Pict credited weheartit via alics
Okay.. so, I dedicated this short short short writing to my cousin. hah!
Maap kalo jelek banget, jie...
.
.
.
Back then,
Just back… Malam itu sang dewi malam menggantung rendah di atas lautan hitam di langit. Kita berada di tengah-tengahnya, menikmati hidangan di atas meja kayu yang berhiaskan bunga mawar. Kita berbagi kisah, kisah antara kita yang hanya ada di antara relung memori kita.
Maap kalo jelek banget, jie...
.
.
.
Back then,
Just back… Malam itu sang dewi malam menggantung rendah di atas lautan hitam di langit. Kita berada di tengah-tengahnya, menikmati hidangan di atas meja kayu yang berhiaskan bunga mawar. Kita berbagi kisah, kisah antara kita yang hanya ada di antara relung memori kita.
Lalu kau tersenyum. Terkadang aku bertanya pada cermin dengan minder, apakah aku dapat tersenyum seindah dirimu? Nyatanya, hanya kau yang memiliki senyum dengan pesona seperti itu.
Siraman cahaya bulan malam itu memantulkan warna manik matamu, yang gelap namun teduh. Aku selalu suka dengan manik matamu, terlebih ketika kau menatapku. Seakan hanya ada aku dan kamu di tempat ini.
Itu hanya makan malam yang terlihat sederhana bagi orang lain. Tapi itulah awal segalanya bagi kita.
.
.
.
Back then,
Just back… Di siang hari yang amat terik, aku berdiri di depan gerbang sekolah dengan tangan terangkat menghindari kesilauan. Tas yang tersandang di bahuku menambahkan jumlah intesitas keringat yang mengalir dari dahi. Hari itu mungkin salah satu hari terpanas di kota. Sepertinya sang mentari sedang berusaha menghukum penerus bangsa yang lalai.
.
.
.
Back then,
Just back… Di siang hari yang amat terik, aku berdiri di depan gerbang sekolah dengan tangan terangkat menghindari kesilauan. Tas yang tersandang di bahuku menambahkan jumlah intesitas keringat yang mengalir dari dahi. Hari itu mungkin salah satu hari terpanas di kota. Sepertinya sang mentari sedang berusaha menghukum penerus bangsa yang lalai.
Aku berjinjit, celingukan mencari-cari mobil yang biasa. Di tengah kesibukan itu, dua buah tangan menangkup kepalaku, menutupi mataku dengan kedua telapak tangannya.
“Tebak siapa?” tanyam sebuah suara.
Aku tersenyum. Meraih telapak yang lebih lebar dari milikku, serta jemari runcing yang amat kukenal bahkan hingga letak tonjolan-tonjolannya sekalipun. Itu hanyalah sebuah kejutan kecil di bawah panas terik matahari. Konyol memang, tapi kau harus tahu bahwa aku senang.
“Kau!”
.
.
.
Just back… Sorak sorai penonton bergemuruh di lapangan beratap tersebut. Lantunan mars sekolah bergema, diselingi teriakan-teriakan, serta suara plastik yang dipukul-pukul. Semuanya berdiri, menelantarkan tempat duduknya. Tentu saja. Kursi panjang itu tidak semenarik pertunjukkan yang berada di depan mata. Pertunjukkan antara dua kubuh yang berebut bola jingga dan berusaha memasukkannya ke dalam salah satu keranjang yang tergantung tinggi. Basket.
Aku berada di lautan penonton, ikut berdiri, berteriak, dan memukul-mukul plastik. Terkadang, aku menyuarakan sebuah nama. Namamu. Kamu yang berada di tengah lapangan, berlari kesana kemari untuk memasukkan berpuluh-puluh bola.
Permainan berakhir ketika bola jingga tersebut lepas dari jemarimu, dan melayang masuk dengan manis ke dalam ringnya. Kau mengangkat kedua tangan bersorak. Penuh kemenangan, melihat ke segala arah dengan bangga. Lalu kau menemukan aku. Kau mengulurkan tangan, menunjuk padaku, diiringi senyum menawan itu.
Jika ada yang sadar, saat itulah potretmu diambil. Potret yang menghiasi halaman-halaman koran. Potret yang menjadikan kau bukan hanya milikku lagi, tapi milik semua penggemarmu. Milik bersama.
.
.
.
Now..
I really wanna go back… Semua hanya tinggalah sepotong kenangan yang berupa puing-puing dalam relung memorimu. Namun pernakah kau berpikir bahwa bahkan puing-puing sekalipun dapat disusun kembali menjadi sebuah bentuk lain. Itulah puing-puing dalam memoriku. Puing-puing yang mengenyam rindu dan sakit hati.
I really wanna go back… Semua hanya tinggalah sepotong kenangan yang berupa puing-puing dalam relung memorimu. Namun pernakah kau berpikir bahwa bahkan puing-puing sekalipun dapat disusun kembali menjadi sebuah bentuk lain. Itulah puing-puing dalam memoriku. Puing-puing yang mengenyam rindu dan sakit hati.
____________________________________________________________
“Kau bosan denganku?” Bosan. Itu hanya kata gerutuan sederhana. Namun sesuatu yang sederhana adalah pokok hancurnya segala sesuatu.
“Ya,” katamu. Hanya dua huruf. Satu huruf konsonan dan satu huruf vokal. Yang satu adalah huruf awal, yang satu adalah huruf kedua dari yang terakhir. Bagaimana dua huruf dapat menjadi pedang yang menusuk dibanding ratusan umpatan kasar sekalipun?
Aku mengangguk. Aku tidak terkejut. “Kalau gitu, kita udahan aja?”
“Tapi, kamu nggak apa?” Dan kau menanyakan pertanyaan yang lebih bodoh dibandingkan menanyakan ‘apakah manusia harus bernafas?’ Apakah aku tidak apa-apa? Dengan begitu banyak memori, kenangan, dan pikiran yang kita bagi bersama. Apakah aku tidak apa-apa? Dengan segenap kisah antara kita, impian-impian yang kita gantungkan bersama. Apakah aku tidak apa-apa?
“Ya, aku tidak apa-apa.” Dan aku tidak tersenyum
____________________________________________________________
I’m not okay…
Aku bohong jika aku berkata aku tidak cemburu. Nyatanya, aku sangat merindukan jemari yang menggenggam tangan gadis itu. Jemari yang dulunya pernah berkaitan dengan milikku.
Aku bohong jika aku berkata aku tidak cemburu. Nyatanya, aku sangat merindukan jemari yang menggenggam tangan gadis itu. Jemari yang dulunya pernah berkaitan dengan milikku.
Aku bohong jika aku berkata aku tidak rindu. Setiap tatapan kasih sayang itu terlihat jelas untuknya. Aku tak bisa lupa bahwa dulu itu milikku, dan aku masih menginginkannya.
Aku bohong jika aku berkata aku membencimu. Usahaku untuk membencimu sama sia-sianya dengan menunggu hari yang telah berlalu.
.
.
.
.
But actually..
Thanks you… Terima kasih atas potongan memori indah yang terukir dalam kesedihan ini. Terima kasih karena pernah menjadi bagian dalam kisahku yang sederhana. Terima kasih karena pernah menyukaiku. Terima kasih karena membuatku jatuh cinta.
But actually..
Thanks you… Terima kasih atas potongan memori indah yang terukir dalam kesedihan ini. Terima kasih karena pernah menjadi bagian dalam kisahku yang sederhana. Terima kasih karena pernah menyukaiku. Terima kasih karena membuatku jatuh cinta.
Just...
Thank you and goodbye. And I miss You.
Thank you and goodbye. And I miss You.





0 komenz:
Post a Comment