Thursday, June 23, 2011

With You 1

























Thu, 23/06/11 09:00
Dear Diary,
Aku terbangun di kamar vilaku karena kedinginan. Ini pagi pertamaku berada di vila kota antah beranta. Stanley dan Natalie menelponku saat aku masih tidur. Aku rindu mereka.

Casey meletakkan penanya dan menutup buku bersampul rajutan biru. Rajutan itu diberikan Natalie Halley, sahabat karibnya, saat ia merayakan natal tahun lalu. Natalie yang pandai merajut memberikan sampul rajutannya sendiri dengan warna yang paling disukai Casey, biru laut.
“Casey,” Sebuah suara membuyarkan lamunanya, “Mom pergi ke pantai dulu. Makan sarapanmu.”
“Ya.” Saut Cashey singkat.
Dengan ogah-ogahan ia keluar kamar dan menuju ruang makan vilanya.
Ruang makan vilanya sangatlah indah. Ruang makan itu dipisahkan lemari-lemari tinggi dengan dapur. Dinding sekitarnya berwarna blewah dan berlantai kayu. Meja makan dn kursinya terbuat dari kayu jati. Ada jendela besar yang menghadap ke halaman belakang yang menampakan pemandangan batu-batuan, tebing, lalu pantai dan lautan di kejauhan.
Akhirnya Casey memutuskan untuk mandi dan berganti baju dahulu, lalu mengambil roti panggangnya dan memakannya sembari berjalan menuju pantai. Menurutnya sarapan di pinggir pantai jauh lebih menyenangkan daripada harus makan sendiri di ruang makan vilanya yang kosong.
Di pinggir pantai tampak kios-kios yang menjual entah papan luncur, makanan, baju, sandal, atau cinderamata. Penjualnya kebanyakan anak-anak muda yang memakai pakaian renang ataupun pakaian diving.
Casey menggeleng. Ia memang suka pantai, tapi ia tak kan pernah membiarkan dirinya terus-terusan berada di pantai hingga kulitnya terbakar matahari dan menjadi merah atau bahkan coklat seperti mereka. Ia sangat mencintai kulit setengah putih setengah kuningnya.
Saat berjalan keliling kios, ia menangkap sebuah kaos oblong laki-laki berwarna merah dan hitam. Kaos itu menarik hatinya. Di depan kaos itu ada tulisan “Poeshell”, nama pantai ini. Casey berlari menghampiri kaos itu. Kayaknya kaos itu tampak cocok jika dipakai sahabatnya, Stanley Lawn, pikir Casey.
“Berapa harganya?” Tanya Casey masih memandangi kaos itu.
“7 pound,” kata si penjual,“tapi 5 pound untukmu.”
Casey mengernyit dan mengangkat kepalanya menghadap seorang laki-laki tinggi, berbadan tegap, dan rambut pirangnya berkibar pelan dihembus angin. Kulitnya merah karena terlalu sering terbakar matahari dan wajahnya tampan. Ia memakai pakaian diving.
“Kenapa?” tanya Casey bingung.
“Karena kau manis.” Jawab laki-laki itu nyengir mengoda.
Casey sudah sering mendengar hal seperti ini dari laki-laki di sekolahnya. Dia memang sangatlah manis. Rambutnya hitam kecoklatan tampak kontras dengan kulit putih kekuningannya, matanya  lebar dan berwarna hijau. Wajahnya unik karena campuran asia dan barat. Tapi karena keunikan itu yang membuatnya tampak manis.
“Apa kau selalu merugi pada setiap gadis manis?” Tanya Casey sambil meletakkan baju itu di atas meja kasir.
“Tidak juga. Sebenarnya aku kenal mamamu, dia pernah menolongku saat aku hampir tenggelam dulu, aku berhutang budi padanya.” Laki-laki itu tersenyum sambil menerima uang Casey.
Mama Casey adalah penduduk asli sini. Mereka pernah kesini bertahun-tahun lalu saat ia masih sangatlah kecil.
“Jadi kau membayar keselamatanmu dengan 2 pound saja?” Goda Casey.
“Aku akan selalu memberikan diskon bagimu, gimana kalau begitu?” Tanya laki-laki itu.
Casey tersenyum, “Boleh. Omong-omong kau Stefan Grace,kan? Laki-laki cengeng yang  tidak bisa renang?”
Laki-laki itu tertawa sambil memberikan kembalian, “Dan kau Casey Kim, gadis sombong yang selalu berkeras diving di umur kelima tahunnya. Tapi aku sudah bisa renang sekarang dan jadi pemandu diving.”
Casey mengernyit tidak percaya.
Ia masih ingat 12 tahun yang lalu, saat ia pertama diajak ibunya liburan ke sini, ia berkenalan dengan seorang anak laki-laki yang terduduk di atas batu karang besar sambil menangis. Ketika Casey menghampirinya, laki-laki itu bercerita bahwa ia ingin renang tapi tidak bisa dan akhirnya diejek temannya. Casey sendiri bercerita bahwa ia pandai berenang dan ingin sekali diving. Dan hari berikutnya sebuah berita tersebar bahwa ibunya baru saja menolong seorang anak laki-laki bernama Stefan Grace yang tenggelam ketika mencoba berenang pagi-pagi buta.
“Wow,” Casey tampak kagum.
"Jadi, kau mau keliling pantai atau keliling pasar atau mungkin juga diving? Aku bisa mengantarmu setelah satu jam lagi, karena temanku akan menggantikanku menjaga kios.” Stefan menawari
Casey mengangguk. Ia mengobrol sambil membantu Stefan melayani pelanggan. Tampaknya liburan di kota anta beranta ini tidak terlalu buruk.
***
“Aku mau yang warna biru.” Casey menarik salah satu baju diving berwarna biru, kacamata diving berwarna biru dan sepatu diving warna biru.
“Kenapa tidak sekalian mencat dirimu menjadi biru?” Stefan geli melihat gadis itu. Tadi ia datang ke pantai dengan kaos biru dan celana hotpant biru tua. Semenjak ia berputar-putar pasar, ia hanya tertarik pada semua benda berwarna biru, dan ketika Stefan menawarkannya untuk diving ia memilih semua peralatan diving berwarna biru.
Selesai Casey mengenakan pakaian divingnya, ia berkata, “Biru itu cantik, seperti warna air.”
“Air kan bening.” Bantah Stefan.
“Kelihatannya biru, kok. Omong-omong kau benarkah kau boleh mengantarku diving dan jalan-jalan? Kau ‘kan kerja?” Kata Casey sembari mengenakan sepatu divingnya.
Stefan mengangguk, “Aku bebas hingga sore.”
Setelah Stefan mengajarkan bagaimana cara bernafas menggunakan mulut dengan alat pernafasan diving, mereka bersama-sama menuju tepi pantai. Di tepi pantai Timur, terdapat kayu-kayu kuat yang tertancap d pasir. Kayu-kayu itu mengait tali-tali perahu.
Stefan menaiki salah satu kapal boat.
“Ayo naik,” Ia menjulurkan tangannya.
Casey berjalan perlahan-lahan menuju kapal. Batu-batu dan kerang di pasir menusuk-nusuk telapak kakinya. Ia meringis menahan goresan-goresan di kakinya dan berharap kakinya tidak berdarah.
Begitu dekat dengan kapal, ia menyambut tangan Stefan dan segera melompat naik. Agak susah karena pakaian divingnya yang berat.
Stefan bersuit dan salah satu temannya yang berada tidak jauh dari sana menghampirinya. Rupanya Stefan meminta tolong temannya untuk mengendalikan perahu.
“Aku tidak gratis lho,” Kata teman Stefan itu selesai melepaskan kait kapal dan meloncat menuju kemudi kapal.
“Dia Mike Lowstone,” Stefan memberitahu Casey. “Sudah menjadi pemandu diving sejak umur 12 tahun.”
“Wow,” Casey terbelalak kagum. “Hey, Lowstone, aku Casey Kim.”
“Ah.. anak Marie Kim?” Tanya Mike Lowstone sambil membelokkan kemudi hingga air laut menyiprati Casey. “Itu artinya ‘senang berkenalan denganmu’.”
Casey tertawa sambil mengusap wajahnya yang basah.
Mereka berhenti setelah terlihat jauh dari pantai. Begitu kapal berhenti, Stefan melompat ke air.
“Tidak ada hiu?” Tanya Casey sambil memakai kacamata divingnya.
“Kau tidak menanyakan hal itu saat berumur lima tahun.” Ejek Stefan.
Begitu Casey melompat ke air, Stefan segera saja menarik dia masuk ke dalam air. Casey berusaha mengikuti cara bernafas yang diajarkan Stefan tadi. Ia berusaha naik ke permukaan saat pertama kali mencoba bernafas, tapi Stefan membantunya.
Setelah Casey mulai terbiasa bernafas dengan mulut, Stefan menariknya menuju laut yang lebih dalam. Laut yang lebih dalam jauh lebih indah. Berwarna-warni ikan menghias. Terumbu karang berdiri tegap di dasarnya. Tumbuhan laut berkibar-kibar. Seolah mereka menyambut Casey.
Stefan meletakkan jemari Casey di sebuah karang besar, lalu memberikannya sekantung makanan ikan pada Casey, dan menyuruh Casey menyebarkan makanan ikan itu. Dengan senang Casey mulai menyebarkan makanan ikan itu.
Tidak butuh waktu yang lama bagi Casey untuk menguasai diri di dalam air. Ia bisa dengan mudahnya bermain dengan ikan-ikan kecil.
Sanking senangnya, Casey bahkan baru menyadari Stefan merekamnya dengan kamera yang sudah dilapisi silikon tahan air saat mereka sudah naik ke kapal.
“Kalau kau tinggal di sini, kau pasti bisa jadi pemandu diving.” Kata Stefan.
“Dan membuat kulitku terbakar sinar matahari terus?” Tukas Casey yang menggigil kedinginan sambil menggeleng.
Stefan memberi Casey selembar handuk. Ia mendengus, “Kenapa memangnya jika terbakar sinar matahari terus?”
“Kulitku ‘kan sudah bagus berwarna kuning.” Jawab Casey menyelimutkan handuk di tubuhnya.
Angin berhembus begitu kencang ketika kapal mereka berderu kembali menuju pantai.
Saat mereka turun, rasanya telapak kaki Casey terasa lebih menyakitkan akibat beratnya pakaian diving yang basah ditambah pasir yang menusuk telapak kakinya. Ia hampir tersandung beberapa kali sebelum sampai di pantai.
“Yo, Mike! Makasih ya!” Seru Stefan pada Mike.
“Ya, sampai jumpa nanti malam.” Mike berlari pergi bersama sekumpulan surfer.
Stefan dan Casey berjalan menuju ruang ganti.
“Sebentar lagi sore, kau kerja ‘kan?” Tanya Casey.
Stefan mengangguk.
“Aku ganti di rumah saja,” Tambah Casey.
“Nanti malam pukul 6, ada pesta api unggun, kau bersedia datang?” Tanya Stefan.
“Tentu saja, kenapa tidak? Di mana?”
“Aku akan mengantarmu, kita ketemuan di tepi pantai.” Stefan mengedip.
Casey dan Stefan berpisah di pasar tepi pantai. 
Dengan pakaian basah, Casey kembali ke vilanya.
***
 Casey keluar dari kamarnya dengan memakai setelan berwarna biru dan celana panjang hitam dan bandana biru menghiasi rambut coklat kehitamannya.
“Kau mau keluar?” Tanya ibunya bingung.
“Aku diajak Stefan. Mom tahu, ‘kan? Yang dulu mom tolong waktu kecil.” Kata Casey riang.
Ibunya mengangguk.
“Dimana Dad dan Tom?” Tanya Casey sembari memakai sepatu.
“Mancing mungkin?” Marie Kim mengangkat bahu sambil meminum kopi. “Mom juga ada acara di rumah Michelle McLoan nanti malam.”
Casey mengangguk lalu melambai pada ibunya, “Bye, mom!”
Tidak memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke tepi pantai.
Di malam hari,kios-kios semakin banyak dan malah jauh lebih ramai. Casey menemukan Stefan di salah satu sudut kios cinderamata.
“Hay!” Casey menyapanya.
Stefan tersenyum, ia langsung mengajak Casey keluar dari pasar tepi pantai.
“Dimana pesta api unggunnya?” Tanya Casey.
“Di sana,” Stefan menunju ke arah pantai berrawa-rawa dekat hutan.
Untuk sampai ke sana bukanlah hal yang mudah karena pantai telah pasang. Mereka harus menyebrangi bebatuan yang dikikis air. Juga harus menepi ke tebing-tebing tinggi ketika air pasang mulai menyeret-nyeret celana panjang Casey. Bukan ide yang bagus mengenakan celana panjang malam ini.
Tapi akhirnya mereka sampai juga di tempat pesta api unggun diselenggarakan.
Api unggun bertiup begitu indah di tengah dan banyak ramaja berkumpul di sana. Ada yang sibuk memanggang ikan. Dan lainnya bergerombol mengobrol.
“Hey, Stefan,” Salah seorang gadis berambut pirang menghampiri Stefan. Gadis itu sama sekali tidak mengacuhkan kehadiran Casey. Ia segera memeluk lengan Stefan. “Kukira kau tidak datang, ayo, kesini!”
“Lauren, itu temanku…” Tapi Lauren sudah menarik Stefan menuju gerombolannya tanpa mendengarkan kata-kata Stefan. Membiarkan Casey ditinggal sendirian.
Casey benar-benar bingung dan kesal pada gadis Lauren itu. Ia hendak mengikuti Stefan, tapi ia kehilangan jejak Stefan. Akhirnya Casey berjalan-jalan sendiri memutari tempat pesta itu tanpa mengenal siapapun.
Tiba-tiba seseorang menyodorkan sesuatu padanya. Sebuah tusuk panjang dengan seekor ikan goreng menusuk di sana.
“Ikan?” Tanya sebuah suara.
Casey menoleh pada orang yang menawarkan ikan itu. Ia mengernyit. Tempat ini gelap, ia tidak bisa melihat wajah orang itu dengan jelas.
“Apa aku mengenalimu?” Tanya Casey.
“Tidak. Aku Jason Grint,” Kata laki-laki itu. “Kau kelihatannya anak baru di sini?”
Casey mengangguk menerima ikan itu. “Aku Casey Kim, ibuku orang sini. Tapi yah, aku bukan orang sini. Kami liburan.”
Jason mengangguk, “Kau sendirian? Siapa yang mengundangmu ke sini?”
“Eh.. Stefan.. Stefan Grace.” Kata Casey.
Mereka sama-sama berjalan pelan sambil memakan ikan mereka.
“Oh, Stefan, pacar Lauren.” Tanya Jason.
“Dia sudah punya pacar?” Casey tampak bingung. Ia baru tahu, sebab saat mereka bersama-sama tadi Casey tidak pernah menyinggung soal itu.
“Ya, kalau tidak salah mereka pacaran dua atau tiga hari yang lalu. Jadi kau dari mana?” Tanya Jason.
“London,” Jawab Casey sambil masih memikirkan hal lainnya.
“Kau campuran.” Kata Jason menyataknan, bukan bertanya.
“Ya, ayahku orang Korea. Kami tinggal di korea saat aku masuk sekolah dasar sampai aku lulus sekolah menengah pertama.” Jawab Casey tersenyum.
Ketika mereka berjalan mendekati api unggun, untuk pertama kalinya Casey benar-benar mengamati wajah Jason. Api unggun membuat wajah laki-laki itu tampak jelas sekarang. Ia menebak laki-laki itu seumuran dengan Stefan atau mungkin lebih mudah. Badannya tegap, wajahnya tidak setampan Stefan, tapi sangat menarik.
Jason mengernyit, “Ada sesuatu di wajahku?”
Casey menggeleng.
Jason Grint mengajak Casey bertemu dengan teman-temannya dan berkenalan dengan mereka. Casey langsung akrab dengan Selena Brockville dan Mario Stone, teman-teman Jason. Ia melewati malam itu bersama mereka.

Thu,23/06/11 11:00
Dear diary,
Aku bertemu dua orang hari ini. Entah mengapa aku merasa mereka akan mengubah sesuatu dalam hidupku.
Tapi salah satu dari mereka, Stefan, ia sudah mempunyai pacar. Dan aku merasa pacarnya membenci aku. Stefan berusaha mengantarkan aku pulang tadi dan Lauren melirikku dengan penuh kebencian. Tapi aku toh tak pernah peduli.
Omong-omong Jason berjanji akan mengajakku makan siang di restauran yang paling terkenal di sini. Aku tidak sabar menunggu besok.

***

0 komenz: