Monday, March 19, 2012

Bocah Penjual Koran

Cerita ini aku buat dalam rangka memenuhi nilai tugas sekolahku(hehehe) juga dalam rangka mengerekkan hati setiap orang untuk berhenti melakukan diskriminasi...
"Dan kamu tuan-tuan, perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah, bahwa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di sorga dan Ia tidak memandang muka." -Efesus 2:9-


Bocah Penjual Koran


Bocah itu selalu menunggu di depan gerbang sekolahku. Dengan pakaian yang lusuh, sepatu yang penuh tambalan, dan tas compang-camping, ia berdiri membawa setumpuk koran untuk di tawarkan pada setiap insan yang lewat. Tubuhnya mungil dan rapuh. Namun tak ada satupun orang yang berbelas kasihan pada bocah itu. Bahkan aku sering mendapati murid-murid dengan isengnya melempari bocah itu dengan batu.
Aku, Nikky Row, seorang gadis biasa yang hidup di lingkungan penuh diskriminasi dan meninggikan kedudukan. Harta, jabatan, dan kedudukan adalah dasar kehidupan masyarakat di kota terpencil ini. Mereka membenci orang miskin maupun orang berkulit hitam. Tapi aku tak 'kan menghakimi semua orang lebih dari ini, karena aku sama saja dengan semua orang. Aku egois. Aku pengecut. Mungkin aku memang punya belas kasihan, tapi tetap saja, bahkan untuk menolong seorang bocah kecil yang kedinginan demi sesuap nasi saja aku tak berani. Aku takut dimusuhi temanku. Aku terlalu pengecut.
Suatu hari di musim salju, aku mendapati diriku seorang diri berada di sekolah. Aku baru saja menyelesaikan tugas tambahan dari guruku. Hampir semua murid telah pulang, tetapi bocah penjual koran itu masih berdiri di depan gerbang sekolah. Bulir-bulir salju turun menutupi rambut hitam keriting pendeknya. Kulitnya yang gelap sangat kontras dengan putihnya salju yang turun. Ia membeku kedinginan. Ketika aku melewatinya, ia tersenyum dan mengulurkan secarik koran. Aku menoleh ke kanan-kiri, ke depan-belakang, tak ada seorang pun. Ku ambil secarik uang kertas dari sakuku lalu meletakkan di atas koran yang ia tawarkan. Bocah itu mengulurkan korannya, namun aku menggeleng dan berlari pergi. Bocah penjual koran itu berlari mengejarku. Ketika ia berhasil mencegatku, ia berkata “terima kasih.”.
Demi Tuhan, aku berani bertaruh, satupun dari temanku tak ada yang mau repot-repot mengejarku untuk berterima kasih saat aku membantunya mengerjakan pekerjaan rumah ataupun mentraktir mereka.

***