“Lalu, besoknya,” Johan Watson melanjutkan ceritanya, tapi aku menyela..”Hei, tunggu, kenapa kamu ceritakan ini padaku?”
Johan menjilat bibirnya yang merah itu, “Ya, pingin aja.” Dia mengernyit. “Membosankan ya? Maaf.”
Aku menggeleng. “Tidak, aku hanya heran. Kenapa kamu cerita ke aku.”
Johan memandangku sejenak, lalu menjawab, “Ya nggak papa, pingin aja.”
Aku mengangguk walau sebenarnya aku masih bingung. Orang aneh.
“Lalu besoknya,” Johan melanjutkan, seolah-olah tidak ada jedaan sebelumnya. “Kami bertemu lagi, dan besok lusanya ketemu lagi dan seterusnya. Sampai suatu hari…”
“Katy!” Carol berteriak memanggilku dari gerbang masuk area kolam renang. Aku menoleh dengan agak terkejut. Rupanya, Johan benar-benar pandai bercerita, dia membuatku terhipnotis dalam ceritanya. Wow!
Carol menghampiri kami. Johan tampak salah tingkah dan mulai melakukan pemanasan. Sekilas aku melihat sesuatu berkilauan dari dadanya. Sebuah kalung perak dengan bandul berbentuk daun.
"Kalung yang bagus," Kataku.
"Kalung yang bagus," Kataku.
Johan Watson tersenyum, tapi dia belum sempat menanggapi karena Carol sudah berada disebelahku dengan matanya yang berbinar-binar melihat Johan Watson.
“Hai,” Johan menyapa Carol dengan ramah. Ya, walaupun aku lebih senang menyebutnya dengan sapaan sok kenal sok dekat. Tapi wajah gadis berambut hitam panjang ini tampak semburat merah, bahkan ia membalas sapaan Johan dengan suara seperti suara orang menelan besi. Padahal biasanya suaranya melengking dan membuat gendang telingaku sakit.
Johan tak berlama-lama pemanasan, ia segera melemparkan dirinya ke dalam air yang bening itu. Cipratan airnya membasahi kakiku, dan aku bisa merasakan dingin dan segarnya air itu. Aku jadi kepingin renang.
Carol meremas jariku, “Bagaimana…?”
“Dia kebetulan aja ke sini,” Kataku tenang.
“Wow, enak banget,” Ujar Carol. “Seharusnya tadi aku nggak usah ngambil hpku. Lagian kecewa banget ngambil hp, sinyalnya jelek banget, smsku dari tadi nggak ke delivered ke Mark. Ganggu orang pacaran banget! Ehm, atau mungkin hp ini aja yang udah bobrok nggak bisa kirim sms lagi ya, atau operatornya memang pingin ku hajar. Woi! Katy! Dengerin aku ndak?”
Aku baru sadar. Sedari tadi Carol mencerocos aku bengong. Ya, aku bengong sambil menatap kearah kolam renang. Kearah Johan. Tidak, lebih tepatnya kearah kalung berkilau yang dikenakan Johan Watson. Kenapa rasanya kalung itu pernah kulihat?
“Ehm, ya Rol?”
Carol mendengus. “Plis de! Kamu uda punya kokoku, Katy sayang, dan kamu juga lagi berantem sama pacarmu! Jangan bengongin cowok lain dong!”
“Aku nggak bengongin cowok lain kok!” Tukasku jengkel.
“Oke, wtv,” Kata Carol lalu menatap kolam renang, “Dia ganteng banget ya, keren…”
Aku mendengus.. Oke, siapa yang bengongin cowok lain?
“Eh, kita pergi yuk,” Kataku setelah beberapa lama bosan mendengar Carol membisikkan pujian-pujian tentang Watson.
“Ya.. Koko lagi tanding sekarang,” Kata Carol menaikkan alis. “Mau lihat?”
Aku mengangguk dan berharap Stanley sudah tidak marah lagi.
***
Dia sudah tertawa. Ya. Aku melihatnya sendiri. Stanley, pacarku, kakak Caroline , sedang tertawa. Tapi bersama orang lain di pinggir lapangan. Dan orang lain itu adalah seorang cewek.
Wajahku merah padam sanking marahnya. Aku menghampiri mereka tapi mengontrol emosi dan kecemburuanku.
“Stan,” Aku memanggilnya dengan suara tinggi. Bahkan, menurutku lengkingan Carol kalah.
Caroline tampak menggigit bibir. Dia tahu, emosi sudah mengumpul di kepalaku dan siap meledak.
Bagaimana tidak marah? Oke, aku salah karena berbohong soal ajakan itu, tapi paling nggak sebenarnya kau nggak betul-betul bohong. Aku memang di ajak Johan, tapi alasanku mengikuti camp ini juga karena ajakan Stanley. Dan dia marah banget karena masalah itu! Tapi sekarang, dia tertawa lepas bersama cewek lain, bergurau di pinggir lapangan berdua. Mana yang lebih buat emosi?
“Emh?” Stanley menanggapi dengan senyum masih memerkah di bibirnya.
Aku memandang gadis yang di ajaknya bergurau. Ternyata dia adalah Erika Stooner. Baiklah, sekarang aku mengerti, apakah ini balasan dari Stanley? Menyenangkan sekali.
“Kamu sudah bisa ketawa,” Kataku dengan nada tenang tapi dingin, “Jadi, sudah fine masalah kita? Baguslah, kupikir kau bakal merengut sepanjang hari karena masalah sepele, tapi rupanya kau bisa tertawa juga, baguslah.”
Stanley diam saja.
Tiba-tiba dari arah lapangan, seseorang meneriakkan nama Stanley. Rupanya sekarang gilirannya dia tanding. Tanpa ba-bi-bu, Stanley segera melesat kea rah lapangan dengan raket digenggamnya.
Aku dan Carol duduk di sebelah Erika Stooner. Aku melirik gadis itu dengan tajam. Pertama, lirikanku adalah lirikan benci, tapi begitu ingat Johan Watson, aku teringat sesuatu.
“Erika,” Panggilku.
“Ehm?” Gadis berambut coklat yang tengah asyik menonton pertandingan itu menoleh padaku.
“Kamu benar-benar Erika Stooner?”
Pertanyaanku membuat gadis bermata hijau itu mengernyit. “Ya, tentu saja.”
Aku menatap gadis itu lebih lama dan akhirnya yakin bahwa aku memang tahu siapa gadis ini
***
“SEPUPU?” Carol terkejut ketika aku selesai bercerita.
“Ya, Erika Stooner itu sepupuku.” Kataku yakin sembari mengambil baju ganti.
Di kamar itu hanya ada aku dan Carol. Erika dan Angel sudah selesai mandi dan mereka sudah melesat terlebih dahulu ke lapangan.
“Tapi, kalau sepupu, kenapa kalian tidak saling…?” Carol tampak bingung hingga menjatuhkan handung merah mudahnya.
“Perang saudara,” Dengusku lalu tertawa pahit, “Ayah kami dulunya akur, tapi karena masalah sepele, mereka tengkar. Ayah Erika membawa Erika ke Amerika waktu aku masih berumur 8 tahun, sejak itu, kami sama sekali tidak pernah bertemu. Tapi, setidaknya aku masih sedikit ingat wajahnya.”
Carol mengangguk mengerti. Ia mengambil handuknya yang jatuh, “Pantas, kalian sedikit mirip,” Seru Carol, “Rambut kalian sama-sama cokelat dan mata kalian sama-sama hijau seperti kodok.” Gurau Carol.
~~~



