepian yang lain di sisi kiri. Gadis itu sedang melipat tangan dengan kesal. Di bawah rembesan cahaya bulan yang amat pelit, gadis tersebut terlihat cantik dengan raut wajah kesalnya. Ia sedang menatap pada barisan. “Kalau kalian memang tidak mau melompat, kami akan meninggalkan kalian, sungguh.”
Kini Sandara mengamati sekitar dengan lebih sesakma. Di setiap tepian ada orang-orang yang berjaga. Ada lima keseluruhannya termasuk Youngbae, gadis tadi, dan laki-laki tampan bermata lebar. Lalu di barisan belakang, ada Jiyong dan seorang gadis lagi yang Sandara tidak ingat keberadaannya saat memasuki Ankolis. Tujuh orang. Sandara dapat menebak bahwa mereka adalah perwakilan dari masing-masing gerbong.
“Ya, kalau nona Suzy sudah marah, kalian benar-benar harus hati-hati,” kata laki-laki bermata lebar itu dengan nada menggoda.
“Atau dia akan sedikit menggigit,” timpal Yongbae. Mereka berdua tertawa sambil mengedikkan kepala satu sama lain.
“Oh, diamlah kalian berdua!” bentak Suzy. Gadis itu memutar matanya dengan kesal, lalu beralih menatap pada barisan tourist baru. “Apakah kalian benar-benar tidak mau melompat?”
Sandara merasa perutnya mengejang tiba-tiba. Ia menggigit bibirnya. Ia benar-benar sudah tidah tahan. Tangannya entah bagaimana terancung ke arah langit hitam pekat di atas. Ia sendiri tidak mengerti bagaimana engsel-engselnya bergerak sendiri.
Suzy melihatnya, gadis itu mengangguk kaku dan mengedikkan kepala ke arah tepian di barisan depan. Sandara mengerti. Ia berjalan melalui sela-sela barisan seperti yang dilakukan Bom, namun langkahnya amat lambat dan lemah, tidak semantap Bom. Roda-roda kopernya bahkan beberapa kali tanpa sengaja menyandung kaki orang-orang yang berbaris.
Kini gadis itu telah berada di tepian jurang. Ia bergidik. Dari jauh, jurang itu tampak gelap dan diam. Dari dekat – Sandara menelan ludahnya – jurang itu tampak jauh, tak berpenghujung, dan mengerikan. Sungguh ini di luar nalarnya. Ia merasa pilihannya mengangkat tangan adalah pilihan paling gila yang pernah dilakukannya. Tapi gadis itu benar-benar tidak tahan.
Ia belum melompat, masih menatap jurang dengan perut merosot. Apa yang harus dilakukan? Ia mengangkat wajahnya, menatap dinding tak kasat mata di depan. Mengamati pemandangan kota New York yang menjulang indah di sebrang. Bagaimana cara melompatinya?
“Oh, aku tahu kau!” Itu suara Youngbae. Sandara menoleh dan mendapati Youngbae berjalan menghampiri. “Kau gerbongku! Teman Seungri tadi. Siapa namamu, Sand…?” Youngbae mengernyit untuk mengingatnya.
“Sandara,” jawab Sandara dengan suara yang tak lebih dari cicitan.
“Ya, ya, Sandara.” Youngbae berjalan mendekati gadis itu. Ketika sudah berada di sampingnya, Youngbae menepuk pundak Sandara, membuat gadis itu gugup. “Tenang saja, jangan tegang. Kau hanya perlu melompat.”
“Bagaimana dengan koperku?” tanya Sandara hati-hati.
Youngbae menoleh pada koper Sandara, seakan baru menyadari gadis itu menggeret benda hitam yang telah terkoyak. Youngbae mengangguk sedikit, “Dua pilihan, peluk atau tinggal.”
Tinggal? Meninggalkan koper hitam yang ia bela mati-matian dari tentakel Kraken? Meninggalkan koper yang berisi seluruh koleksi Sandara selama bertahun-tahun ini? Sandara menggigit bibirnya, lalu segera membungkuk untuk mengangkat kopernya yang berat. Seandainya Sanghyun di sini, pikir Sandara tiba-tiba, ia pasti akan membawakan benda itu untuk Sandara. Baru beberapa jam ia meninggalkan adik laki-lakinya dan rasa rindunya sudah bertumpuk-tumpuk seperti ratusan tahun mereka berpisah.
“Siap?” tanya Youngbae semangat. Laki-laki itu terdengar antusias, mungkin karena Sandara berasal dari gerbongnya. Apakah ini sejenis kebanggaan tersendiri? Mereka memiliki rasa bangga dan selera permainan yang buruk menurut Sandara.
“Tidak juga,” gumam Sandara, masih memperhatikan jurang di depannya. “Apakah di sana ada toilet?”
Youngbae melongo. Ia mengerjapkan mata kaget, tidak menyangka akan ditanyai seperti itu. Ia tergelak sebelum mengangguk. “Seharusnya ada, New York ‘kan kota metropolitan.”
Sandara ikut mengangguk. Ia mengangkat wajahnya dari jurang yang melebar di depannya, menatap pada udara terbuka di depannya. Gadis itu berusaha menirukan ancang-ancang Bom, lalu ia menutup matanya ketika ia melemparkan tubuhnya ke depan, membiarkan kaki-kakinya mengambang di udara.
Sensasi mengambang di udara ia rasakan pertama kali ketika tubuhnya menggantung di udara. Perutnya terasa seperti ditekan dan diguncang-guncang. Ia merasakan bulu kuduknya yang sekejap berdiri ketika sensasi dingin angin menyergapnya. Kakinya yang menggapai-gapai kekosongan kesemutan. Sandara menggigit bibirnya. Karena inilah ia benci ketinggian.
Namun berikutnya, gadis itu merasakan sesuatu yang lentur melewatinya. Sandara membuka matanya sedikit. Ia masih mengambang di udara, namun ada selimut tipis yang membentang di tubuhnya. Selimut itu dingin dan tidak berbau. Dinding pembatas. Gadis itu menyadarinya. Dinding itu menarik tubuhnya perlahan ke dalam pusaran, terus hingga semua pemandangan di depannya hanyut. Rasanya seperti ditekan di atas tempat tidur yang kelewat empuk.
Sandara jatuh berguling di tempat yang lembab dan menabrak benda silinder. Ia membiarkan tangannya melepaskan diri dari kopernya dan melindungi kepalanya agar tidak terbentur. Selama beberapa detik, Sandara masih dalam posisi terkulai. Setelah menyadari apa yang terjadi, gadis itu menegakkan tubuhnya dan melihat sekitar. Ia sudah tidak menggambang di dinding pembatas. Ia sepenuhnya berada di tanah. Ia berada di sebuah jalan sempit yang di kedua sisinya berdiri bangunan-bangunan. Ada lampu jalanan dengan cahaya redup di tepi yang menampakkan kopernya. Benda bewarna hitam itu tergeletak di dekat selokan dalam keadaan yang lebih parah dari sebelumnya. Sandara berdiri, berjalan terseok-seok menghampiri kopernya sembari menatap sekitar dengan sesakma. Ia merasa beruntung bahwa tempat itu sepi setidaknya tidak ada orang yang melihatnya dalam kondisi aneh sambil berusaha menggapai koper.
Sayup-sayup dari kejauhan, Sandara mendengar suara air. Ia mengendus-endus. Benar saja. Selain bau anyir darahnya, ia dapat membau aroma asin yang khas. Sandara yang sedang merapikan kopernya –yang  sudah tak tertolong –menyadari bahwa ia berada di dekat laut. Gadis itu mengangguk. Walau ia tidak tahu apapun tentang New York, ia dapat menebak di mana gadis itu berada.
Detik berikutnya, kesunyian itu dipecahkan oleh suara teriakan. Sesuatu baru saja terjatuh beberapa meter darinya, berguling-guling dan menabrak tepi jalanan. Sandara mengamati dengan waspada. Itu bukan sesuatu. Itu sebuah sosok.
“Auhh…” Sosok itu merintih. Ia memegangi kepalanya, dan berusaha bergulung berdiri. Sandara menghampiri sosok itu dengan hati-hati. Apakah itu suatu monster yang harus di lawan di level tiga. Namun ketika sudah berada cukup dengan sosok itu, Sandara merasa lega.
“Hara!” Sandara memanggil.
Goo Hara menoleh pada Sandara. Gadis itu terlihat pucat dan ketakutan, namun begitu menemukan Sandara, sudut bibirnya tersenyum. Sandara membantu gadis berambut panjang itu berdiri.
“Pendaratan yang tidak sempurna, eh?” tanya Hara. Ia memindai pemandangan di sekitarnya. “Di mana kita?”
“Di dalam games,” jawab Sandara masuk akal, namun gadis itu menambahkan. “Sepertinya, kita berada di Manhattan. Kau dengar suara airnya?”
Hara mengernyit. Ia menajamkan pendengarannya, lalu mengangguk mengerti ketika mendengar suara deburan sayup-sayup. “Jadi di mana semua orang? Maksudku tourist yang lain?”
“Entah. Eh, aku perlu ke toilet, lalu kita mencari mereka. Bagaimana?” tanya Sandara. Hara mengangguk.
Mereka berdua baru saja akan berjalan untuk mencari, namun sesuatu mendorong tubuh kecil Hara hingga gadis itu jatuh ke depan. Sandara memekik ngeri. Ia segera berjongkok dan mengamati Hara. Gadis itu menggerakan tangannya untuk memberi tahu bahwa ia tidak apa-apa. Namun detik berikutnya, Sandara mendengar suara jatuh berdebam yang mengagetkan. Gadis itu membalikkan tubuh dengan sikap waspada sekali lagi.
“Apa ini!” Seru seseorang. Suara laki-laki. Ia mengumpat beberapa kali. Tidak seperi Sandara maupun Hara, laki-laki tersebut segera menegakkan tubuh. Laki-laki itu berdiri dan menatap sekitarnya. Matanya menatap Sandara, Hara, lalu beralih pada benda yang berada di kaki Hara. “Tasku!”
Hara sudah dapat memutar tubuhnya. Ia berdiri dan menghadap pada laki-laki yang tengah membungkuk mengambil tasnya. Wajah Hara memerah karena jengkel.
“Kau tahu tasmu baru saja membuatku jatuh dan kau bahkan tidak berkata maaf!” bentak Hara.
Laki-laki tadi mengangkat tasnya, menyandangkan ke bahunya yang bidang. “Oh, mianhae,” katanya tanpa sedikitpun terdengar bersalah.
Hara menggertakkan gigi. Matanya menyipit menatap laki-laki itu dengan marah, namun yang dipandangi tidak menghiraukan. Hara menoleh pada Sandara, memberi isyarat. Sandara hanya mengangguk, tidak mengerti. Sebenarnya, sekarang ia hanya ingin menyelesaikan keperluannya.
“Kita lanjut saja,” Sandara mengedikkan kepala ke arah jalanan kosong. Hara mengangguk. Kedua gadis itu berlalu meninggalkan laki-laki tadi. Baru saja beberapa langkah mereka berjalan, suara laki-laki tadi terdengar.
“Hey, changkaman!”
Sandara dan Hara tidak mau repot-repot membalikkan badan, namun nyatanya mereka berhenti. Laki-laki itu melangkah lebih cepat dibanding yang mereka kira.
“Kalian ke mana?” tanya laki-laki itu.
“Mencari kehidupan,” jawab Hara ketus. “Menurutmu?”
“Aku ikut,” kata laki-laki tadi.
Hara membalikkan tubuh. Wajahnya tampak tidak percaya. Sandara hanya ikut menoleh tanpa sedikitpun menaruh minat untuk marah atau mengomel. Ia hanya perlu menyelesaikan keperluannya sekarang sebelum semuanya terlambat.
“Kau baru saja menindihku dengan tasmu, lalu sekarang minta ikut? Hahaha. Lucu,” Hara mencibir.
“Aku ‘kan sudah minta maaf,” tukas laki-laki tadi. “Lagian kalian pernah ke New York?”
“Kau pernah?” tanya Hara.
“Pernah, aku cukup tahu jalan di Manhattan, paling tidak kita tidak akan tersesat,” kata laki-laki tadi.
“Hah! Benarkah?” Hara mengejek.
Sandara menelan ludahnya. Mau sampai kapan dua orang ini adu mulut? Ia benar-benar harus melangkah, mencari tempat yang ia perlukan. Sandara menoleh pada Hara dan menatap gadis itu denga lelah. “Biarkan dia ikut, aku benar-benar perlu ke toilet.”
Hara setuju. Akhirnya Sandara ditemani Hara dan laki-laki tadi menelusuri jalan panjang yang membentang di depan mereka. Jalanan itu benar-benar sepi. Tidak ada satupun batang hidung maupun mobil yang muncul. Sandara mengangkat kepala dan mengamati. Bangunan-bangunan di sebelahnya juga tampak gelap, tidak seperti kerlap-kerlip yang tadi ia lihat di Ankolis.
“Ini aneh,” gerutu laki-laki yang mengikuti mereka. “Kenapa sepi dan gelap seperti ini?”
“Kau ‘kan yang pernah ke sini,” sindir Hara.
“Dan tempat ini tidak seharusnya sesepi ini, gadis kecil,” tukas laki-laki tadi.
“Maaf ya, namaku Goo Hara, pak,” Hara mencibir.
“Terima kasih Goo Hara kecil, dan aku Yong Junhyung,” balas laki-laki tadi.
Sandara mendesah. Ia benar-benar tidak tertarik dengan pertikaian mulut apapun ini. Gadis itu terlalu letih untuk berbicara. Apalagi, ia benar-benar ingin cepat-cepat menemukan toilet. Ia menggunakan segenap tenaganya yang tersisa untuk menoleh dan mencari-cari.
Jalanan itu masih tetap lurus, lebar, dan gelap. Bangunan yang menjajar di sebelahnya tak kunjung habis, namun sekalipun Sandara tidak menemukan tempat yang dicari. Gadis itu mulai lelah. Ia bahkan tidak mendengarkan cekcok antara laki-laki dan perempuan di belakangnya. Ia berhenti, mengamati dua buah gedung tinggi di sebelahnya. Seharusnya di dalam gedung ada toilet ‘kan? Mengapa ia tidak berpikir.
“Ada apa, Sandara?” Hara bertanya. Ia menyadari bahwa Sandara berhenti jalan.
“Kita tidak mencoba masuk? Maksudku… aku… kau tahu, toilet.” Sandara merona, namun Hara membelalak.
“Benar! Kenapa kita begitu bodohnya?” Hara berseru. “Lagian sepertinya tidak ada yang menjaga gedung.”
Sandara mengangguk. Mereka berdua baru saja mendekati salah satu gedung tinggi yang di dalam cahaya remang-remang bewarna hijau. Pintu utama yang lebar di lantai dasar terbuat dari kaca. Sandara tidak punya banyak waktu. Ia mendorong pintu itu dengan cepat.
Bersamaan dengan tangannya menyentuh pintu, tiba-tiba entah bagaimana cahaya mulai muncul di mana-mana. Sandara mengerjap ketika mendapati lampu kuning di dalam gedung menyala, begitu pula dengan lampu-lampu lain di lantai atas hingga puncak gedung.
Sandara dan Hara mundur perlahan. Mereka mengamati dengan bingung.
“Hey, lihat, bagaimana ini bisa terjadi?” Junhyung berseru.
“Aku sudah lihat, pabo!” ejek Hara, masih menatap setiap jengkal jendela yang menampakkan cahaya dari gedung.
“Aku bukan pabo! Dan maksudku, bukan itu, lihat sekeliling!” tukas Junhyung.
Sandara dan Hara menurunkan kepala. Kini mereka lebih terperangah lagi. Tidak hanya gedung tadi yang menyala-nyala. Kerlap-kerlip lampu kini timbul dari seluruh gedung di sekitar, di seluruh penjuru jalan, membiarkan cahaya yang berasal dari lampu jalan tidak berguna lagi. Tidak hanya itu, jalanan itu penuh ramai dengan orang. Orang-orang asing berkeliaran di mana-mana, mobil-mobil melaju di jalan utama, dentuman musik yang entah berasal dari mana. Sandara memutar tubuhnya. Ia melihat layar lebar yang digantung di salah satu gedung. Suaranya amat bising, bahkan menenggelamkan suara air yang tadi ia cium.
Sandara dan Hara terpesona.
“Ini keren!” Mereka berdua berseru.
“Tidak lazim,” komentar Junhyung. Ia memandang sekitar dengan tatapan aneh. Ada seorang laki-laki tua berambut pirang baru saja melewatinya, menubruk sedikit bahunya. Junhyung melempar pandangan tidak suka, namun laki-laki tua itu tidak berbalik untuk minta maaf. “Apa mereka manusia?”
Sandara juga ikut mengamati sekarang. Menatap seorang keluarga kecil berisikan wanita, laki-laki, dan anak perempuanya. Mereka bertiga sama-sama berambut coklat karamel yang menawan. Orang tuanya menggandeng sang anak di dua sisi sambil mengamat-amati sekitar.
“Entahlah,” jawab Sandara jujur. Ia bahkan telah melupakan keperluannya, terlalu takjub dengan pemandangan kota metropolitan ini.
“Tetap jalan?” Junhyung mengusulkan.
“Oh yeah!” Hara menimpali. “Dan beli beberapa baju!”
“Haha.” Junhyung tertawa datar.
Mereka bertiga berjalan, kini lebih lambat karena harus melewati arus manusia. Kini ada perempatan di ujung jalan. Lampu lalu-lintas mengedip di tepi trotoar, didampingi oleh beberapa gelombang manusia yang sedang menunggu. Mereka berdua membelok ke kanan. Di tengah belokan Sandara mendengar suara bel. Suaranya nyaring, namun hampir tertimpa oleh keramaian kota saat ini. Ada suara wanita menyusul di belakangnya, suara yang tak asing. “LEVEL TIGA.”
Sandara, hara, dan Junhyung saling menatap satu sama lain. Mereka baru saja akan berdiskusi sesuatu, namun diinterupsi oleh jejak-jejak besar di depan. Makhluk itu hampir melebihi ukuran pencakar langit. Sisik-sisik hijaunya mengilap di sepanjang tubuh hingga buntutnya. Ia mengeluarkan suara yang besar dan membahana, membuat semua pejalan kaki berlari ketakutan dan memekik-mekik.
Sandara masih dalam keadaan kaget. Ia mengangga menatap makhluk besar itu. Otaknya masih macet dan belum dapat mencerna apa yang sedang dilihatnya.
“Apakah itu-?” Hara tercekat. “Dinosaurus?”
Sandara masih menatap makhluk bersisik itu dengan kaget. Namun langkah-langkah besar makhluk hijau besar itu sudah mencapai pada mereka. Sandara tersadarkan oleh gema yang diakibatkan oleh langkahnya yang memecahkan aspal jalanan.
“Lari!” Ia berteriak. Hara dan Junhyung yang ternyata juga melongo segera berlari. Mereka bertiga lari terbirit-birit, kembali pada jalanan utama.
Namun itu ide yang buruk. Jalanan utama macet. Terlalu banyak pejalan kaki dan mobil. Junhyung yang mengambil inisiatif terlebih dahulu. Laki-laki itu berlari ke salah satu mobil yang diparkir di tepi jalan – sebuah porche yang sangat mentereng, dan segera berseru memanggil Sandara serta Hara. Kedua gadis itu segera masuk ke dalam mobil, sedikit kesulitan ketika menjejal koper Sandara yang sudah tidak berbentuk.
Mobil segera melaju cepat setelah ketiganya masuk. Junhyung menyetir membelok di jalanan sebaliknya yang lebih sempit, namun Sandara tahu, Dinosaurus itu pasti masih mengejar mereka. Ini plotnya bukan? Mereka berada di dunia games. Merekalah lakonnya, dan lakon selalu di kejar oleh musuh.
Sandara mengutuk. Mengapa musuhnya dinosaurus? Ini sungguh tak adil, seperti pertarungan antara semut dan manusia. Dinosaurus itu hanya perlu menggerakkan jempol kakinya untuk melumat tubuh mereka bertiga.
Porche hitam itu masih melaju dengan kecepatan gila-gilaan. Bahkan secara sadar Junhyung menabrak beberapa mobil lain dan pejalan kaki. Sandara dan Hara memekik, namun mereka tidak dapat memprotes. Hanya saja ada suara-suara yang menganggu setiap mereka menabrak sesuatu. Sandara dapat mendengarnya sebagai, “merusak mobil, minus 1,” atau, “menabrak manusia, minus 5.” Tapi ia toh tak peduli.
Mobil itu terus melaju dan berdecit saat berbelok. Tubuh Sandara dan Hara yang mungil terpental beberapa kali, menabrak kaca, ataupun dasbor mobil. Sandara memiliki tantangan sendiri dengan memeluk kopernya agar tidak terbanting.
Tiba-tiba mobil berdecti berhenti. Junhyung memukul setirnya dengan kesal. “Sial! Jalan buntu!”
“Kau bilang kau tahu Manhattan!” protes Hara.
Junhyung menatap Hara kesal. “Kau tinggal di Seoul bukan berarti kau tidak pernah tersesat, ‘kan?”
Sandara tahu Junhyung benar. Tapi jalan buntu di saat seperti ini bukan hal yang ia sukai. Gadis itu merinding. Ia baru saja teringat keperluannya. Sial. Bibirnya mengatup tertutup, menahan setiap tubuhnya yang memberontak.
“Apa yang harus kita lakukan? Kita akan mati!” jerit Hara frustasi. Mereka bertiga mulai mendengar dentuman-dentuman itu, dentuman langkah tuan Dinosaurus.
“Serang,” Junhyung mendesah. Laki-laki itu sudah membuka pintu mobil di sebelahnya, lalu melenggang keluar. Ia membanting pintu itu cukup keras hingga Sandara dan Hara sedikit terlonjak.
Setelah kepergian Junhyung, Hara menoleh pada Sandara. “Bagaimana dengan kita?’
“Ikut,” Sandara menggigit bibirnya, seakan tidak setuju dengan jawabannya sendiri.
“Tapi kita sendiri, kita tidak mengerti caranya bertarung – kau tahu,” Hara mengangkat bahunya.
Sandara mengangguk, ia tahu itu dengan pasti. Namun Sandara lelah. Ia tahu bahwa mereka tidak dapat terus berlari. Seperti contohnya sekarang, mereka pasti akan mendapat jalan buntu suatu waktu. Lagipula, gadis itu merasakan sesuatu di dalamnya ingin berlari untuk menghajar monster yang menganggu kedamaiannya itu. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang menjalar dalam tubuhnya ini. Adrenalin? Mungkin. Atau mungkin karena ia begitu inginnya ke toilet.
Sandara membuka pintunya, keluar dari mobil mewah itu. Ia mendapati Junhyung yang berada di luar mobil sedang mengubek-ubek tong sampah yang di tabraknya sendiri. Sandara menghampirinya. Ia tahu Junhyung sedang mencari sesuatu yang dapat dijadikan senjata, namun mereka hanya mendapatkan dua batang tusuk sate dan kertas yang sudah kisut. Sandara meraih tutup tong sampah dan mendesah. Seumur-umur ia tidak pernah mau mengangkat-angkat tutup tong sampah seperti ini.
Tuan Dino tidak berjalan cukup cepat, namun langkahnya yang besar-besar sebentar saja sudah menghampiri Sandara dan Junhyung. Kedua remaja itu menatap raksasa bersisik hijau yang bahkan wajahnya tidak terlihat karena terlalu tinggi itu dengan menggigit bibir. Sandara dan Junhyung saling memandang satu sama lain, berusaha mengirimkan signal pendukung, namun mereka malah menemukan kecemasan di masing-masing wajah. Jantung mereka berdegup berkali-kali lebih cepat ketika keduanya bersama-sama melaju menghadap tuan Dino.
Junhyung berlari sangat cepat. Ia yang entah bagaimana mendapatkan senjata berupa besi pendek yang cukup tajam menghambur pada Dino, menanamkan besi itu ke kaki tuan Dino. Jika Sandara yang ditusuk seperti itu, ia yakin bahkan tidak ada erangan darinya – ia akan langsung pingsan. Namun tuan Dino memiliki kulit yang lebih tebeal dari sweater dan sol sepatu manapun. Kulitnya kokoh dan tajam. Besi itu menancap tak berarti di kakinya. Tuan Dino tampak puas, ia memutar tubuhnya dan membuat ekornya menyabet Junhyung. Dalam sekali hempasan, laki-laki itu melayang beberapa meter dan menabrak pintu kayu salah satu bangunan.
“JUNHYUNG!” Sandara berteriak ngeri. Namun ketika melihat Junhyung bangkit, ia merasa lega. Kini Sandara berlari mendekati tuan Dino. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tapi gadis itu memukul apa adanya pada reptil bertubuh tinggi itu. Berkali-kali gadis itu berkelit menghindari injakan mematikan sang Dino. Walaupun gerakannya lambat, sekali injak ia membuat aspal di bawahnya retak-retak, dan Sandara tidak ingin tubuhnya seperti itu.
Kali ini Junhyung yang sudah bangkit berlari mengalihkan perhatian sang Dino lagi. Entah bagaimana ia mendapatkan kayu-kayu yang cukup  runcing. Laki-laki itu menusukkannya dengan sembarang, mendorongnya agar cukup mengenai daging tuan Dino. Sandara mengambil kesempatan ini berkelit dan berputar mencari senjata.
Ia menatap sekeliling dengan panik. Lorong itu cukup lebar, namun tidak terlalu terang. Cahaya-cahaya hanya berasal dari lampu-lampu sorot tengah kota. Lalu Sandara menemukannya. Ketika ia berbalik melihat Porchenya, gadis itu melihat besi yang terkulai di bawah mobil. Berbeda dengan besi milik Junhyung, besi ini lebih panjang dan sedikit memiliki retakan. Ia dapat menebak bahwa besi itu adalah bagian dari besi milik Junhyung.
Sandara Park berlari, meghindari kaki Dino maupun sabetan ekornya yang penuh duri. Gadis itu membungkuk dan baru saja akan mengambil besinya, ketika sesuatu jatuh menindihinya. Sandara terlonjak kaget. Ia sudah berbalik dengan besi terancung di tangannya. Ia sudah mewanti-wanti serangan tuan Dino, namun yang didapatinya hanyalah ujung buntut Dino yang terkulai. Di sebalahnya, Hara mendongakan kepala sambil mengangkat sebuah pedang.
“Hara?” Sandara tampak syok. “Bagaimana kau mendapat pedang?”
“Oh entahlah,” Hara menjawab tanpa melihat Sandara. “Aku menemukannya di kursi penumpang.”
Sandara tidak banyak bertanya. Tuan Dino menyadari buntutnya yang putus. Ia berbalik dan mulai menyerang kedua gadis itu. Sandara dan Hara berkelit. Mereka beruntung karena memeiliki tubuh kecil yang lincah.
Ketika Sandara meloncat di salah satu aspal yang retak, tanpa disengaja kakinya terperosot. Sandara memegang ujung aspal yang masih baik dan mengangkat dirinya. Besi masih berada di tangannya. Ia mendesah lega sambil mengutuk aspal itu. Lalu ia teringat sesuatu.
Aspal. Di atas tanah. Bukankah gadis itu berasal dari gerbong Gi? Gerbong tanah? Ia sudah melihat bagaimana Youngbae, Seungri serta yang lainnya mengontrol tanah. Tapi mereka tidak pernah mengajarkan padanya bagaimana cara melakukannya. Gadis itu menggertakkan gigi.
Tiba-tiba Sandara kesal. Bukankah ini tak adil? Membiarkan tiga orang baru bertarung dengan Dinosaurus beringas tanpa dibekali apa-apa. Hanya sebongkah besi? Yang benar saja! Sandara menggigit bibirnya. Ia berjalan mundur, merapat pada dinding, berhenti menyerang. Ia melihat Hara dan Junhyung yang masih sibuk bertarung. Kaki Dino itu baru saja hampir menginjak Hara. Gadis itu berhasil berkelit, namun tubuhnya terpental ke belakang menabrak aspal lain.
Sandara memandangi aspal di bawahnya yang masih mulus, belum terusak oleh kaki tuan Dino. Sandara mengulurkan tangannya. Dalam pikirannya, ia sangat marah. Apa yang mereka lakukan? Bagaimana mereka membuat tanah-tanah itu berenang sesuai keinginan. Bagaimana caranya? Ia meremas jari-jarinya denga emosi, tepat saat aspal di bawahnya retak secara perlahan. Gadis itu terkesiap.
Lalu Sandara mengangkat wajahnya. Ia menatap pada tuan Dino, lalu beralih pada tanah yang sedang diinjak-injaknya. Gadis itu mengulurkan tangan ke arah aspal yang telah hancur itu seperti hendak meraihnya, lalu ia meremas jemarinya. Aspal itu retak. Sandara melakukannya lagi. Sekali lagi. Sekali lagi.
Kini, kaki tuan Dino sepenuhnya masuk dan terperosot. Makhluk itu tampak marah. Ia tidak menggerakkan kakinya sedikitpun karena telah tenggelam di dalamnya. Tuan Dino menggerakkan buntutnya yang buntung, dan ia menggeram marah sekali.
Junhyung dan Hara menyadari hal itu. Mereka mundur untuk menghindari kaki mereka terperosok. Keduanya menoleh pada Sandara dengan takjub.
“Bagaimana kau melakukannya?” tanya Hara.
“Konsentrasi,” Sandara menjawab singkat. Tangannya masih terulur dan terus meremukkan tanah di bawahnya, membiarkan tubuh sang Dino makin tenggelam.
Hara mengernyit. Ia melakukan hal yang sama seperti Sandara, namun tidak ada hasilnya. Ia melakukannya sekali lagi, kali ini wajahnya terlihat serius. Tanah di bawah Dino semakin menjorok dan mendalam. Hampir setengah tubuhnya berada di dalam. Kini wajahnya yang terlihat seperti kadal bergigi gerigi tampak cukup jelas.
Junhyung seperti mendapat inspirasi. Ia merentangkan tangannya dan memejamkan mata. Sandara tidak mengerti apa yang sedang laki-laki itu lakukan, namun detik berikutnya gadis itu melongo.
Tong sampah yang tadinya tergeletak terbang ke arah mereka, menghantam dengan keras pada kepala kadal tuan Dino. Kaca-kaca yang menutupi bangunan-bangunan di sekeliling mereka pecah, berhamburan menusuk-nusuk tubuh Dino yang tenggelam. Batu-bata yang tersusun rapi menutupi jalan buntu di depan mobil berhamburan dan melesat memukuli tuan Dino. Ketika monster itu mengerang dan membuka mulut berteriak, pedang di tangan Hara melayang dan menusuk tepat di tenggorokannya. Dinosaurus itu merintih keras sebelum darah hijau muncrat dari tenggorokannya.
Selama sekian detik, Sandara mengira itu adalah getah dari mulut Dinosaurus, namun berikutnya makhluk itu menyusut, menyusut, dan menghilang, hanya menyisakan bekas lendir hijau dari mulutnya. Pedang Hara terlempar dan terpelanting di aspal dengan bunyi yang cukup keras.
“Level 3 completed, poin 70 untuk Sandara Park.” Suara itu menggema di dalam kepala Sandara. Gadis itu menahan napasnya. Level completed? Apakah… makhluk itu baru saja mati? Apakah mereka sudah mengalahkannya?
“Wow!” Haralah yang pertama kali berseru. Gadis itu mengerjap kagum. Ia bahkan membiarkan lendir hijau itu mengotori sepatu haknya. Sandara sendiri baru ingat bahwa Hara mengenakan sepatu hak. “Fantastis! Apa yang kau lakukan tadi?” Ia mengedik pada Junhyung.
Di sisi lain retakan, Junhyung tersenyum di sela napas pendeknya. Ia sudah menurunkan kedua tangannya di sisi tubuh. “Itu kekuatan gaib gerbongku... Kalian tahu… Antikeimeno… Pengendali benda mati.”
Detik berikutnya, mereka mendengar suara decitan mobil. Ketiganya mengira mereka akan menghadapi monster lagi. Ketiganya mengambil sikap waspada, namun tidak begitu peduli dengan senjata lagi. Mereka menyiapkan kedua lengannya di depan.
Ada tiga mobil tepatnya yang berhenti di depan. Ketiga mobil itu hanyalah mobil jeep dan pikep yang jauh lebih biasa dibanding Porche yang dicuri Junhyung. Begitu berhenti, penumpangnya keluar dari mobil bebarengan.
Sandara sadar, tidak hanya satu orang, tapi berbondong-bondong. Apa ini? Apa yang harus mereka hadapi. Darahnya mengalir deras dalam tubuhnya dengan sikap waspada. Ia tidak dapat melihat jelas orang-orang itu karena jaraknya berjauhan, namun ketika mereka mulai mendekat, Sandara menurunkan lenganya. Di bawah cahaya lampu yang tidak terlalu terang, Sandara mendapati Seungri berdiri di sana dan melambai.
“Sand… Dara!” Seungri memanggil. Ia melihat lubang besar di depannya, lalu mengangkat lagi wajahnya menatap Sandara. “Kau membuat ini?”
Sandara mengamati rombongan orang yang keluar dari mobil. Ada Park Bom. Kelima orang dari gerbong Gi juga berkumpul di sana. Sisanya Sandara tidak tahu, namun gadis itu tersenyum. Gelombang kelegaan mengalir di dalamnya.
Sandara mengangkat bahu. “Kita bertiga melakukannya.”
“Wow, daebak!” Seungri tersenyum. Ia berjalan menghampiri Sandara. “Kalian tidak takut?”
Sandara mendengus. “Menurutmu?”
Seungri menatap Sandara, Hara, serta Junhyung bergantian dengan takjub. Walaupun laki-laki itu tidak mengenal Junhyung ataupun Hara –walaupun pastinya ia tahu bahwa Hara salah satu anggota gerbongnya, namun ia memberikan senyum memuji yang akrab pada keduanya. “Kami ngebut ke sini, kukira kalian bakal tidak selamat tadi,” tapi ia tersenyum geli. “Ayo, masuk ke mobil, bersama-sama agaknya lebih mudah.”
Sandara menoleh pada Hara dan Junhyung. Wajah keduanya, yang tadinya terlihat cantik dan tampan kini dipenuhi coreng moreng hitam dan darah di mana-mana. Rambut hitam keduanya tampak berantakan dan tidak teratur. Sandara tahu, tampangnya pasti juga seperti itu sekarang. Namun kedua temannya itu terlihat bersemangat dengan ajakan Seungri.
Setelah mengambil tas, serta koper – koper Sandara benar-benar sudah tak tertolong, mereka dituntun Seungri menuju salah satu mobil. Sandara diam-diam mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Ada sebuah pesan singkat.
From: Sanghyun
Nuna tidak menikmati liburan? Masa sih? Separah itu? Memang mereka membawamu ke mana? Ladang pertanian yang penuh cacing?
Sandara mendengus, lalu mulai mengetik balasannya setelah ia sudah berada di dalam salah satu jeep. Mobil besar itu segera melaju cukup kencang keluar dari terowongan, mulai memasuki jalanan kota yang ramai. Anehnya, seperti tidak ada orang yang menyadari bahwa baru saja ada Dinosaurus menyerang.
Kenapa lama sekali kamu membalas?
Sebenarnya... Tidak parah juga... Tapi sangat parah. Aku tidak bisa bilang aku suka dengan ini, walau aku cukup menikmati, sebenarnya. Oh, entahlah... Rasanya lama-lama aku menjadi gila.
Ps: Omong-omong, aku berada di kota yang mirip New York, kau mau aku membawakan Angelina Jolie, Kristen Stewart, atau Diana Agron? Haha
Pesan terkirim
to be continued
______________________________________________________________
Neomu-neomu Mianhaee!! Buatpart kedua ini, bener bener berantakan dan aneh banget. Aku sendiri yang baca agak merasa weird. Karena terlalu banyak tugas dan test menumpuk, juga novel dan DVD yang perlu dilihat, akhirnya aku nulis ini dengan buru-buru.
Forgive me for some typo dan kata-kata yang aneh.
Buat manhattan, jujur aku nggak pernah ke sana dan cuma sering lihat di film, di foto, dan di beberapa novel. :p
Dan omong-omong, di dua part ini Jiyongnya dikit amat ya? Iya, soalnya baru permulaan gitu. But I promise bakal nunjukin banyak-banyak scene Daragon di part selanjut-selanjutnya.
Finally, mohon review ya! Aku masih penulis amatir dan butuh butuh butuh orang untuk mengomentari. No bash please! ^^

0 komenz: