"Dan kamu tuan-tuan, perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah, bahwa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di sorga dan Ia tidak memandang muka." -Efesus 2:9-
Bocah Penjual Koran
Bocah itu selalu menunggu di depan gerbang sekolahku. Dengan pakaian yang lusuh, sepatu yang penuh tambalan, dan tas compang-camping, ia berdiri membawa setumpuk koran untuk di tawarkan pada setiap insan yang lewat. Tubuhnya mungil dan rapuh. Namun tak ada satupun orang yang berbelas kasihan pada bocah itu. Bahkan aku sering mendapati murid-murid dengan isengnya melempari bocah itu dengan batu.
Aku, Nikky Row, seorang gadis biasa yang hidup di lingkungan penuh diskriminasi dan meninggikan kedudukan. Harta, jabatan, dan kedudukan adalah dasar kehidupan masyarakat di kota terpencil ini. Mereka membenci orang miskin maupun orang berkulit hitam. Tapi aku tak 'kan menghakimi semua orang lebih dari ini, karena aku sama saja dengan semua orang. Aku egois. Aku pengecut. Mungkin aku memang punya belas kasihan, tapi tetap saja, bahkan untuk menolong seorang bocah kecil yang kedinginan demi sesuap nasi saja aku tak berani. Aku takut dimusuhi temanku. Aku terlalu pengecut.
Suatu hari di musim salju, aku mendapati diriku seorang diri berada di sekolah. Aku baru saja menyelesaikan tugas tambahan dari guruku. Hampir semua murid telah pulang, tetapi bocah penjual koran itu masih berdiri di depan gerbang sekolah. Bulir-bulir salju turun menutupi rambut hitam keriting pendeknya. Kulitnya yang gelap sangat kontras dengan putihnya salju yang turun. Ia membeku kedinginan. Ketika aku melewatinya, ia tersenyum dan mengulurkan secarik koran. Aku menoleh ke kanan-kiri, ke depan-belakang, tak ada seorang pun. Ku ambil secarik uang kertas dari sakuku lalu meletakkan di atas koran yang ia tawarkan. Bocah itu mengulurkan korannya, namun aku menggeleng dan berlari pergi. Bocah penjual koran itu berlari mengejarku. Ketika ia berhasil mencegatku, ia berkata “terima kasih.”.
Demi Tuhan, aku berani bertaruh, satupun dari temanku tak ada yang mau repot-repot mengejarku untuk berterima kasih saat aku membantunya mengerjakan pekerjaan rumah ataupun mentraktir mereka.
***
Hari ini aku mengikuti kebaktian malam di gereja. Kebaktian berlangsung selama kurang lebih satu jam. Ketika aku melangkah keluar dari gereja, aku mendapati bocah penjual koran itu duduk di depan pintu gereja. Tak ada orang yang peduli melihatnya. Tapi selama di gerejaku tak ada teman-teman sekolah, aku memberanikan diri menegur bocah itu, "Kenapa kau ada di sini?"
Bocah itu meringis, "Aku ingin mendengarkan khotbah pendeta."
"Oh, kenapa kau tidak masuk?" Tanyaku.
"Apa aku boleh masuk? Apakah tidak dipungut bayaran?" Tanya bocah itu bingung.
"Tentu saja tidak."
Kami bersama-sama berjalan menuju keluar gereja. Bocah kecil itu berjalan di sampingku. Dia menyenandungkan lagu-lagu rohani. Selang beberapa menit berlalu, aku bertanya padanya, “Kenapa kau selalu berjualan di depan sekolahku?”
Bocah itu berhenti bersenandung. Ia menurunkan kepalanya sambil menendang-nendang setumpuk salju di jalanan. “Aku ingin sekolah, tapi karena kondisiku yang tidak memungkinkan,ya, " Bocah itu berhenti sejenak, ia tidak melanjutkan perkataannya tadi dan beralih berkata "Lingkungan sekolah itu terlihat menyenangkan.”
Aku menyanggah, “Sekolah itu tidak semenyenangkan yang kau kira, kau tahu, terkadang teman-teman itu ada yang tak menyenangkan,” Aku tidak melanjutkan perkataanku. Aku selalu merasa tertekan berada di sekolah. Aku punya teman, memang, tapi terkadang aku merasa lebih seperti orang yang terus-terusan mengikuti mereka. “Namamu siapa?” Aku mengalihkan pembicaraan. “Aku Nikki.”
“Aku Rey” Jawab bocah itu.
Beberapa hari berikutnya aku makin sering bertemu dengan bocah itu di gereja. Ia rajin mengikuti kebaktian pagi maupun malam. Mulai dari sana, aku mengetahui bahwa si bocah Rey ini tidak memiliki orang tua. Ia hidup bersama tante dan pamannya yang miskin. Karena tidak ingin membebani mereka, ia memilih untuk menjual koran. Aku terus-terusan membandingkan hidupnya dengan hidupku yang selalu berkecukupan. Walau tidak sekaya teman-temanku, paling tidak aku tidak perlu berjualan koran untuk mendapatkan sesuap nasi.
Pada suatu hari di awal musim semi, ketika bunga-bunga mulai bermekaran, aku sedang bercakap-cakap denga Rey kecil di perjalanan pulang dari gereja. Tiba-tiba, aku mendengar sebuah suara menyerukan namaku. Hatiku mencelos mengenali suara salah seorang temanku. Aku tidak menoleh.
"Bukan kah orang itu memanggil kau?" Tanya Rey bingung.
Aku menggeleng dan mempercepat langkahku hingga suara yang memanggilku itu menghilang. Begitu kami berpisah di pertigaan, aku langsung berlari pulang ke rumah dengan hati penuh ketakutan.
Esoknya, seperti yang sudah kuduga, Anne, teman yang semalam mendapatiku berjalan bersama Rey, langsung bertanya padaku, "Hey, aku melihatmu kemarin.. Atau orang seperti kamu.. Aku tak yakin. Apa kau melihatku?"
"Tidak. Aku kemarin di rumah seharian." Dustaku.
"Oh, ya, orang itu sedang berjalan dengan bocah gelandangan - kau tahu bocah penjual koran di depan sekolah kita." Lalu ia tertawa kecil seakan apa yang dikatakannya lucu. "Tentu saja itu bukan kau ya! Bodoh sekali aku mengira itu kau!" Ia tertawa lagi. Aku ikut setengah tertawa walau tak ada yang lucu.
Pulang sekolah, ketika melewati gerbang sekolah aku mendapati Rey tersenyum padaku seperti biasanya dan kubalas dengan sikap acuh.
"Lihat, sepertinya bocah itu menyukaimu, dia selalu tersenyum melihat kau. Kau sedang populer, tapi sayang sekali di kalangan seperti mereka." Dengus salah seorang temanku yang lain, Hellen.
Aku meringis. Kata-kata Hellen tadi benar-benar membuatku sakit hati, tapi selama aku tak mau kehilangan temanku, aku hanya tersenyum. Teman-teman sekelompokku termasuk orang-orang yang berada. Orang tua mereka memiliki kedudukan yang berpengaruh di dunia bisnis, setidaknya kecuali aku.
“Hey kau bocah hitam yang miskin, jangan sembarangan senyum ke teman kami dong!” Seru Hellen pada Rey. Ia memungut batu yang berada di dekat kakinya dan melemparkan batu itu ke Rey. Semua teman tergelak ketika batu itu membentur pipi Rey. Aku ikut tertawa setengah hati. Rey meringis kesakitan tapi tidak membalas. Maafkan aku Rey.
Hatiku benar-benar kacau setelah itu. Ini bukan pertama kalinya, tentu saja. Tiap hari aku selalu merasakan kekacauan dan tekanan seperti ini. Aku tahu semua yang kuperbuat salah, tapi jika tidak melakukannya, aku akan di jauhi. Aku terlalu pengecut untuk mengambil keputusan yang benar.
Saat itu aku tengah menyebrang di jalanan yang penuh dengan mobil berlalu-lalang bersama teman-temanku. Aku menyebrang dengan setengah melamun tanpa menyadari sebuah mobil melaju kencang di dekatku. Aku baru menyadarinya ketika mendengar sebuah suara yang menyerukan namaku dan sebuah kekuatan kecil berhasil mendorong tubuhku ke aspal. Tubuhku terpelanting ke trotoar di sebrang jalan. Tangan kakiku lecet, setetes darah mengalir keluar melalui bibirku, tapi jauh dari itu, aku bersyukur telah selamat dari tubrukan mobil. Aku menoleh. Tidak, aku bukan hanya selamat. Seseorang menyelamatkanku. Bukan Anne, bukan Hellen, tak satupun dari teman sekelompokku yang menyelamatkanku. Mereka hanya berdiri mematung di sisi jalan yang lain. Penyelamatku adalah seorang bocah kecil yang tubuhnya terpelanting jauh di jalanan. Darah merembes dari kepalanya. Dengan tertatih-tatih aku berjalan menuju bocah itu. Matanya masih terbuka dan nafasnya tersengal-sengal.
"Kenapa kau menolongku?” Kataku padanya.
Rey tak menjawab pertanyaanku, ia memaksakan seulas senyum, "Apa Nikki baik-baik saja?"
Bahkan dalam keadaan seperti ini ia mempedulikanku.
"Aku yang seharusnya bertanya begitu!" kataku.
Lalu aku mengamati sekitarku. Banyak orang berkerumun penasaran, namun tak satupun dari mereka yang menelpon ambulans. Bahkan aku mendapati teman-temanku saling berbisik di sisi jalan yang lain.
"Apa yang kalian lakukan!" Bentakku pada semua orang, hening sejenak, semua orang berhenti berbisik dan berceloteh, "Kenapa tak ada yang memanggil ambulans? Apa karena yang tergeletak di sini adalah seorang bocah berkulit hitam lantas kalian tak mau menolongnya." Tubuhku bergetar, "Apa tak satupun dari kalian yang memiliki belas kasihan? Bocah ini.. Bocah ini menyelamatkanku. Kalian tidak melakukannya," kata-kata terakhir itu kutujukan pada sekelompok temanku. “Di mana rasa kemanusiaan kalian? Kalian tak pernah mengetahui ‘kan bagaimana bocah ini bekerja untuk mempertahankan hidupnya, sedang kalian memiliki kekayaan berlimpah-limpah? Kalian bisa merengek pada orang tua kalian di saat kalian menginginkan sesuatu, tapi dia harus menjual sedikitnya satu koran untuk membeli sebuah permen.”
Tak ada yang bergeming. Akhirnya aku merogoh sakuku sendiri dan mengambil sebuah ponsel. “Sial,sial,sial,” gerutuku ketika menyadari ponselku tidak dapat digunakan akibat bantingan di aspal tadi. Air mata yang berkumpul di pelupukku mulai mengalir turun satu demi satu. Oh Tuhan, apakah sudah tak ada keadilan lagi di dunia ini? Bocah malang ini mengorbankan dirinya demi diriku, tapi tak satupun orang tergerak hatinya untuk menolong bocah ini. Air mata tidak berhenti mengaliri pipiku. Seakan menjawab doaku, seorang ibu paruh baya mendekat dan memegang pundakku. Ia berkata bahwa ia telah menelpon rumah sakit dan ambulans akan datang tak lama lagi. Aku memeluk ibu itu dan mengucapkan terima kasih berulang kali.
Ambulans datang tak lama kemudian. Beberapa perawat membawa tubuh kecil Rey ke dalam ambulans. Aku ikut masuk ke dalamnya. Selama perjalanan itu aku terus bertanya, "Kenapa kau menyelamatkanku?”
Rey tidak menjawab, tapi akhirnya ia tersenyum dan berkata dengan suara lemah, "Nikki, kau pernah menyelamatkan hidupku sekali, kau memberiku uang, aku ingat itu. Aku menyelamatkanmu hari ini. Itu adil bukan?"
Air mata terus mengaliri pipiku. "Tidak, itu hanya uang berjumlah sedikit, kau mengorbankan hidupmu. Aku bahkan tidak membelamu saat teman-temanku mencela dan melemparimu batu."
Hening sejenak sebelum Rey menjawab, "Nikki, semua itu tak sebanding dengan semua hal baik yang telah kau perbuat padaku. Kau orang pertama yang menyapaku di saat hampir semua orang menatapku dengan pandangan jijik. Kau orang pertama yang mau mengenalku," Rey tersenyum, lalu ia melanjutkan, "dan lagi, kalau kau yang tertabrak, banyak orang yang akan bersedih, kalau aku yang tertabrak, tak ada orang yang mempedulikan, malahan itu akan melepaskan beban tante dan omku." Kata Rey tegas.
Mendengar kata-kata Rey itu air mata merembes keluar dari mataku. "Itu tidak benar."
“Terima kasih Nikki.” Rey menutup matanya.
Tak lama kemudian kami sampai di rumah sakit, namun semua sudah terlambat. Rey kecil telah menutup mata untuk selamanya dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Beberapa bulan berlalu sejak hari itu. Tak ada perubahan yang berarti pada hidupku sejak hari itu, kecuali aku tidak benar-benar berteman kembali dengan teman-temanku. Itu bukan hal yang buruk karena aku punya teman-teman baru. Mereka adalah orang-orang yang menyaksikan secara langsung tindakan heroik Rey. Perubahan besar yang terjadi adalah di kalangan masyarakat kota karena tindakan Rey hari itu ternyata langsung mewarnai media massa. Diskriminasi mulai berkurang di kota ini sejak itu, tentu saja kecuali di kalangan teman-teman lamaku. Perubahan sedikit demi sedikit mulai tampak. Jika ada seorang pengemis berkulit gelap di depan sekolahku, sedikitnya satu atau dua orang akan bersusah paya mengeluarkan uang untuk memberi sumbangan. Tapi aku percaya, tindakan Rey, bocah penjual koran itu, akan dikenang selamanya di seluruh penjuru kota ini, dan sedikit demi sedikit akan terjadi perubahan. Terima kasih, Rey.




0 komenz:
Post a Comment