Tuesday, November 9, 2010

Always You 7

“Lalu, besoknya,” Johan Watson melanjutkan ceritanya, tapi aku menyela..”Hei, tunggu, kenapa kamu ceritakan ini padaku?”
Johan menjilat bibirnya yang merah itu, “Ya, pingin aja.” Dia mengernyit. “Membosankan ya? Maaf.”
Aku menggeleng. “Tidak, aku hanya  heran. Kenapa kamu cerita ke aku.”
Johan memandangku sejenak, lalu menjawab, “Ya nggak papa, pingin aja.”
Aku mengangguk walau sebenarnya aku masih bingung. Orang aneh.
“Lalu besoknya,” Johan melanjutkan, seolah-olah tidak ada jedaan sebelumnya. “Kami bertemu lagi, dan besok lusanya ketemu lagi dan seterusnya. Sampai suatu hari…”
“Katy!” Carol berteriak memanggilku dari gerbang masuk area kolam renang. Aku menoleh dengan agak terkejut. Rupanya, Johan benar-benar pandai bercerita, dia membuatku terhipnotis dalam ceritanya. Wow!
Carol menghampiri kami. Johan tampak salah tingkah dan mulai melakukan pemanasan. Sekilas aku melihat sesuatu berkilauan dari dadanya. Sebuah kalung perak dengan bandul berbentuk daun.
"Kalung yang bagus," Kataku.
Johan Watson tersenyum, tapi dia belum sempat menanggapi karena Carol sudah berada disebelahku dengan matanya yang berbinar-binar melihat Johan Watson.
“Hai,” Johan menyapa Carol dengan ramah. Ya, walaupun aku lebih senang menyebutnya dengan sapaan sok kenal sok dekat. Tapi wajah gadis berambut hitam panjang ini tampak semburat merah, bahkan ia membalas sapaan Johan dengan suara seperti suara orang menelan besi. Padahal biasanya suaranya melengking dan membuat gendang telingaku sakit.
Johan tak berlama-lama pemanasan, ia segera melemparkan dirinya ke dalam air yang bening itu. Cipratan airnya membasahi kakiku, dan aku bisa merasakan dingin dan segarnya air itu. Aku jadi kepingin renang.
Carol meremas jariku, “Bagaimana…?”
“Dia kebetulan aja ke sini,” Kataku tenang.
“Wow, enak banget,” Ujar Carol. “Seharusnya tadi aku nggak usah ngambil hpku. Lagian kecewa banget ngambil hp, sinyalnya jelek banget, smsku dari tadi nggak ke delivered ke Mark. Ganggu orang pacaran banget! Ehm, atau mungkin hp ini aja yang udah bobrok nggak bisa kirim sms lagi ya, atau operatornya memang pingin ku hajar. Woi! Katy! Dengerin aku ndak?”
Aku baru sadar. Sedari tadi Carol mencerocos aku bengong. Ya, aku bengong sambil menatap kearah kolam renang. Kearah Johan. Tidak, lebih tepatnya kearah kalung berkilau yang dikenakan Johan Watson. Kenapa rasanya kalung itu pernah kulihat?
“Ehm, ya Rol?”
Carol mendengus. “Plis de! Kamu uda punya kokoku, Katy sayang, dan kamu juga lagi berantem sama pacarmu! Jangan bengongin cowok lain dong!”
“Aku nggak bengongin cowok lain kok!” Tukasku jengkel.
“Oke, wtv,” Kata Carol lalu menatap kolam renang, “Dia ganteng banget ya, keren…”
Aku mendengus.. Oke, siapa yang bengongin cowok lain?
“Eh, kita pergi yuk,” Kataku setelah beberapa lama bosan mendengar Carol membisikkan pujian-pujian tentang Watson.
“Ya.. Koko lagi tanding sekarang,” Kata Carol menaikkan alis. “Mau lihat?”
Aku mengangguk dan berharap Stanley sudah tidak marah lagi. 

***

Dia sudah tertawa. Ya. Aku melihatnya sendiri. Stanley, pacarku, kakak Caroline , sedang tertawa. Tapi bersama orang lain di pinggir lapangan. Dan orang lain itu adalah seorang cewek.
Wajahku merah padam sanking marahnya. Aku menghampiri mereka tapi mengontrol emosi dan kecemburuanku.
“Stan,” Aku memanggilnya dengan suara tinggi. Bahkan, menurutku lengkingan Carol kalah.
Caroline tampak menggigit bibir. Dia tahu, emosi sudah mengumpul di kepalaku dan siap meledak.
Bagaimana tidak marah? Oke, aku salah karena berbohong soal ajakan itu, tapi paling nggak sebenarnya kau nggak betul-betul bohong. Aku memang di ajak Johan, tapi alasanku mengikuti camp ini juga karena ajakan Stanley. Dan dia marah banget karena masalah itu! Tapi sekarang, dia tertawa lepas bersama cewek lain, bergurau di pinggir lapangan berdua. Mana yang lebih buat emosi?
“Emh?” Stanley menanggapi dengan senyum masih memerkah di bibirnya.
Aku memandang gadis yang di ajaknya bergurau. Ternyata dia adalah Erika Stooner. Baiklah, sekarang aku mengerti, apakah ini balasan dari Stanley? Menyenangkan sekali.
“Kamu sudah bisa ketawa,” Kataku dengan nada tenang tapi dingin, “Jadi, sudah fine masalah kita? Baguslah, kupikir kau bakal merengut sepanjang hari karena masalah sepele, tapi rupanya kau bisa tertawa juga, baguslah.”
Stanley diam saja.
Tiba-tiba dari arah lapangan, seseorang meneriakkan nama Stanley. Rupanya sekarang gilirannya dia tanding. Tanpa ba-bi-bu, Stanley segera melesat kea rah lapangan dengan raket digenggamnya.
Aku dan Carol duduk di sebelah Erika Stooner. Aku melirik gadis itu dengan tajam. Pertama, lirikanku adalah lirikan benci, tapi begitu ingat Johan Watson, aku teringat sesuatu.
“Erika,” Panggilku.
“Ehm?” Gadis berambut coklat yang tengah asyik menonton pertandingan itu menoleh padaku.
“Kamu benar-benar Erika Stooner?”
Pertanyaanku membuat gadis bermata hijau itu mengernyit. “Ya, tentu saja.”
Aku menatap gadis itu lebih lama dan akhirnya yakin bahwa aku memang tahu siapa gadis ini

***

“SEPUPU?” Carol terkejut ketika aku selesai bercerita.
“Ya, Erika Stooner itu sepupuku.” Kataku yakin sembari mengambil baju ganti.
Di kamar itu hanya ada aku dan Carol. Erika dan Angel sudah selesai mandi dan mereka sudah melesat terlebih dahulu ke lapangan.
“Tapi, kalau sepupu, kenapa kalian tidak saling…?” Carol tampak bingung hingga menjatuhkan handung merah mudahnya.
“Perang saudara,” Dengusku lalu tertawa pahit, “Ayah kami dulunya akur, tapi karena masalah sepele, mereka tengkar. Ayah Erika membawa Erika ke Amerika waktu  aku masih berumur 8 tahun, sejak itu, kami sama sekali tidak pernah bertemu. Tapi, setidaknya aku masih sedikit ingat wajahnya.”
Carol mengangguk mengerti. Ia mengambil handuknya yang jatuh, “Pantas, kalian sedikit mirip,” Seru Carol, “Rambut kalian sama-sama cokelat dan mata kalian sama-sama hijau seperti kodok.” Gurau Carol.
~~~

Saturday, November 6, 2010

Always You 6

To My friend: Love someone is easier than forget someone, yeah, that's true

Sejenak meja satu menjadi sangat sepi. Semua mata masih menghujamku, Ketika ketiga meja makan sudah penuh, Johan yang sepertinya tahu bahwa ada di meja kami suasananya memanas, segera menepuk tangan keras dan berkata, “Sepertinya kita bisa mulai makan,” dan sepertinya tantangan untukku terlupakan.
Johan Watson melambaikan tangannya pada salah satu temannya dan berkata, “Matt! Cepet, makanannya!”
Sebenarnya Johan nggak salah, tapi aku betul-betul ingin meninjunya sekarang. Stanley dan Carol tampak diam sekali saat makan. Aku mencoba ngomong dengan mereka, tapi mereka hanya menjawab dengan jawaban singkat padat yang membuatku mulai ngeri. Dan aku sama sekali nggak mau ngungkit tentang Johan, aku takut, Stanley bakal sangat marah dan mendobrak meja.
Oke, Stanley memang cemburuan, tapi dia jarang marah, dia hanya diam seperti ini. Tapi, kalau dia benar-benar dia marah, akan lebih menakutkan daripada mak lampir marah. Aku pernah sekali melihat cowok berbadan jangkung dengan rambut coklat tua ini marah, dan percayalah itu adalah hal mengerikan yang pernah ku ketahui.
Cewek-cewek di meja kami sama sekali tidak membuatku terhibur. Mereka makan sambil memelototiku. Tapi, who care? Yang  penting Stanley dan Carol nggak diem kayak gini.
***
“Aku bisa njelasin semuanya, Carol, plis, sorry, aku belum pernah cerita ke kamu, tapi sungguh bukan maksudku nyembunyiin ke kamu, aku hanya merasa kalau ini hal yang tidak terlalu penting, oke, aku kenal dia tapi, sebatas kenal. Plis, kamu ngerti kan maksudku,” Aku terus menyerocos begitu kami tiba di kamar. Tapi Carol masih diam.
Carol masih marah, aku tahu. Dia sama sekali nggak menggubrisku. Tapi jauh lebih mengerikan Stanley. Selesai makan, ia segera meninggalkan meja makan menuju kamarnya. AKu mengejarnya, tentu saja, tapi ia menutup pitu kamarnya dan tidak membukakan pintu walaupun aku sudah menggedurnya hingga pintu kamar itu kutinju. Akhirnya aku menyerah dan kembali ke meja makan, aku takut bakal merusak pintu kamar itu sanking emosinya.
“Plis, aku cuma kenal sama dia, Rol, dan nggak lebih, kau tahu lah, Rol…” Kataku setengah merengek. Jarang sekali aku harus merengek seperti ini.
Aku takut Carol bakal membenciku. Dia sahabatku. Aku lebih senang jika ia marah membentak-bentakku daripada diam tanpa kata-kata seperti ini.
“Kukira aku sahabatmu,” cicit Carol dengan suara pelan, “Tapi masalah seperti ini, kau nggak menceritakan padaku!”
Kujilat lidahku, “Aku minta maaf,”
Lalu Carol tergelak. Aku melongo.
“Yak ampun, Kathyku… kamu pikir aku bakalan ngambek cuma gara-gara masalah sepele ini?” Carol masih setengah tertawa ketika melanjutkan, “Aku cuma sandiwara, oke, aku tahulah kalian cuma sebatas teman, tapi, kamu tetep harus cerita bagaimana kalian kenalan, atau aku bakal beneran marah!”
Aku tersenyum.
***
Berbeda dengan Carol, Stanley tupanya benar-benar cemburu dan kecewa karena aku telah berbohong padanya soal ajakan camp ini. Aku betul-betul bingung harus bagaimana.
Setelah menceritakan semuanya ke Carol, gadis berambut coklat di highlight pirang ini langsung saja ber inisiatif mengajakku ke lapangan tennis dan hendak menceritakan yang sebenarny kepada Stanley. Dia tahu, Stanley akan tanding tennis sore ini.
Tapi ternyata, Stanley bahkan sama sekali tidak mau mendengarkan lengkingan suara adik perempuannya itu. Betul-betul membuatku frustasi.
AKhirnya, setelah putus asa, aku dan Carol jalan-jalan di sekeliling villa itu. Kami berjalan menuju kolam renang yang indah itu. Perasaan hangat mulai sedikit menelusupiku ketika melihat air yang berkecipuk-cipuk ringan.
“Ah, sebentar,” Kata Carol saat baru saja menginjakkan kaki ke area kolam renang, “handphoneku ketinggalan di kamar,” kata Carol sambil merogoh-rogoh sakunya. “Bentar, aku ambil dulu, bentar aja, kamu di sini ya, kathy!”
Aku mengangguk dan melihat Carol yang berlari menuju villa.
Setelah Carol menghilang, aku mulai mengamati kolam renang itu.Kolam renang itu benar-benar di desain seperti sungai dan rawa-rawa. Tempat duduknya terbuat dari batu-batu landai. Alasnya adalah tanah, tapi tanah yang lembut. Kutanggalkan sandal croc ku dan aku duduk di salah satu batu landai itu sambil menikmati pemandangan indah ini. Sesaat, perasaan gundahku pada Stanley hilang, tapi itu tak berlangsung lama sampai seseorang menepuk bahuku.
“Hei,” Aku menoleh dan mendapati si Johan sudah siap dengan baju renangnya. Oh plis, kenapa orang ini! “Mau renang juga?”
Oke, dia nggak membahas persoalan makan siang tadi. Bagus. Sepertinya dia nggak tahu kalau pacarku lagi ngamuk sama aku gara-gara perkataannya! Ya, memang itu bukan salah dia, tapi tetap saja! Seharusnya dia mengerti sedikit. Huh!
“Nggak, aku cuma mau lihat-lihat,” Kataku jutek.
Johan duduk di batu sebelahku. “Pantas, pemandangannya indah ya?” Dia tampak mengamati pemandangan kolam renang dan tidak menghiraukan nada jutek di perkataanku. “Hijau itu indah.”
Aku mengangguk ragu sambil melihat pemandangan, “Ya,”
“Coklat itu segar sekali, rasanya manis. Dan air, bening, selalu tampak tenang. Pemandangan alam memang indah ya.”
Entah kenapa, perkatannya membuatku terhanyut. Aku sendiri heran. Ia mengatakannya dengan intonasi yang membuatku terhanyut dan lupa bahwa beberapa menit yang lalu aku pingin menendangnya ke kolam renang.
“Tiga belas tahun yang lalu," Kata Johan dan aku mengernyit, dia sedang ngomong apa sih? “Aku bukan seorang petenis terkenal. Aku menangis saat pelatihku memarahiku karena gerakan tanganku salah, Petenisku galak banget, kau tahu? Aku berlari keluar dari lapangan tennis dan tiba-tiba  saat melewati area kolam renang, dengan pandangan penuh air mata, aku tercebur di kolam yang cukup dalam. Tiba-tiba seorang gadis kecil berenang ke arahku dan menarikku. Ia penyelamatku.”
Aku terhanyut dalam ceritanya.
“Aku masih ingat gadis itu, berambut secoklat  batang pohon, matanya sehijau daun dan sebening air.”
Aku mengernyit.
“Dia adalah Erika Stooner.” Johan tersenyum menyebutkan nama pacarnya itu.
Aku bengong beberapa saat. Jadi namanya Erika Stooner? Pantas, sepertinya aku mengenal dia!
***