To My friend: Love someone is easier than forget someone, yeah, that's true
Sejenak meja satu menjadi sangat sepi. Semua mata masih menghujamku, Ketika ketiga meja makan sudah penuh, Johan yang sepertinya tahu bahwa ada di meja kami suasananya memanas, segera menepuk tangan keras dan berkata, “Sepertinya kita bisa mulai makan,” dan sepertinya tantangan untukku terlupakan.
Johan Watson melambaikan tangannya pada salah satu temannya dan berkata, “Matt! Cepet, makanannya!”
Sebenarnya Johan nggak salah, tapi aku betul-betul ingin meninjunya sekarang. Stanley dan Carol tampak diam sekali saat makan. Aku mencoba ngomong dengan mereka, tapi mereka hanya menjawab dengan jawaban singkat padat yang membuatku mulai ngeri. Dan aku sama sekali nggak mau ngungkit tentang Johan, aku takut, Stanley bakal sangat marah dan mendobrak meja.
Oke, Stanley memang cemburuan, tapi dia jarang marah, dia hanya diam seperti ini. Tapi, kalau dia benar-benar dia marah, akan lebih menakutkan daripada mak lampir marah. Aku pernah sekali melihat cowok berbadan jangkung dengan rambut coklat tua ini marah, dan percayalah itu adalah hal mengerikan yang pernah ku ketahui.
Cewek-cewek di meja kami sama sekali tidak membuatku terhibur. Mereka makan sambil memelototiku. Tapi, who care? Yang penting Stanley dan Carol nggak diem kayak gini.
***
“Aku bisa njelasin semuanya, Carol, plis, sorry, aku belum pernah cerita ke kamu, tapi sungguh bukan maksudku nyembunyiin ke kamu, aku hanya merasa kalau ini hal yang tidak terlalu penting, oke, aku kenal dia tapi, sebatas kenal. Plis, kamu ngerti kan maksudku,” Aku terus menyerocos begitu kami tiba di kamar. Tapi Carol masih diam.
Carol masih marah, aku tahu. Dia sama sekali nggak menggubrisku. Tapi jauh lebih mengerikan Stanley. Selesai makan, ia segera meninggalkan meja makan menuju kamarnya. AKu mengejarnya, tentu saja, tapi ia menutup pitu kamarnya dan tidak membukakan pintu walaupun aku sudah menggedurnya hingga pintu kamar itu kutinju. Akhirnya aku menyerah dan kembali ke meja makan, aku takut bakal merusak pintu kamar itu sanking emosinya.
“Plis, aku cuma kenal sama dia, Rol, dan nggak lebih, kau tahu lah, Rol…” Kataku setengah merengek. Jarang sekali aku harus merengek seperti ini.
Aku takut Carol bakal membenciku. Dia sahabatku. Aku lebih senang jika ia marah membentak-bentakku daripada diam tanpa kata-kata seperti ini.
“Kukira aku sahabatmu,” cicit Carol dengan suara pelan, “Tapi masalah seperti ini, kau nggak menceritakan padaku!”
Kujilat lidahku, “Aku minta maaf,”
Lalu Carol tergelak. Aku melongo.
“Yak ampun, Kathyku… kamu pikir aku bakalan ngambek cuma gara-gara masalah sepele ini?” Carol masih setengah tertawa ketika melanjutkan, “Aku cuma sandiwara, oke, aku tahulah kalian cuma sebatas teman, tapi, kamu tetep harus cerita bagaimana kalian kenalan, atau aku bakal beneran marah!”
Aku tersenyum.
***
Berbeda dengan Carol, Stanley tupanya benar-benar cemburu dan kecewa karena aku telah berbohong padanya soal ajakan camp ini. Aku betul-betul bingung harus bagaimana.
Setelah menceritakan semuanya ke Carol, gadis berambut coklat di highlight pirang ini langsung saja ber inisiatif mengajakku ke lapangan tennis dan hendak menceritakan yang sebenarny kepada Stanley. Dia tahu, Stanley akan tanding tennis sore ini.
Tapi ternyata, Stanley bahkan sama sekali tidak mau mendengarkan lengkingan suara adik perempuannya itu. Betul-betul membuatku frustasi.
AKhirnya, setelah putus asa, aku dan Carol jalan-jalan di sekeliling villa itu. Kami berjalan menuju kolam renang yang indah itu. Perasaan hangat mulai sedikit menelusupiku ketika melihat air yang berkecipuk-cipuk ringan.
“Ah, sebentar,” Kata Carol saat baru saja menginjakkan kaki ke area kolam renang, “handphoneku ketinggalan di kamar,” kata Carol sambil merogoh-rogoh sakunya. “Bentar, aku ambil dulu, bentar aja, kamu di sini ya, kathy!”
Aku mengangguk dan melihat Carol yang berlari menuju villa.
Setelah Carol menghilang, aku mulai mengamati kolam renang itu.Kolam renang itu benar-benar di desain seperti sungai dan rawa-rawa. Tempat duduknya terbuat dari batu-batu landai. Alasnya adalah tanah, tapi tanah yang lembut. Kutanggalkan sandal croc ku dan aku duduk di salah satu batu landai itu sambil menikmati pemandangan indah ini. Sesaat, perasaan gundahku pada Stanley hilang, tapi itu tak berlangsung lama sampai seseorang menepuk bahuku.
“Hei,” Aku menoleh dan mendapati si Johan sudah siap dengan baju renangnya. Oh plis, kenapa orang ini! “Mau renang juga?”
Oke, dia nggak membahas persoalan makan siang tadi. Bagus. Sepertinya dia nggak tahu kalau pacarku lagi ngamuk sama aku gara-gara perkataannya! Ya, memang itu bukan salah dia, tapi tetap saja! Seharusnya dia mengerti sedikit. Huh!
“Nggak, aku cuma mau lihat-lihat,” Kataku jutek.
Johan duduk di batu sebelahku. “Pantas, pemandangannya indah ya?” Dia tampak mengamati pemandangan kolam renang dan tidak menghiraukan nada jutek di perkataanku. “Hijau itu indah.”
Aku mengangguk ragu sambil melihat pemandangan, “Ya,”
“Coklat itu segar sekali, rasanya manis. Dan air, bening, selalu tampak tenang. Pemandangan alam memang indah ya.”
Entah kenapa, perkatannya membuatku terhanyut. Aku sendiri heran. Ia mengatakannya dengan intonasi yang membuatku terhanyut dan lupa bahwa beberapa menit yang lalu aku pingin menendangnya ke kolam renang.
“Tiga belas tahun yang lalu," Kata Johan dan aku mengernyit, dia sedang ngomong apa sih? “Aku bukan seorang petenis terkenal. Aku menangis saat pelatihku memarahiku karena gerakan tanganku salah, Petenisku galak banget, kau tahu? Aku berlari keluar dari lapangan tennis dan tiba-tiba saat melewati area kolam renang, dengan pandangan penuh air mata, aku tercebur di kolam yang cukup dalam. Tiba-tiba seorang gadis kecil berenang ke arahku dan menarikku. Ia penyelamatku.”
Aku terhanyut dalam ceritanya.
“Aku masih ingat gadis itu, berambut secoklat batang pohon, matanya sehijau daun dan sebening air.”
Aku mengernyit.
“Dia adalah Erika Stooner.” Johan tersenyum menyebutkan nama pacarnya itu.
Aku bengong beberapa saat. Jadi namanya Erika Stooner? Pantas, sepertinya aku mengenal dia!
***




0 komenz:
Post a Comment