Cast(s):
~Kai as Kai and Kim Jongin
~Jung Hora (OC)
~Lee Taemin as Taemin and Jonglee
~Jung Soojung
Genre: Romantic, Hurt, Angst, Life
Length: 3794w One Shoot
Rate: PG-15
Note: Human, thing, world belong to God. I’m only own the plot. Inspired by some Drama and The Mortal Instrument by Cassandra Clare. Fanfic ini aku post di blog indofanfictkpop.wordpress.com ^^
Happy reading!
.
.
People use to keep their secret…
Some people live with secret…
.
.
.
Hujan turun begitu derasnnya siang itu. Air turun dari gumpalan kelabu di langit, menghantam genting, mengalir dari tiang-tiang bata, mengikuti pipa-pipa yang menjalar, dan jatuh ke tanah. Petir menyambar begitu keras dan memilukan. Suhu yang dingin menambah keributan cuaca siang itu.
Tidak banyak mobil yang melaju di jalanan. Mereka yang berpikir cukup waras, menghindari kemungkinan mobil mereka tersiram air hujan yang bercampur air got. Kota sangat sepi dan bebas polusi. Pohon-pohon kecil yang ditanam di pinggir jalanan tampak menikmati derasnya hujan yang menimpa mereka.
Di satu lorong kecil kota, bak sampah terguling dan isinya tumpah ruah. Benda-benda yang berceceran di tanah tersebut mulai mengeluarkan bau apak tak sedap akibat bercampur dengan air hujan. Beberapa di antaranya mulai lembek dan akan melapuk di tanah. Jelas, lorong itu bukanlah tempat favorit yang akan dikunjungi ketika hujan menhambur begitu seenaknya. Namun di sanalah bocah kecil itu berjongkok, merunduk, dengan mantel kelabu kedodoran melingkar di sekeliling tubuhnya. Tudung mantel menutupi rambut hitamnya yang berantakan hingga alisnya yang terukir jelas di atas matanya. Bocah kecil itu menggosok-gosokkan telapak tangannya, namun usahanya sia-sia ditebas air hujan.
Wanita itu berjalan setapak demi setapak. Membiarkan air di tanah berkecipak memprotes heels sepuluh sentiku. Tanah boleh lembab, namun ia tidak akan menarik wanita itu. Wanita itu berhenti tepat ketika ia mendapati kehadiran sang bocah kecil. Tubuhnya yang langsing dan tinggi menjulang d ihadapan sang bocah. Bocah kecil itu belum menyadari kehadiran sang wanita – kepalanya masih meringkuk ketakutan dalam bayang-bayang bak sampah.
Akhirnya wanita itu menunduk, mengulurkan jemari-jemarinya yang lentik, mengusap tudung sang bocah di mana seharusnya puncak kepala berada. Bocah malang itu tersentak kaget. Ia mengangkat wajah dengan tatapan waspada.
Saat menatap kedua bola mata hitam sang bocah, wanita tersebut tersenyum. Ia telah memutuskan sesuatu . Dan jarang sekali keputusannya tidak terjadi.
***
Alunan musik yang cepat dan keras mengalun dalam ruangan persegi yang dikelilingi cermin-cermin besar itu. Lantai kayu di bawahnya bergemeratak seiring derap kaki melompat-lompat di atasnya. Di tengah ruangan, seorang pemuda yang begitu tampan menari dengan penuh keasyikan sambil memandang pantulan dirinya di dalam cermin.
Pemuda itu memutar, melompat, menggerakkan lengannya, berguling ke sana ke mari, hingga akhirnya ia dihentikan suara pintu yang dibuka begitu keras. Pemuda itu berhenti dengan ke adaan tangan di lantai dan kaki melayang di atasnya. Ia menurunkan tubuhnya, memposisikan dirinya berdiri tegak, dan memasang wajah kesal.
Dari balik pintu, seorang gadis kecil muncul. Sebenarnya gadis itu tidak benar-benar kecil, namun karena tubuh sang pemuda yang tinggi, otomatis gadis tersebut dapat dikategorikan sebagai pendek.
“Oppa, kecilkan suaranya, aku sedang menonton TV,” kata gadis kecil itu. Tangannya memegang pinggul.
“Kalau kau menonton di home theater, suaranya tidak akan terdengar,” ujar pemuda itu. “Jangan coba-coba membodohi aku.”
“Well,” gadis itu berkacak pinggang. “Kalau kau mengerti maksudku, pelankan suaranya. Kami hampir melewati siang yang begitu indah hingga musik kerasmu mengacaukan segalanya!”
Pemuda itu berjalan ke arah sang gadis. Namun alih-alih mendatangi gadis tersebut, ia mengambil handuk yang digantung di sebelah pintu dan mengelap keringat yang mengalir dari dahinya.
“Kecilkan suaranya, oke?” gadis itu memastikan.
“Tidak,” jawab sang pemuda dengan seenaknya. Ia menoleh pada sang gadis, menatap kedua manik abu-abu yang dimiliki di balik bulu lentik miliknnya. “Jadi, siapa laki-laki ini? Orang yang baru kau temui atau apa?”
“Laki-laki ini?” Gadis itu menyibak rambutnya yang disemir merah terang dan memelototi sang pemuda. “Dia adalah Taemin sunbae. Senior di sekolahku.”
Pemuda itu mengangguk-angguk. “Well, Taemin. Setidaknya aku tidak pernah mendengarnya di kategori buronan,” Ia berhenti sebentar sebelum melihat sang gadis berambut merah yang kini melotot, “Dia bukan ‘kan?”
“Tentu saja bukan!” Protes gadis itu.
Pemuda itu mengerutkan dahinya, lalu ekspresi jenaka tiba-tiba muncul. “Aku ingin memastikan,”
“Mwo…?” Sebelum gadis itu sempat menyelesaikan pertanyaannya, pemuda itu sudah melesat keluar dari ruangan menarinya melewati sang gadis. “Ya! Kai Oppa! Jangan macam-macam!”
“Aku tidak janji!” Seru pemuda bernama Kai itu riang.
Tidak perlu begitu lama bagi Kai untuk mencapai ruang tamu di mana laki-laki yang disebut Taemin duduk. Ia berjalan begitu santai melewati bingkai pintu, mendekati sosok laki-laki yang duduk di sofa panjang ruang tamu. Laki-laki bernama Taemin itu sedang menoleh dan mengamati pigura foto keluarga yang duduk manis di meja tamu.
“Ehem,” Kai berdeham, membuat laki-laki berambut coklat di sebelahnya tersentak dari sofa dan berdiri .
Ketika Taemin menoleh, hati Kai mencelos. Niat jahilnya seketika lenyap tak berbekas ketika menatap wajah Taemin. Ia mengerutkan dahi dan hampir tidak dapat menelan ludahnya sendiri.
Taemin bangkit berdiri dari sofa. Laki-laki berpostur kurus tersebut mengulurkan tangannya untuk menjabat Kai, namun tidak disambut. Bersamaan dengan itu, gadis berambut merah menyusul dengan ekspresi panik. Ketika ia melihat adegan itu, amarah membuncah dari dalam hatinya. Gadis itu seolah tahu oppanya akan mengacaukan segalanya. Ia segera melesat di antara kedua laki-laki tersebut.
Taemin sudah menurunkan tangannya yang terulur.
“Taemin sunbae, mianhae,” kata sang gadis. “Ini oppaku, Kai, lalu,” Gadis itu menoleh pada Kai yang masih dalam keadaan mematung, “Oppa, ini Taemin sunbae.”
Kai mengangguk kaku. Ia memutar tubuhnya, dan berjalan menjauhi mereka. Ia meninggalkan ruang tamu dalam diam. Sinar-sinar jenaka dari matanya yang dibawa ketika memasuki ruang tamu telah musnah.
***
Kini Kai berada di dalam kamarnya yang super berantakan. Kamar khas laki-laki remaja yang tidak pernah bisa rapi kecuali ada roh-roh pembersih seperti tukang bersih-bersih atau pembantu harian. Lantainya berteberan baju-baju bekas, kursi-kursi dihiasi oleh jaket-jaket yang belum dicuci. Sneakers berhamburan di mana-mana dan kadang hanya tinggal sebelah.
Pemuda itu berbaring di atas tempat tidur yang secara aneh menjadi satu-satunya tempat paling bersih dalam kamar itu. Ia membiarkan tubuhnya terlentang melatap langit-langit kamar yang dicat putih dengan earphone terpasang di telinga.
Sebuah gedoran pintu menginterupsinya, namun Kai tidak berniat membuka pintu.
“Ya, Kai oppa! Orang menyebalkan! Cepat buka pintunya!” Suara gadis berambut merah itu terdengar.
Kai tidak peduli. Pikirannya sedang buta dan tidak dapat diganggu. Secuil memori dari kenangan paling buruk dalam dasar otaknya kini dipetik kembali ketika ia menatap laki-laki berambut coklat itu. Kai menggaruk kepalanya, lalu mengusap rambutnya dengan sembarang, dan mendesah kecil.
Rupanya sang gadis berambut merah berhasil menerobos kamar Kai, entah dari kunci cadangan atau apa. Gadis itu berjingkat-jingkat melangkahi hamburan baju Kai sebelum mencapai tempat tidur Kai.
“Hei, oppa menyebalkan, bangun!” Gadis itu menarik lengan Kai hingga laki-laki berkulit coklat itu terduduk. “Jangan kira aku akan membiarkanmu! Kau membuat reputasiku hancur di depan Taemin sunbae!”
Kai menatap sang gadis, seolah-olah gadis itu tidak waras. “Memangnya apa salahku?”
“Salahmu?” Gadis itu menyeringai. “Banyak! Kenapa tadi kau tidak menyambut uluran tangan Taemin? Kenapa kau tadi berdiri saja? Apakah kau tak pernah mengerti tata krama?”
Selama sang gadis itu mengomel, Kai memperhatikan mata sang gadis yang melotot, bibirnya yang bergerak cepat dan menggebu-gebu.
“Kenapa kau tidak bisa menjadi manis sedikit, sih?” Kai bertanya tanpa menjawab omelan sang gadis. “Jika wajahmu tidak mirip omma, aku akan meragukan kau adalah anaknya.”
Gadis itu menegang. Ia terlihat waspada. “Kenapa kau membahas tentang omma?”
Dan Kai menyesal telah mengatakannya. Ia tidak bisa menjawab.
“Oh sudalah, repot deh ngomong sama kamu,” kata gadis itu pada akhirnya. Ia mengibaskan rambutnya seperti biasa, namun masih ada raut gelisah di wajah ketika gadis itu akan berbalik pergi.
“Hora, tunggu!” seru Kai tiba-tiba.Hora berhenti, menoleh pada Kai dengan waspada. “Temani aku ke minimarket sebentar.”
***
Hora mengamati Kai. Laki-laki itu sedang memilih-milih minuman yang dipajang di rak market. Wajahnya yang sedang berpikir itu sangat tampan dan menawan. Didukung dengan tubuhnya yang jangkung dan atletik, serta kulit coklatnya. Hora selalu iri dengan bagaiamana kakak laki-lakinya memiliki tekstur wajah serta tekstur tubuh yang jauh lebih baik dari dirinya.
Kai sudah selesai memilih dan sedang berjalan ke arah kasir. Hora mengikuti di belakang dengan tangan terlipat dan raut wajah sebal. Ketika mereka keluar dari minimarket, Hora mulai melontarkan kesebalannya.
“Kau hanya ingin beli minum dan mengajakku? Memang kau pikir aku begitu tidak ada kerjaannya ya?” Omel Hora.
“Ya, sedikit,” kata Kai. “Kerjaanmu ‘kan memang hanya pacaran.”
Hora cemberut – entah karena tersinggung atau tersindir, well sepertinya keduanya sama saja.
“Kita pulang sekarang?” tanya Hora.
“Tidak,” Kai tiba-tiba menggandeng tangan Hora. “Temani aku minum.”
Hora mendesah. “Kalau kau pikir bisa membujukku untuk memutuskan Taemin, kali ini oppa salah besar.”
Tapi Kai tidak menghiraukan. Ia terus menarik Hora berjalan.
Di dekat minimarket yang mereka singgahi, ada sebuah taman kecil yang difasilitasi bagi penduduk yang tinggal di sekitarnya. Taman kecil itu dipenuhi rumput dan jalan setapak yang digunakan orang-orang tua untuk jalan sehat. Kai duduk di atas rumput yang membentang, menyentakkan tangan Hora agar gadis tersebut mengikuti ia duduk. Hora pun duduk di sebelah Kai, merentangkan kakinya di atas rumput yang basah. Kai menyarukkan tangannya ke dalam kresek belanja dan mengambil botol minuman dari dalam. Ia membuka tutupnya dan meneguk isinya yang berupa cairan bewarna kuning, lalu memberikannya kepada Hora.
“Kau hanya beli satu untuk kita berdua? Dasar pelit.” Tapi Hora menerima minuman itu dan meneguknya banyak-banyak.
“Gimana?” Tanya Kai selesai Hora minum.
Hora menoleh. “Gimana apanya?”
Kai mendesah. “Minuman. Kau akan mengganti pikiranmu?”
Hora tertawa pahit. “Kau menyogokku dengan minuman berbagi? Ogah.”
Gadis itu menekuk lututnya dan menyepak-nyepak kakinya di tanah berumput tersebut. Entah mengapa perasannya tidak enak.
“Kumohon?” Mohon Kai dengan suara lembut.
Hora mendesah. Jika suara Kai seperti ini, gadis itu mau tak mau melunak, entah kenapa. “Tapi kenapa, oppa? Aku menyetujuimu saat kau menyuruhku memutuskan mantan-mantanku… Ya, karena mereka memang tidak benar, atau jelek. Well, tapi kau belum mengenal Taemin barang sehari!”
Keheningan tercipta di antara mereka. Suara cicit burung yang bertenger di ranting pohon dan gemerisik daun terdengar di antara keheningan yang janggal itu.
Akhirnya Kai bersuara. “Aku mengenalnya,” lalu ia berhenti. “Tidak perlu tanya bagaimana dan mengapa ia tidak. Yang jelas aku tahu. Jika saat ini omma masih ada, aku yakin ia akan menyetujuiku.”
Hora menggigit bibirnya. Mendengar pernyataan Kai barusan, entah kenapa gadis itu ingin merebak tangis. Suaranya terdengar mencicit saat berbicara. “Oppa curang. Kau selalu membuatku dilema. Apa kau ingin selamanya aku menjomblo?”
Kai tidak menjawab. Sebenarnya ia sendiri tidak tahu apakah tindakannya ini benar.
“Tapi aku tidak akan melakukannya,” kata Hora dengan suara sedikit bergetar. “Aku tidak akan melakukannya sebelum mengetahui alasannya.”
Hora bangkit berdiri dan berlari menjauh.
***
Hari sudah malam ketika Kai tiba di rumah. Laki-laki itu masuk ke dalam rumah kecilnya dan mendapati adik perempuannya yang tertidur tepat di sofa ruang tamu. Kai menutup pelan pintu rumah agar tidak membangunkan Hora. Ia menyampirkan jaket kulitnya di punggung sofa, dan menggendong Hora hati-hati.
Kamar Hora gelap, tanda bahwa gadis itu menunggu Kai sedari tadi sore. Tempat tidurnyapun masih rapi dan bersih. Sungguh kamar seorang gadis selalu lebih bersih dibanding kamar laki-laki.
Setelah meletakkan Hora di tempat tidur dan menyelimuti tubuhnya, Kai berjongkok di sebelah tempat tidur. Laki-laki itu mengamati wajah Hora yang terlelap. Ia membelai pipi adik perempuannya itu dan tersenyum sedih.
“Aku harus melindungimu, aku sudah berjanji,”: kata Kai pelan. “Aku tidak bisa memberikan alasan, karena alasan ini lebih menyakitkan dari alasan manapun tentang mantan-mantanmu. Mengertilah, kumohon.”
Tapi Hora yang terlelap hanya menjawab dengan igauan.
***
Sudah hampir seminggu hubungan Hora dan Kai menjadi dingin. Mereka melakukan aktivitas masing-masing – Kai menari dan Hora berpacaran – tanpa ada keinginan dari kedua pihak untuk saling menegur. Kai berlatih dari sore hingga malam, sedang Hora menghabiskan waktu dengan Taeminnya dari pagi hingga sore.
Ketika suatu siang bercuaca cerah mereka tanpa sengaja dipertemukan di ruang makan, keduanya hanya saling menegur. Mereka berdua duduk dalam diam sambil memakan makanan siang pesanan. Sesekali Kai menatap Hora, dan gadis itu berusaha mengurungkan niatnya untuk mendongakkan kepala pada kakaknya dan membentak-bentak.
“Bagaimana hubunganmu dengan Taemin?” tanya Kai akhirnya.
Hora mendonggakkan kepala dan memicingkan mata. “Kau barusan bertanya hubungan kami?”
Kai mengangguk polos.
Adik perempuannya tidak berusaha menyembunyikan dengusan rasa sebal. Hora mengunyah cepat makanan yang baru disuapnya. “Baik, dan tidak ada urusannya dengan oppa yang menyuruhku memutuskannya di hari pertama.”
Kai mengangkat alis, tapi ia tidak membalas. Ada jeda keheningan di antara mereka berdua.
“Kau tahu ada beberapa alasan yang tidak dapat diungkapan dengan kata,” kata Kai perlahan.
Hora mengangkat kepalanya sekali lagi dari lauk pauk di piring. Ia menatap kakak laki-lakinya, mendapati wajah Kai yang begitu lembut, serius, sekaligus tegas. Lagi-lagi Hora harus dihadapi oleh ekspresi Kai seperti ini. Ekspresi yang membuat gadis itu mau tak mau melunak, walaupun ego tidak menyuruhnya.
“Oppa, kau harus memberi tahuku alasannya. Aku selalu melakukan yang kau inginkan jika kau memberi tahu di mana letak salahnya,” Hora mengambil napas dalam-dalam. “Taemin itu baik. Dia lembut. Dia bukan pemabuk atau tukang pukul. Sekali melihatpun kau tahu, ‘kan? Jadi berikan alasan yang jelas.”
“Sudah kukatakan,” Kai bersikeras, “ini adalah alasan yang tak dapat diungkapkan. Aku tahu dengan pasti alasan itu. Jika omma…”
“Berhenti!” Bentak Hora tiba-tiba. Kai tampak terperanjat. “Berhenti katakan ‘jika omma…’, kau bukan omma! Kau oppaku! Aku tidak akan melakukannya jika oppa tidak memberikan alasan yang jelas.”
Kai meletakkan alat-alat makannya. Ia menatap adik perempuannya, meniti wajah gadis mungil itu.
“Hora yah… “
Namun Hora juga telah meletakkan alat makannya dan bangkit dari kursinya. “Kau menyimpan rahasia, oppa. Kau selalu menyembunyikannya, bahkan dariku. Jangan membantah.”
Kai merasa seperti ditonjok tepat di wajah. Ia tahu adik perempuannya baru saja mengatakan kebenaran. Menyimpan rahasia? Kai tidak menyimpan rahasia. Ia hidup bersama rahasia. Rahasia adalah kehidupannya.
“Aku tidak tahu mengapa kau tidak ingin memberitahuku soal Taemin, tapi,” Hora menggigit bibir bawahnya, “aku yang memutuskan kali ini. Jangan seenaknya megatur kehidupanku!”
Hora beranjak menjauhi meja. Kai juga sudah bangkit berdiri dan ia menyusul Hora. Laki-laki bertubuh kekar itu menarik lengan Hora hingga tubuh kecil gadis berambut merah terang tersebut membalik. Entah bagaimana wajah Kai sudah sangat dekat dengan wajah Hora dan detik berikutnya Kai mencium Hora.
Selama sekian detik, Jung Hora tampak terkejut dan ia sedikit menikmati. Gadis itu mengulurkan tangannya untuk menyentuh kepala Kai, namun sedetik kemudian gadis itu sadar apa yang dilakukannya dan menyentakkan tubuh Kai menjauh.
“Oppa, apa yang kau lakukan?” suara Hora tercekat.
“Bisakah ini kau sebut alasan?” tanya Kai.
Jung Hora masih tampak seperi trans. Jantungnya berdegup begitu kencang di rongga dadanya. Gadis kecil itu menatap Kai dengan tidak percaya. “Kita kakak adik! Kau…”
Namun perkataan Hora dipotong oleh dering ponselnya. Masih meatap Kai dengan tatapan marah, gadis itu merogoh kantung jeansnya. Ketika ia mengangkat telpon itu, pikirannya masih berseliweran ke mana-mana. Namun saat mengfokuskan pendengarannya, gadis itu merasakan perasaan tercekik untuk kedua kalinya.
***
Kai dan Hora berlarian di sepanjang koridor putih tersebut. Mereka berdua berlari melewati beberapa insan yang lewat dengan jubah putih maupun baju lengkap bewarna hijau. Ya, mereka berada di dalam rumah sakit. Keduanya bersamaan berhenti di salah satu pintu, tepat di mana sepasang suami istri berdiri di depannya.
Raut wajah Hora dan Kai sama-sama pucat dan panik. Keduanya segera melontarkan pertanyaan bersamaan kepada sepasang suami istri itu.
“Dia roboh, nak. Kami tidak tahu bagaimana keadaannya,” kata sang istri mengatasi pertanyaan keduanya.
“Tapi dia baik-baik saja tadi pagi saat kami telepon..” Hora mendengar suaranya bergetar.
“Ya, dia masih sempat memainkan pianonya sebelumnya,” Wanita itu juga terisak. Ia memeluk Hora.
“Jadi,” Suara Kai memecah derak tangis kedua perempuan tersebut, “apakah penyakitnya semakin parah?”
Baik Hora maupun sepasang suami istri tersebut tampak terkejut. Mereka bertiga menoleh menatap Kai. Sang suami membetulkan letak kacamata perseginya, mengamati Kai dengan wajah bingung. Sang istri yang dibutakan oleh air mata hanya tersentak, namun tidak begitu peduli dengan kehadiran Kai.
Hora mengusap air mata di pipinya dan mengernyit. “Bagaimana kau tahu Taemin sudah lama…?”
Namun pertanyaan Hora dipotong sang suami. Suaranya yang berat dan jelas terdengar ragu-ragu. “Jangan katakan kau… Kau Kim Jongin?’
Kai menatap laki-laki itu selama beberapa detik sebelum mengangguk.
“Kau benar Kim Jongin?” tanya laki-laki paruh baya itu sekali lagi, kini suaranya tercekat. “Tidak mungkin.”
Hora mengernyit bingung. “Tapi, kau Kai.”
Kai menatap Hora. “Aku Jongin, sebelum menjadi Kai.”
***
“Aku dan Taemin adalah saudara kembar – yang tidak identik kalau kau bertanya. Aku Jongin, dia Jonglee. Kami dibesarkan di sebuah panti asuhan kecil di luar Seoul. Jonglee – Taemin, dari kecil mengidap penyakit dan tubuhnya ringkih, lemah. Aku yang terus merawatnya, walaupun begitu banyak suster yang bertanggung jawab, hanya aku yang dapat meredamkan penyakitnya.
“Kami selalu bersama, hingga suatu hari aku mendengar sepasang suami istri akan mengadopsiku. Hanya aku. Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak ingin berpisah dari Taemin, dan aku tahu Taemin tidak bisa hidup sendiri di panti asuhan. Aku masih berusia tujuh tahun saat itu, namun aku menolak dengan tegas. Ketua panti tidak mendengarkan. Kami tengkar hebat hari itu.
“Lalu aku kabur. Aku mengajak Taemin kabur, namun dengan kondisi tubuhnya yang buruk, aku tidak bisa membawanya lebih jauh. Tapi aku telah membenci panti asuhan dan segala isinya. Aku tidak kembali.
“Siang itu hujan lebat. Aku meringkuk sendiran di antara sampah-sampah yang berserakan. Di sanalah omma – ibumu – menemukanku.”
“Dan akhirnya kedua suami istri itu mengadopsi Taemin?” tanya Hora. Suara gadis itu terdengar mencicit. Ia perlahan-lahan melahap informasi yang diutarakan Kai. Otaknya masih tidak dapat menangkap dengan benar keseluruhan kisah selain bahwa Kai bukan kakak kandungnya.
Kai mengangguk.
“Saat bertemu dengan Taemin, aku langsung tahu di adalah Jonglee. Entah apakah ia masih mengingatku…”
“Ia meningatmu,” sang suami mengintrupsi. “Minggu lalu ia berkata ia bertemu dengan saudaranya, walau ia tidak mengatakan bahwa kau telah menjadi kakak dari pacarnya.”
***
Rest In Peace.
Begitulah ukiran yang tertulis di atas batu nisan. Bukannya tidak pernah melihat ukiran tersebut, namun Hora masih merasakan perasaan pedih saat menatapnya. Gadis itu mengusir air mata yang menggenang di pipi, dan ia memaksakan sudut bibirnya terangkat.
“Selamat jalan.”
Hora meletakkan rangkaian bunga di depan batu nisan.
“Terima kasih atas satu minggu ini.”
Lalu gadis berambut merah terang tersebut bangkit berdiri. Di sisinya, Kai sudah menunggu dengan jas hitam lengkap.
“Taemin yang akan berterima kasih atas satu minggu ini, sayang,” kata sebuah suara wanita. Suara ibu angkat Taemin yang berdiri di sebrangnya. Wanita itu mengangguk pada Hora dan Kai.
Keduanya berpamitan pulang.
Di tengah perjalana, hujan turun dengan derasnya, seakan langit tahu betapa mendungnya hati mereka berdua. Kai menyuruh sopir taksi yang mengantar mereka agar berhenti di depan sebuah café. Mereka berdua turun tepat saat guntur menyambar. Cepat-cepat keduanya masuk ke dalam ruangan hangat café yang didominasi warna coklat lembut. Harumnya kopi menyerbak di mana-mana, menggantikan bau lembab di luar.
Kai dan Hora sama-sama memesan kopi hitam, entah karena ingin atau karena keduanya sama-sama merasakan hitam dalam hatinya.
“Aku bahkan tidak bersikap baik padanya,” Kai menangkupkan tangannya menutupi wajah. Wajahnya memerah frustasi.
Hora tidak tampak ingin menjawab apa-apa. Gadis itu sudah terlalu lelah menangis hari ini.
Kedua kopi hitam yang dipesan Kai dan Hora datang. Cangkir-cangkirnya diletakkan di atas meja kayu berbentuk bundar di depan mereka. Uap panas mengepul-ngepul di atas, menyarungkan sedikit panas dari udara yang begitu menggigit akibat hujan.
Mereka berdua tampak terbuai oleh suasana café yang tenang dan diiringin lantunan musik klasik. Sambil meminum kopi, bergumul dalam pikiran masing-masing.
“Jadi karena kau tahu Taemin mengidap penyakit,” Hora berhenti, “kau melarangku berpacaran dengannya? Kau takut aku patah hati?”
Kai mengangguk. Ia menyeruput sedikit kopinya, lalu meletakkan cangkir putih itu kembali. Ada jeda berupa keheningan di antara mereka. Hora menggigit bibirnya beberapa kali seakan sedang mempertimbangkan sesuatu.
“Kai oppa,” kata Hora akhirnya. Kai mengangkat wajah. “Kau tahu mengapa selama ini aku selalu gonta-ganti pacar?”
Kai terperanjat. Sepertinya ia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti ini. Laki-laki itu menggeleng, membiarkan poni pendeknya ikut bergerak-gerak.
“Karena… aku merasa diriku tak waras,” Hora berhenti sejenak. Ia tampak rag-ragu. “Aku selalu berusaha mengganti pacar, bahkan aku tidak benar-benar menyukai mereka. Aku tidak pernah keberatan saat harus menurutimu untuk memutuskan mereka. Karena bagaimanapun, hanya ada seseorang yang membuatku gila,” Hora menelan ludahnya dengan susah payah. “Awalnya aku berpikir aku hanya terlalu menyayangimu, namun aku tidak bisa menepiskan dirimu barang sedetikpun. Lalu aku merasa aku gila telah mencintai kakak laki-lakiku.”
Kai menggertakkan gigi. Laki-laki itu menunduk menatap kopi hitamnya, seakan benda itu amat sangat menarik untuk dilihat, bukan dicicipi.
“Lalu aku bertemu Taemin. Seharusnya aku tahu apa yang membuatku begitu terpikat dan tertarik padanya. Karena kemiripan kalian.” Hora menyelesaikan kisahnya. Ia meneguk kopi hitamnya, membiarkan cairan hitam pahit itu menguasai kerongkongannya yang tidak haus.
Kai masih diam dan mematung. Ia tidak menanggapi apa-apa. Ekspresinya yang menatap gumpalan hitam di dalam cangkir tidak dapat ditebak. Ia seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.
“Aku sangat lega melepas rahasia yang kupendam dari dulu. Apakah kau tidak ingin melakukannya, oppa?” Hora menelengkan kepalanya. Ia mempertimbangkan dirinya sebelum berkata dengan suara pelan, “Aku tahu kau mencintai omma.”
Kai tersentak dan ia telah mengangkat kepalnaya walaupun masih belum mau membuka bibirnya.
“Jika kau bertanya bagaimana aku tahu, itu adalah pertanyaan bodoh,” kata Hora pelan. “Aku selalu cemburu dengan bagaimana kau menatap omma, seakan hanya dia satu-satunya wanita di dunia ini. Bagaimana cara kau mengucapkan kata ‘omma’ yang selalu terdengar tulus dan lembut. Aku selalu iri. Dan cemburu.”
Kai memejamkan mata selama beberapa detik. Ia tidak sedang menikmati melodi yang melantun di dalam ruangan hangat tersebut, melainkan sedang berusaha melawan pikiran-pikiran yang berkecamuk di dalam otaknya.
Potongan-potongan akan memori masa lalu menyergapnya sekali lagi. Panti asuhan. Saudara Kembarnya. Hujan. Wanita elok. Seberapa banyak rahasia masa lalu yang telah terkupas dari dirinya? Ia merasa seperti memotong-motong dirinya sendiri.
“Benar,” Akhirnya Kai mengangkat bicara. “Aku mencintai Jung Soojung, ibumu.”
Ada keheningan sejenak di antara keduanya. Hora merasa seakan hatinya baru saja diiris oleh sesuatu yang bahkan lebih tajam dari pisau sekalipun. Ia yang mengajak Kai membicarakn topik ini. Ia yang mendorong Kai untuk mengakuinya. Namun entah mengapa, realita yang diterimanya terasa begitu menyakitkan.
“Aku mencintai Soojung semenjak ia memungutku di jalanan. Aku mulai memahami perasaanku yang sebenarnya saat aku bertumbuh, dan aku tidak berhenti mencintainya bahkan ketika ia telah tiada. Aku mencintainya selalu dan selamanya.” Kai berhenti bicara. Ia merasakan hatinya bergemuruh saat melepaskan seluruh rahasia yang dari dulu membelit dirinya.
Kedua insan itu saling menatap satu sama lain. Mereka tampak amat lelah, seperti baru saja berpikir keras dalam menghadapi soal ujian matematika yang jawabannya penuh dengan koma. Namun ada wajah puas dan lega sekaligus yang terpampang di raut keduanya.
“Setelah mengungkapkannya, begitu enteng ya?” tanya Hora.
Kai menatap gadis kecil itu. Ia mengangguk.
“Jadi…” Hora tampak ragu-ragu, “apakah ciuman waktu itu karena kau menatapku sebagai omma?”
Kai mengerjap. Ia merasa mencelos mendengar pertanyaan yang disodorkan Hora. Mengupas rahasia dalam dirnya saja sudah begitu melelahkan. “Entahlah, Hora. Aku selalu menatapmu sebagai anak Soojung, anak dari wanita yang kucintai, anak yang harus kulindung. Hanya itu yang selalu kupikirkan.”
Keheningan tercipta lagi. Hora mengangguk mengerti, walaupun sebagian dari dirinya ingin menangis. Apa sih jawaban yang diinginkannya? Entahlah. Hora sendiri tidak mengerti akan dirinya.
“Tapi… aku harus jujur,” kata Kai, “bahwa ketika aku melakukannya, perasaanku tidak hanya itu. Entahlah, aku tidak mengerti.”
“Ara, aku mengerti, oppa.” Hora mengangguk. Ia melepas tangannya dari pegangan cangkir, lalu mengulurkannya untuk membelai punggung tangan Kai.
Entah apa yang akan keduanya rasakan di depan. Mungkin saat ini mereka bukan kekasih. Mungkin saat ini hanya ada cinta yang bertepuk sebelah tangan. Yang terpenting, mereka sudah tak dibelit oleh rahasia lagi. Semua telah mengalir bersamaan dengan rintik hujan siang itu.
Biarkan waktu dan takdir yang menentukan kisah mereka selanjutnya.
That’s why secret should be tell..
***
Mianhae ceritanya begitu… aneh.
Forgive me for some typo. Dan untuk masalah diksi, aku bener-bener masih amateur~
But thanks for those who have read this weird story. Please give me review. I’m still a Newbie >_<





0 komenz:
Post a Comment