“Lalu, besoknya,” Johan Watson melanjutkan ceritanya, tapi aku menyela..”Hei, tunggu, kenapa kamu ceritakan ini padaku?”
Johan menjilat bibirnya yang merah itu, “Ya, pingin aja.” Dia mengernyit. “Membosankan ya? Maaf.”
Aku menggeleng. “Tidak, aku hanya heran. Kenapa kamu cerita ke aku.”
Johan memandangku sejenak, lalu menjawab, “Ya nggak papa, pingin aja.”
Aku mengangguk walau sebenarnya aku masih bingung. Orang aneh.
“Lalu besoknya,” Johan melanjutkan, seolah-olah tidak ada jedaan sebelumnya. “Kami bertemu lagi, dan besok lusanya ketemu lagi dan seterusnya. Sampai suatu hari…”
“Katy!” Carol berteriak memanggilku dari gerbang masuk area kolam renang. Aku menoleh dengan agak terkejut. Rupanya, Johan benar-benar pandai bercerita, dia membuatku terhipnotis dalam ceritanya. Wow!
Carol menghampiri kami. Johan tampak salah tingkah dan mulai melakukan pemanasan. Sekilas aku melihat sesuatu berkilauan dari dadanya. Sebuah kalung perak dengan bandul berbentuk daun. "Kalung yang bagus," Kataku.
Johan Watson tersenyum, tapi dia belum sempat menanggapi karena Carol sudah berada disebelahku dengan matanya yang berbinar-binar melihat Johan Watson.
“Hai,” Johan menyapa Carol dengan ramah. Ya, walaupun aku lebih senang menyebutnya dengan sapaan sok kenal sok dekat. Tapi wajah gadis berambut hitam panjang ini tampak semburat merah, bahkan ia membalas sapaan Johan dengan suara seperti suara orang menelan besi. Padahal biasanya suaranya melengking dan membuat gendang telingaku sakit.
Johan tak berlama-lama pemanasan, ia segera melemparkan dirinya ke dalam air yang bening itu. Cipratan airnya membasahi kakiku, dan aku bisa merasakan dingin dan segarnya air itu. Aku jadi kepingin renang.
Carol meremas jariku, “Bagaimana…?”
“Dia kebetulan aja ke sini,” Kataku tenang.
“Wow, enak banget,” Ujar Carol. “Seharusnya tadi aku nggak usah ngambil hpku. Lagian kecewa banget ngambil hp, sinyalnya jelek banget, smsku dari tadi nggak ke delivered ke Mark. Ganggu orang pacaran banget! Ehm, atau mungkin hp ini aja yang udah bobrok nggak bisa kirim sms lagi ya, atau operatornya memang pingin ku hajar. Woi! Katy! Dengerin aku ndak?”
Aku baru sadar. Sedari tadi Carol mencerocos aku bengong. Ya, aku bengong sambil menatap kearah kolam renang. Kearah Johan. Tidak, lebih tepatnya kearah kalung berkilau yang dikenakan Johan Watson. Kenapa rasanya kalung itu pernah kulihat?
“Ehm, ya Rol?”
Carol mendengus. “Plis de! Kamu uda punya kokoku, Katy sayang, dan kamu juga lagi berantem sama pacarmu! Jangan bengongin cowok lain dong!”
“Aku nggak bengongin cowok lain kok!” Tukasku jengkel.
“Oke, wtv,” Kata Carol lalu menatap kolam renang, “Dia ganteng banget ya, keren…”
Aku mendengus.. Oke, siapa yang bengongin cowok lain?
“Eh, kita pergi yuk,” Kataku setelah beberapa lama bosan mendengar Carol membisikkan pujian-pujian tentang Watson.
“Ya.. Koko lagi tanding sekarang,” Kata Carol menaikkan alis. “Mau lihat?”
Aku mengangguk dan berharap Stanley sudah tidak marah lagi.
***
Dia sudah tertawa. Ya. Aku melihatnya sendiri. Stanley, pacarku, kakak Caroline , sedang tertawa. Tapi bersama orang lain di pinggir lapangan. Dan orang lain itu adalah seorang cewek.
Wajahku merah padam sanking marahnya. Aku menghampiri mereka tapi mengontrol emosi dan kecemburuanku.
“Stan,” Aku memanggilnya dengan suara tinggi. Bahkan, menurutku lengkingan Carol kalah.
Caroline tampak menggigit bibir. Dia tahu, emosi sudah mengumpul di kepalaku dan siap meledak.
Bagaimana tidak marah? Oke, aku salah karena berbohong soal ajakan itu, tapi paling nggak sebenarnya kau nggak betul-betul bohong. Aku memang di ajak Johan, tapi alasanku mengikuti camp ini juga karena ajakan Stanley. Dan dia marah banget karena masalah itu! Tapi sekarang, dia tertawa lepas bersama cewek lain, bergurau di pinggir lapangan berdua. Mana yang lebih buat emosi?
“Emh?” Stanley menanggapi dengan senyum masih memerkah di bibirnya.
Aku memandang gadis yang di ajaknya bergurau. Ternyata dia adalah Erika Stooner. Baiklah, sekarang aku mengerti, apakah ini balasan dari Stanley? Menyenangkan sekali.
“Kamu sudah bisa ketawa,” Kataku dengan nada tenang tapi dingin, “Jadi, sudah fine masalah kita? Baguslah, kupikir kau bakal merengut sepanjang hari karena masalah sepele, tapi rupanya kau bisa tertawa juga, baguslah.”
Stanley diam saja.
Tiba-tiba dari arah lapangan, seseorang meneriakkan nama Stanley. Rupanya sekarang gilirannya dia tanding. Tanpa ba-bi-bu, Stanley segera melesat kea rah lapangan dengan raket digenggamnya.
Aku dan Carol duduk di sebelah Erika Stooner. Aku melirik gadis itu dengan tajam. Pertama, lirikanku adalah lirikan benci, tapi begitu ingat Johan Watson, aku teringat sesuatu.
“Erika,” Panggilku.
“Ehm?” Gadis berambut coklat yang tengah asyik menonton pertandingan itu menoleh padaku.
“Kamu benar-benar Erika Stooner?”
Pertanyaanku membuat gadis bermata hijau itu mengernyit. “Ya, tentu saja.”
Aku menatap gadis itu lebih lama dan akhirnya yakin bahwa aku memang tahu siapa gadis ini
***
“SEPUPU?” Carol terkejut ketika aku selesai bercerita.
“Ya, Erika Stooner itu sepupuku.” Kataku yakin sembari mengambil baju ganti.
Di kamar itu hanya ada aku dan Carol. Erika dan Angel sudah selesai mandi dan mereka sudah melesat terlebih dahulu ke lapangan.
“Tapi, kalau sepupu, kenapa kalian tidak saling…?” Carol tampak bingung hingga menjatuhkan handung merah mudahnya.
“Perang saudara,” Dengusku lalu tertawa pahit, “Ayah kami dulunya akur, tapi karena masalah sepele, mereka tengkar. Ayah Erika membawa Erika ke Amerika waktu aku masih berumur 8 tahun, sejak itu, kami sama sekali tidak pernah bertemu. Tapi, setidaknya aku masih sedikit ingat wajahnya.”
Carol mengangguk mengerti. Ia mengambil handuknya yang jatuh, “Pantas, kalian sedikit mirip,” Seru Carol, “Rambut kalian sama-sama cokelat dan mata kalian sama-sama hijau seperti kodok.” Gurau Carol.
To My friend: Love someone is easier than forget someone, yeah, that's true
Sejenak meja satu menjadi sangat sepi. Semua mata masih menghujamku, Ketika ketiga meja makan sudah penuh, Johan yang sepertinya tahu bahwa ada di meja kami suasananya memanas, segera menepuk tangan keras dan berkata, “Sepertinya kita bisa mulai makan,” dan sepertinya tantangan untukku terlupakan.
Johan Watson melambaikan tangannya pada salah satu temannya dan berkata, “Matt! Cepet, makanannya!”
Sebenarnya Johan nggak salah, tapi aku betul-betul ingin meninjunya sekarang. Stanley dan Carol tampak diam sekali saat makan. Aku mencoba ngomong dengan mereka, tapi mereka hanya menjawab dengan jawaban singkat padat yang membuatku mulai ngeri. Dan aku sama sekali nggak mau ngungkit tentang Johan, aku takut, Stanley bakal sangat marah dan mendobrak meja.
Oke, Stanley memang cemburuan, tapi dia jarang marah, dia hanya diam seperti ini. Tapi, kalau dia benar-benar dia marah, akan lebih menakutkan daripada mak lampir marah. Aku pernah sekali melihat cowok berbadan jangkung dengan rambut coklat tua ini marah, dan percayalah itu adalah hal mengerikan yang pernah ku ketahui.
Cewek-cewek di meja kami sama sekali tidak membuatku terhibur. Mereka makan sambil memelototiku. Tapi, who care? Yang penting Stanley dan Carol nggak diem kayak gini.
***
“Aku bisa njelasin semuanya, Carol, plis, sorry, aku belum pernah cerita ke kamu, tapi sungguh bukan maksudku nyembunyiin ke kamu, aku hanya merasa kalau ini hal yang tidak terlalu penting, oke, aku kenal dia tapi, sebatas kenal. Plis, kamu ngerti kan maksudku,” Aku terus menyerocos begitu kami tiba di kamar. Tapi Carol masih diam.
Carol masih marah, aku tahu. Dia sama sekali nggak menggubrisku. Tapi jauh lebih mengerikan Stanley. Selesai makan, ia segera meninggalkan meja makan menuju kamarnya. AKu mengejarnya, tentu saja, tapi ia menutup pitu kamarnya dan tidak membukakan pintu walaupun aku sudah menggedurnya hingga pintu kamar itu kutinju. Akhirnya aku menyerah dan kembali ke meja makan, aku takut bakal merusak pintu kamar itu sanking emosinya.
“Plis, aku cuma kenal sama dia, Rol, dan nggak lebih, kau tahu lah, Rol…” Kataku setengah merengek. Jarang sekali aku harus merengek seperti ini.
Aku takut Carol bakal membenciku. Dia sahabatku. Aku lebih senang jika ia marah membentak-bentakku daripada diam tanpa kata-kata seperti ini.
“Kukira aku sahabatmu,” cicit Carol dengan suara pelan, “Tapi masalah seperti ini, kau nggak menceritakan padaku!”
Kujilat lidahku, “Aku minta maaf,”
Lalu Carol tergelak. Aku melongo.
“Yak ampun, Kathyku… kamu pikir aku bakalan ngambek cuma gara-gara masalah sepele ini?” Carol masih setengah tertawa ketika melanjutkan, “Aku cuma sandiwara, oke, aku tahulah kalian cuma sebatas teman, tapi, kamu tetep harus cerita bagaimana kalian kenalan, atau aku bakal beneran marah!”
Aku tersenyum.
***
Berbeda dengan Carol, Stanley tupanya benar-benar cemburu dan kecewa karena aku telah berbohong padanya soal ajakan camp ini. Aku betul-betul bingung harus bagaimana.
Setelah menceritakan semuanya ke Carol, gadis berambut coklat di highlight pirang ini langsung saja ber inisiatif mengajakku ke lapangan tennis dan hendak menceritakan yang sebenarny kepada Stanley. Dia tahu, Stanley akan tanding tennis sore ini.
Tapi ternyata, Stanley bahkan sama sekali tidak mau mendengarkan lengkingan suara adik perempuannya itu. Betul-betul membuatku frustasi.
AKhirnya, setelah putus asa, aku dan Carol jalan-jalan di sekeliling villa itu. Kami berjalan menuju kolam renang yang indah itu. Perasaan hangat mulai sedikit menelusupiku ketika melihat air yang berkecipuk-cipuk ringan.
“Ah, sebentar,” Kata Carol saat baru saja menginjakkan kaki ke area kolam renang, “handphoneku ketinggalan di kamar,” kata Carol sambil merogoh-rogoh sakunya. “Bentar, aku ambil dulu, bentar aja, kamu di sini ya, kathy!”
Aku mengangguk dan melihat Carol yang berlari menuju villa.
Setelah Carol menghilang, aku mulai mengamati kolam renang itu.Kolam renang itu benar-benar di desain seperti sungai dan rawa-rawa. Tempat duduknya terbuat dari batu-batu landai. Alasnya adalah tanah, tapi tanah yang lembut. Kutanggalkan sandal croc ku dan aku duduk di salah satu batu landai itu sambil menikmati pemandangan indah ini. Sesaat, perasaan gundahku pada Stanley hilang, tapi itu tak berlangsung lama sampai seseorang menepuk bahuku.
“Hei,” Aku menoleh dan mendapati si Johan sudah siap dengan baju renangnya. Oh plis, kenapa orang ini! “Mau renang juga?”
Oke, dia nggak membahas persoalan makan siang tadi. Bagus. Sepertinya dia nggak tahu kalau pacarku lagi ngamuk sama aku gara-gara perkataannya! Ya, memang itu bukan salah dia, tapi tetap saja! Seharusnya dia mengerti sedikit. Huh!
“Nggak, aku cuma mau lihat-lihat,” Kataku jutek.
Johan duduk di batu sebelahku. “Pantas, pemandangannya indah ya?” Dia tampak mengamati pemandangan kolam renang dan tidak menghiraukan nada jutek di perkataanku. “Hijau itu indah.”
Aku mengangguk ragu sambil melihat pemandangan, “Ya,”
“Coklat itu segar sekali, rasanya manis. Dan air, bening, selalu tampak tenang. Pemandangan alam memang indah ya.”
Entah kenapa, perkatannya membuatku terhanyut. Aku sendiri heran. Ia mengatakannya dengan intonasi yang membuatku terhanyut dan lupa bahwa beberapa menit yang lalu aku pingin menendangnya ke kolam renang.
“Tiga belas tahun yang lalu," Kata Johan dan aku mengernyit, dia sedang ngomong apa sih? “Aku bukan seorang petenis terkenal. Aku menangis saat pelatihku memarahiku karena gerakan tanganku salah, Petenisku galak banget, kau tahu? Aku berlari keluar dari lapangan tennis dan tiba-tiba saat melewati area kolam renang, dengan pandangan penuh air mata, aku tercebur di kolam yang cukup dalam. Tiba-tiba seorang gadis kecil berenang ke arahku dan menarikku. Ia penyelamatku.”
Aku terhanyut dalam ceritanya.
“Aku masih ingat gadis itu, berambut secoklat batang pohon, matanya sehijau daun dan sebening air.”
Aku mengernyit.
“Dia adalah Erika Stooner.” Johan tersenyum menyebutkan nama pacarnya itu.
Aku bengong beberapa saat. Jadi namanya Erika Stooner? Pantas, sepertinya aku mengenal dia!
“Kau tak’ kan percaya ini, Claire!” Seru Randy sambil menggebrak meja kepada Claire yang baru akan mulai memakan nasi gorengnya. Terpaksa Claire meletakkan sendoknya lagi dan mengalihkan perhatian pada sahabatnya itu, “Christine nerima aku!”
Claire sama sekali nggak tertarik. Dia hanya mengangkat alis dan berkata dengan cuek, “Oh ya, selamet,”
Randy melompat-lompat seperti orang gila. Beberapa murid di kantin itu melirik pada cowok bertubuh atletis tersebut dengan tatapan ‘apakah-dia-masih-waras?’. Claire mulai memakan nasi gorengnya.
“Ada apa ini?” Vanny, sahabat Claire yang lainnya, meletakkan makanannya di samping Claire.
Claire hanya menanggapi, “Bukan hal penting,”
Randy langsung menukas dengan cemberut, “Ini penting! Aku jadian sama Christine, kelas 11-3 yang cantik itu!”
Vanny mengernyit sebentar, “Ternyata memang bukan hal yang penting,”
Randy merengut lagi.
“Memang, kalau Randy, itu hal yang biasa,” Timpal seseorang ketika Vanny baru saja duduk di sebelah Claire. Orang tersebut bertubuh tinggi dan senyumannya menyenangkan. Ia meletakkan semangkuk baksonya di meja sebrang Claire. “Sana gih beli makanan daripada kamu lonjak-lonjak kayak orang gila.”
Dengan wajah cemberut, Randy menurut membeli makanan.
“Cemburu?” Tanya Kenneth, si cowok berwajah manis, pada Claire setelah sosok Randy pergi memesan makanan.
“Aku sudah kebal,” Jawab Claire meringis.
Claire memang sudah menyukai Randy dari dulu. Sayangnya, sahabatnya satu itu playboy dan dia nggak pernah tahu bahwa Claire diam-diam menyukainya.
“Aku nggak ngerti kamu kok bisa tahan gitu tiap denger cerita Randy tentang pacar-pacarnya?” Kata Vanny setelah menelan makanannya.
“Nda tau ya, aku udah kebal aja gitu pokoke sekarang ini. “ Jawab Claire.
“Kenapa kamu nggak bilang jujur aja? ‘Kan enak, biar kamu nggak usah mendem-mendem perasaanmu itu, and kemungkinan besar kalian bisa jadian!” Kata Vanny cepat.
Claire mengangkat alis, “Nggak, kalau kita jadian berarti itu akhir dari persahabatan kita. Aku yakin kalau kita putus, kita nggak bisa jadi sahabat kayak gini.” Claire menyendokkan nasi gorengnya.
Vanny mengangguk mengerti.
“Tapi mungkin,” Timpal Kenneth, “kalian bisa langgeng…”
Claire menelan nasi gorengnya dengan agak susah payah lalu mendengus. “Langgeng? Plis deh, Ken, kau sahabatnya, tahu lah itu mustahil banget!”
Kenneth hanya mengangkat bahu, “Aku hanya bilang mungkin.”
Selanjutnya mereka harus memutuskan topik itu, karena Randy sudah datang membawa nasi ayamnya.
Pulang sekolah, seperti biasa, Claire, Randy, dan Kenneth pulang naik mobil Randy. Mereka selalu pulang bersama karena rumah mereka dekat.
“Christie itu, gila, udah cantik, perhatian banget,” Cuap Randy sambil menyetir.
Tapi Claire tidak mendengarkan. Ia lebih memilih mendengarkan musik lewat headphone mix-stylenya.
Kenneth juga segan mendengarkannya. Dia bosan. Sahabatnya dari dulu memang begini. Pada awal jadian dia akan memuji-muji cewek itu dan saat mau putus, “Cewek itu parah banget, aku heran bisa suka sama dia dulu,”
Claire sampai di rumahnya. Ia melepas mix-stylenya dan mengucap “Thanks,” singkat pada Randy lalu membuka pintu mobil avanza biru Randy.
“Eh, Claire,” Kenneth berkata tiba-tiba, “Kalau aku ke rumahmu sekarang, kira-kira gimana?”
Claire kaget sejenak. Ia melirik rumahnya. Claire mengangguk, “Boleh saja, sampai jam 5,”
Kenneth segera membuka pintu mobil Randy dan berkata, “Thanks, bro!”
Randy mengamati dengan bingung.
“Menyebalkan sekali sih,” Kata Claire saat sudah menjauh dari mobil Randy, “Christine, Chrstine, memang cewek itu yang mana sih?”
“Kau tak ‘kan percaya,” Kata Kenneth, “Dia cewek yang dua hari lalu ditabrak Randy di aula.”
“Dua hari lalu?” Claire membelalak.
Randy memang gila! Claire tahu dia memang ganteng dan keren. Tapi… dua hari? WOW!
“Jadi kita ngapain?” Tanya Kenneth.
“Entahlah, ‘kan kamu yang mau ke sini,” Claire mengernyit, “gimana kalau kita maen bulu tangkis aja di lapangan?”
Dindingnya masih tetap biru mudah, namun sudah agak mengelupas.
Gentingnya masih merah pucat.
Angin berhembus kencang melewati pepohonan di sekitar rumah itu.
Daun-daunnya menguning dan mulai berguguran.
Aku masih mengawasinya.
Rumah musim gugur, begitu aku menyebutnya.
"Sudahlah, May," kata Shizuka,managerku, sambil memegang pundakku. "Tak ada gunanya kau memandangi rumah itu lagi."
Benarkah sudah tak berguna memandanginya lagi?
Mungkin.
Tapi aku masih berharap, pintu kayu itu terbuka dan penghuni rumah bersenyum ramah itu keluar.
Tersenyum padaku sambil menggiring sepedanya.
"Ayo May!"
***
Ryuzaki You, adalah tetanggaku.
Teman kecilku.
Kami bersahabat dari kecil sampai sekarang, sampai kami duduk di bangku SMP.
Dia tinggal berdua bersama neneknya di rumah musim gugur.
Pagi di awal musim gugur.
Seperti biasa, aku dan You mengayuh sepeda ke sekolah.
Kami tinggal di lingkungan pedesaan, ke mana-mana kami harus naik sepeda sendiri.
Orang tuaku dan Nenek You bukan orang kaya, mereka tak mampu membeli mobil. Tapi itu bukan masalah bagiku.
Kami balap-balapan sepeda sampai sekolah, dan tentu saja aku yang menang.
"Parah sekali kamu, You," Kataku sambil memarkirkan sepedaku di halaman sekolah. "Untuk ke seratus ratus dua puluh satu aku mengalahkanmu,"
Senyum ramah You memerkah, ia sama sekali tak tersinggung. "Aku kan laki-laki," Katanya sambil mengangkat bahu, "jadi harus ngalah sama perempuan,"
Aku mendengus sambil menyenggol bahunya. "Alasanmu bagus sekali,"
You hanya tersenyum tenang, "Itu bukan alasan, itu kenyataan,"
Kami sama-sama memasuki sekolah.
Walaupun beda kelas, kami tetap sering bersama.
Tak peduli bagaimana sindiran teman-teman.
Aku dan You paling sering melewati jam istirahat di ruang musik.
You pandai bermain piano. Sayangnya, dia tak mampu membeli piano, sehingga dia harus latihan di sekolah tiap hari.
Dan aku suka menyanyi.
"Mungkin kita memang harus buat band," Kataku selesai lagu dilantunkan. "Kita keren."
"Masa sih kita?" You mengernyit. "Kenapa aku merasa hanya aku?"
Aku mendelik tapi You langsung terkekeh. "Nggak-nggak, aku hanya bercanda, kamu keren! Kita memang harus buat band yang bakal terkenal sampai seluruh penjuru Jepang."
"Seluruh penjuru dunia," Aku mengoreksinya. "Dan kita akan banyak uang, aku akan membeli radio baru,"
"Dan piano." Kata You dengan mata berbinar-binar.
Aku tersenyum senang, "Jadi, apa nama band kita?"
You tampak berpikir-pikir. "Apa ya..." Dia terdiam sejenak lalu berkata, "Mayou, tentu saja, gabungan nama kita,"
Aku tersenyum, "Mayou? Kenapa seperti Mayonise? Tapi bagus juga," Kukeluarkan jari kelingkingku, "Janji jari kelingking kita akan membuat band Mayou."
"Orang kota bakal bilang ini norak," Kata You, " Tapi, janji." Ia mengaitkan jari kelingkingnnya ke jariku.
****
Sore yang sejuk.
Aku dan You duduk di ban ayunan yang tergantung pada pohon-pohon di rumah You.
"Dingin sekali, ya,"
"Bukan musim gugur namanya kalau tidak dingin," You menanggapi.
Kuambil salah satu daun yang gugur. "Kuning itu indah ya, dan rumahmu selalu tampak keren di musim gugur,"
You tersenyum sambil menatap langit biru.
"Orang tuaku menikah di musim gugur,"
Aku kaget sejenak. You belum pernah menyinggung-nyinggu soal orang tuanya yang meninggal saat ia masih kecil.
"Aku juga lahir di musim gugur. Maka itu mereka menanam banyak pohon, agar bisa benar-benar merasakan musim gugur," You melanjutkan, "Tapi mereka juga meninggal di musim gugur," You tersenyum sedih, "Tragis, eh?" Ia menatapku.
Aku hanya bisa diam.
"Hei, jangan diam gitu dong," Seru You.
Aku tersenyum lemah. You sangat tegar. Aku sendiri tak bisa membayangkan hidupku tanpa orang tuaku. "Sabar ya, You," Kataku akhirnya.
"Aku sudah nggak sedih sama sekali, kok," Kata You mengangkat bahu. "Aku sudah bahagia memiliki nenek dan sahabat sebaik kamu."
Aku tersenyum.
***
Seperti biasa, saat pulang sekolah, kami bertemu di parkiran sepeda kami.
"Kau lambat sekali, You," Ujarku setelah setengah menit menunggu You di parkiran sepeda.
You tersenyum. "Aku tidak lambat, aku hanya terlambat sedikit karena sesuatu yang bakal membuatmu kagum sekali padaku,"
Aku hanya bisa mengernyit. "Apa? Kurasa tak ada yang bisa membuatku seperti itu padamu, selain karena permainan pianomu keren," Jawabku dengan nada sakrastis, tapi tentu saja bercanda.
You berlagak cemberut, tapi ia tersenyum lagi sambil melambaikan selembar brosur. Ia membacanya keras-keras. "Pentas Seni Musim Gugur, 5 November 2010, Seihoku Gakuen, murid boleh menampilkan talentanya, daftar paling lambat tanggal 3 Oktober."
Aku mencerna kalimat You beberapa detik. "Jadi?"
You memutar bola matanya. "Baru beberapa jam, apakah kau sudah melupakan Mayou?"
"Oh," Aku mengerti.
Lalu You mengeluarkan sebuah selebaran lagi. "Dan ini, lirik serta partiture kita, belum selesai total sih, aku bingung dengan reffnya, mungkin kau bisa membantuku."
Aku menerima kertas itu dengan sedikit bengong. Lalu kubaca sekilas lirik lagu tersebut. Aku hampir tak bisa berkata-kata. Lalu kupandangi You dengan takjub. "Kau yang membuat ini? Buat kita?"
You mengernyit, "Menurutmu? Apakah aku akan buat band sendiri?"
Aku tersenyum, lalu memeluk You sekilas. "Kau hebat sekali You!"
***
Hari Minggu siang itu, kami janjian untuk bertemu di ruang musik sekolah. Kami sudah meminta ijin pada guru sekolah, dan mereka mengizinkan kami.
Aku sampai di sekolah dengan napas terengah-engah karena cepat-cepat mengayuh sepedaku. Aku sudah telat 15 menit dari waktu perjanjian karena telat bangun.
"Maaf... maaf..." Semburku begitu masuk ke ruang musik.
You berdiri di tengah ruang musik sambil melotot. "Lambat sekali sih! Tapi ya sudahlah, ayo kita latihan!"
Kukeluarkan kertas lirik lagu dan partiture itu dari tasku. "Aku sudah membuat lirik reffnya," Lalu kusodorkan kertas itu ke You.
Laki-laki jangkung dengan rambut hitam lebatnya itu membaca kertas itu dengan seksama. Beberapa kali ia harus mendelik membaca tulisanku yang mengalahkan cakar ayam itu. Lalu akhirnya senyum tersungging lewat bibirnya. Senyum yang paling kusenangi.
"Bagus juga," Puji You.
Aku tersenyum, "Kupikirkan lirik itu dari semalam. Dan aku juga akan memikirkan penampilan kita. Kau akan pakai jas hitam dan aku akan mengenakan gaun putih. Kita seperti putri dan pangeran." Ucapku dengan mata berbinar-binar.
"Putri dan pangeran?" You mengernyit. "Aku tak mengerti, rasanya sebutan putri tak cocok buat kamu, tapi, bolehlah."
Aku cemberut sebentar sambil meninju pelan bahu You. "Lihat saja, kau akan memujiku nanti!"
"Lihat saja nanti," Kata You, "Sekarang kita latihan dulu."
***
Hampir tiap hari kami latihan.
Tapi berlatih menyanyi sama sekali bukan hal yang membosankan.
Tapi, menyenangkan sekali.
Aku tak bosan dimarahi You karena beberapa kesalahanku. Baik kesalahan kecil karena aku telat datang latihan sampai kesalahan besar karena aku salah masuk nada atau suaraku sedikit sumbang.
Karena, latihan ini menyenangkan sekali bersama You. Dia selalu menyelingi latihan kami dengan senda guraunya. Dan berkali-kali senyumnya yang indah itu menghias wajahnya.
Kami bersama-sama menyewa kostum di bibi Omochi yang baik hati. Ia memberi kami potongan harga yang cukup banyak.
Gaunku hanya gaun putih biasa, tapi gaun itu cantik sekali.
Dan beberapa kali kami mengundang orang tuaku serta nenek You untuk mengomentari kami.
"Kalian bagus." Kata ayahku terpukau.
Ibuku selalu memelukku setiap kali aku selesai latihan. Terakhir kali kami latihan, ia tampak meneteskan air mata. Aku bingung.
"Kenapa?"
Wanita separuh baya itu mengusap pipinya. "Tak kusangka anakku sehebat ini."
Lalu aku memeluknya lagi.
Nenek You hanya tersenyum di atas kursi rodanya.
Hingga satu hari sebelum pentas seni.
Kami latihan dengan amat sangat teramat serius.
"Besok kita harus keren!" Kataku di akhir latihan.
"Pasti kita akan keren." You mengangkat tangannya dan kupikir ia hendak ber tos denganku. Tapi rupanya ia mengancungkan kepalan tangannya ke atas, menurunkannya dengan cepat dan memberi tinjuan ke aku. Aku ragu sejenak membalas tinjuan itu.
You tertawa. "Parah sekali sih gerakanmu, ini kan gerakan buat Mayou band,"
Aku mengernyit. "Gerakan? Buat apa?"
You memutar bola matanya. "Gerakan buat simbol band kita."
Kernyitan di dahiku tak hilang. "Simbol band kita? Kenapa nggak keren ya?"
You tampak berpikir sejenak. "Iya sih, baiklah, kapan-kapan akan kucari gerakan yang lebih keren. Sekarang, kita fokus buat penampilan kita besok."
Aku mengangguk.
TIba-tiba You tampak menggigit bibirnya.
"Kenapa You?"
Ia terdiam sejenak lalu menjawab, "Sepertinya aku melupakan sesuatu. Seperti ada yang kurang buat pentas besok."
"Tak ada kok, kau hanya terlalu tegang." Ujarku tersenyum.
***
Dan bukan hanya You.
Ternyata aku juga sangat-sangat tegang.
Kulihat dari balik panggung, banyak sekali penontonnya. Hampir semua warga desa datang.
Tanganku kebas.
Dan lagi tak ada You yang menemaniku.
Di mana sih dia?
Dia membuatku menunggu ber jam-jam.
Oke, dia memang tidak butuh di make-up, tapi kenapa sampai jam segini pun dia belum datang?
Dengan muka masam aku menunggu di ruang ganti.
Banyak sekali murid yang akan menunjukkan talentany sedang berlatihan.
Aku merengut.
Tiba-tiba seseorang membuka pintu kamar ganti dengan panik.Kusadarai bahwa orang itu adalah ibuku.
Wanita berambut hitam sebahu itu menghampiriku dengan wajah penuh keringat.
"May, You, May,Dia.." Ujar ibuku panik.
Suhu dingin menggetarkan bulu-bulu kulitku. Seakan aku tahu, bahwa ini bukan kabar baik.
"Dia kecelakaan sewaktu menuju ke sini,"
Aku kaget. Hatiku mencelos. Dengan panik aku bertanya, "Lalu bagaimana? Bagaimana keadaannya? Dia di mana?"
"Di Klinik dekat sini, dia,"
Segera saja aku berlari keluar.
Tanpa mempedulikan gaun ini kotor atau robek, aku berlari secepat mungkin ke klinik.
Resepsionis wanita di lobbynya segera memberi tahu kamar You setelah bertanya singkat padakum "Apakah anda nona Toda May?"
You terbaring lemas di sebuah ranjang berseprai putih itu. Neneknya terdiam di samping ranjang menatapi cucunya.
"You,You," Seruku langsung menyerbu ke arah You.
You menoleh sejenak ke arahku, menatapku, "May, kau, cantik sekali," Ucap You terbata-bata.
"You, bagaimana keadaanmu? Kenapa kamu bisa..." Ucapanku terhenti oleh beberapa genangan air perak yang meluncur dari pelupuk mataku.
"Kantung hitam," Kata You tak jelas, "Pakai,"
Aku menyadari sebuah kantung hitam tergelak di meja.
Kubuka kantung itu dan mendapati sebuah sepatu hak tinggi yang indah.
"Putri harus pakai sepatu cantik," Kata You terbata-bata.
Dengan masih bergenang air mata, aku mengganti sepatu hak lusuh yang kupinjam dari ibuku.
You tersenyum, "Kau harus tetap melanjutkan pertunjukan tanpaku, berjanjilah padaku,"
Sangat lama baru aku mengangguk.
Mungkin kah, You, aku masih bisa bernyanyi tanpamu?
Aku tak yakin.
You tersenyum dan berkata, "Aku menyayangimu, May. Kau sahabat terbaikku,"Dan selanjutnya ia memejamkan matanya dan menghembuskan nafas terakhirnya dengan masih tersenyum.
Nenek You menggenggam tangan pucat cucunya itu.
"You, sangat menyayangimu, dia capat-cepat mengendarai sepedanya untuk membeli sepatu itu dan sepedanya tak sengaja tergelincir, tubuhnya terpental, kepalanya terbentur cukup keras, mujizat ia masih bisa berbicara padamu," Kata nenek You serak. "Kau tak'kan mengecewakannya kan, nak?"
Aku tak bisa memahami raut wajah nenek You dengan pasti. Air matanya mengenang, tapi ia masih bisa tersenyum, walau aku tahu, senyum itu palsu, senyum itu hanya untuk menyemangatiku. Aku tahu. Tapi aku tetap mengangguk, dengan masih berlinangan air mata.
***
Kuning..
Inilah awal kisahnya
Di musim gugur
Dengan serakan kuning daun
Kita tak tahu
Bagaiamana kita nantinya
Apakah kita 'kan tetap begini
di Musim Gugur selanjutnya?
Tapi kutahu pasti
Kutetap kan di sisimu
Menemani kau di setiap sedihmu
Senyummu yang hangat
Kaulah sahabatku
Dan itu tak'kan pernah berubah
Kapanpun
Reff:
Musim gugur kali ni kulalui
Dengan senyumanm
Dengan canda riamu
Dengan lantunan indah melodi ini
Sahabatku,
Ku 'kan selalu
Menemanimu...
Di tiap harimu
Menemanimu...
Mengayuh sepeda kecil itu
Menemanimu..
Di ayunan itu
Mendengarkan keluhanmu
Tertawa bersamamu
Melewati musim gugur
Yang akan datang
Lagu itu tampak berbeda tanpa You yang mengiringi.
You, lagu itu salah.
Maafkan aku.
Aku tak bisa menemanimu lagi di musim gugur yang akan datang.
***
Musim gugur 15 tahun kemudian.
Aku kembali mengunjungi rumah musim gugur lagi.
Rumah itu masih tetap indah di musim gugur.
Selalu kukenang senyum You.
Aku juga menghampiri sekolahanku dulu.
Mengunjungi ruang musik itu.
"Dulu, aku latihan nyanyi di sini," Kataku pada Shizuka.
Ia hanya bisa tersenyum
Ya, aku menjadi penyanyi seperti cita-citaku dengan nama panggung Toda Mayou.