Monday, August 6, 2012

The Bullet of Love


Genre: Thriller/Action, Romance
Length: One Shoot 
Cast: Kai, Song Minji
Supporting Cast: D.O, Lee Sooman, Suho, Baekhyun, Sehun, Chanyeol, Sobo, Kris
Nb: This is my second FF :) review pleasee! :P



Tubuh anak kecil itu meringkuk ketakutan di dinding sebuah lorong gelap. Pipa-pipa air menjalar di mana-mana memenuhi lorong. Air menetes dari pipa yang bocor dan membuat tempat itu lembab dan berbau busuk. Dindingnya hanyalah tumpukkan batuan serta kerikil yang ditimbun berantakan, sedangkan lantainya adalah batu-batu dan tanah yang diselimuti lumut.
"Gyaa!!" Sebuah jeritan menggema di lorong itu.
Anak kecil yang meringkuk tadi berdiri dengan ketakutan. Tangan kanannya gemetaran menyentuh benda di sakunya. "Eomma? Appa?"
Ia berjalan perlahan-lahan dengan langkah kecil. Ketakutan dan setengah menangis menelusuri lorong itu sambil meraba-raba dinding di sekitarnya sebagai petunjuk.
"Eomma? Appa?" Ia berbisik memanggil lagi.
Akhirnya ia sampai di ujung lorong. Jemarinya menyentuh selongsong besi yang berdiri di depannya. Pintu. Dijulurkan tangannya setinggi yang ia bisa hingga mencapai kenop pintu, lalu menariknya.
Di balik pintu adalah ruangan besar yang dipenuhi cahaya terang. Dinding dan lantainya putih. Lampu bersinar dari segala arah. Anak kecil itu baru saja akan memasuki ruangan, namun langkahnya dihentikan oleh pemandangan mengerikan di dalam ruangan. Sebuah tubuh tak berdaya terbaring di atas lantai dengan luka menggangga di pelipisnya. Di sebelah tubuh itu, seorang laki-laki berdiri dengan wajah ditutupi kacamata. Ketika menyadari kehadiran sang anak kecil, laki-laki itu menoleh dan tersenyum sadis, memamerkan deretan gigi kuningnya. Bibir kecil anak itu telah terbuka untuk berteriak, tetapi seseorang telah lebih dahulu membungkam mulutnya dan menarik tubuhnya.
***
"Kai? Kai?" Suara seorang gadis membangunkan Kai.
Kai membuka matanya dan melihat cahaya matahari lembut dan pepohonan rimbun di atasnya. Di sisi lain, sebuah wajah yang familier sedang menatapnya panik. Rambut panjang ikalnya menggelitiki pipi Kai.
"Kau mimpi buruk lagi ya?" Tanya gadis itu.
Kai mengerjapkan matanya dan mengamati sekitarnya. Ia berada di taman yang sangat ia kenali. Ayunan, jungkat jungkit dan bak pasir terletak tidak jauh dari tempat Kai berada. Rupanya ia tertidur di pangkuan gadis itu di bangku taman.
"Oh mianhae, Minji," Kai menekan sikunya, mengangkat tubuhnya agar terduduk. Setelah duduk dengan benar, ia menggeleng pelan dan memijat pelipisnya.
"Kau selalu mimpi buruk," Kata gadis bernama Minji itu dengan suara cemas.
"Tidak apa, tenang saja." Kai menoleh pada Minji dan tersenyum lembut. "Sudah berapa lama aku tertidur?"
Minji itu menjulurkan tangan untuk melihat arlojinya. "Hampir setengah jam."
"Oh."
Hanya butuh setengah jam baginya untuk mendapatkan mimpi itu. Kai sudah terlalu sering mendapat mimpi yang sama dan semakin lama mimpi itu semakin terasa nyata. Hanya saja, ketika terbangun dan melihat Minji di dekatnya, ketakutan dalam hatinya sedikit demi sedikit menguap.
"Ehm, aku harus pulang sebentar lagi." Kata Minji.
"Aku antar." Ujar Kai langsung.
***
"Oke, mari kita sambut teman kita yang baru saja pulang kencan!" Kalimat itu menyambut Kai yang baru saja masuk ke dalam kamar kosnya.
Seorang laki-laki duduk di tempat tidurnya menghadap bantal dan mengepalkan tangannya ke bantal. Kai tidak menanggapi sambutan laki-laki itu.
"Oh, kau sangat membosankan, Kai." Komentar laki-laki tadi. Ia menarik tangannya dan mulai meninju bantalnya.
"Dan kau sangat cerewet, D.O." Balas Kai. Laki-laki itu duduk di tempat tidurnya, berbaring dengan lengan disandarkan.
"Postur tubuhmu bagus buat jadi petarung," komentar D.O, berhenti meninju bantal dan menatap Kai dengan sedikit iri, "kenapa tak mau ikut klub kami sih?
Kai nyengir, "Ikut klub tinju bantal? Maaf deh, nggak tertarik."
D.O menggeram. "Terserah kau sajalah." Laki-laki itu kembali meninju bantalnya dengan kesal. Ia berhenti beberapa saat kemudian dan menepuk dahinya. "Oh ya, baru ingat!" D.O menjulurkan jemarinya ke saku dan menarik keluar sebuah amplop merah terang. "Ada surat untukmu! Nih! Sepertinya surat cinta."
Kai menerima amplop itu dengan hati mencelos. Ia tahu benar bahwa amplop itu bukan surat cinta. Sudah lama sekali semenjak ia menerima amplop merah itu. Kai tahu, ketika amplop itu datang, akan ada hal buruk terjadi.
***
Sejak kedatangan amplop merah itu, Kai benar-benar tidak dapat fokus dalam melakukan segala sesuatu. Hari-harinya hampir ia habiskan untuk melamun dan memikirkan isi amplop itu. Kai sendiri bingung bagaimana dia dapat melakukan aktivitasnya. Dia juga tidak dapat memberikan alasan yang tepat bagaimana ia dapat masuk ke kelas yang tepat tanpa benar-benar sadar. Hanya ada beberapa waktu ketika sedang menikmati makan siang maupun menikmati sore bersama Minji, Kai dapat membuat dirinya fokus.
"Kai." panggil Minji lembut, menyadarkan Kai dari lamunannya. Kai menoleh pada Minji dan menaikan alisnya. Gadis itu tersenyum lembut. "Hari ini kita tidak ada kelas sore, kita pergi kencan yuk?"
Butuh beberapa saat bagi Kai untuk mencerna ajakan Minji. "Kencan? Ehm.."
"Kau seperti punya masalah," Kata Minji menjelaskan, "sekali-sekali kau juga perlu bersenang-senang… lagipula,” Minji berhenti sebelum melanjutkan, “sudah lama kita tidak kencan.”
"Baiklah,” Kai mengangguk lalu berdiri menarik Minji, "Ayo! Kita mau kemana?"
***
"Lihat, lucu sekali!" Kata Minji menunjuk salah seekor monyet. "Mirip kau!"
"Sepertinya aku lebih tampan, deh." Kai membela diri.
"Masa?" Minji menjulurkan lidahnya dan tertawa.
Hampir selama beberapa saat Kai melupakan segala hal yang menganggunya. Senyum dan tawa Minji selalu membuat dirinya tenang.
Mereka sudah berjalan hampir mengelilingi seluruh penjuru kebun binatang. Kelelahan, mereka berdua memutuskan untuk membeli minum di kios makanan ringan. Selagi menunggu antrean, Minji pergi ke toilet. Setelah mendapatkan pesanan dua botol Cola, Kai menunggu di sebelah kios itu. Ia mengamati sekitar dengan bosan. Akhirnya ia memutuskan untuk mengeluarkan ponselnya, mencari-cari folder galeri kameranya dan mengamati foto-foto Minji yang menghias di layarnya. Ada belasan foto Minji bersama berbagai jenis binatang disana. Senyuman tulus gadis itu membuat Kai ikut tersenyum. Ia sangat manis. Kai men-scroll gambar-gambar itu perlahan-lahan dan ia tak berhenti tersenyum. Di tengah asyik melihat galeri foto di ponselnya, Kai merasa seseorang sedang mengawasinya. Ia menoleh ke kanan-kiri, ke depan-belakang. Tak ada siapa-siapa. Akhirnya ia kembali menatap layar ponselnya.
"Kai." Panggil seseorang. Tapi bukan suara Minji yang memanggil, melainkan suara berat laki-laki.
Kai mengangkat wajahnya dan seketika itu juga hatinya mencelos. Di depannya berdiri tiga orang laki-laki. Dua laki-laki di kanan dan kiri berbadan besar, sedangkan laki-laki di tengah bertubuh kurus. Wajah ketiganya ditutupi kacamata hitam.
"Atau lebih tepatnya, Kim Jong-In." Laki-laki di tengahlah yang berbicara. Ia meringis dan tersenyum keji. "Kau tak dapat mengecohkan organisasi kami walaupun telah mengganti namamu.”
Kai meremas jemarinya yang sedang memegang kantung Cola.
"Ya, aku tidak ke sini untuk berbasa-basi." Kata laki-laki itu. "Berikan benda itu."
Kai menggertakkan giginya. "Benda itu tidak ada padaku."
"Pembohong." Ujung bibir laki-laki itu berkedut.
"Tidak," Kai memandang laki-laki itu tajam, "benda itu tidak ada padaku."
Laki-laki kurus itu menoleh pada kedua laki-laki di sebelahnya, lalu ia nyengir, "aku memintamu dengan baik-baik, tapi," Kedua laki-laki di sebelahnya melangkah maju, "kalau kau tidak bisa diminta dengan baik-baik..."
Kai melangkah ke depan dan mendorong tinjunya ke salah satu perut laki-laki besar itu dan melemparkan kantung colanya ke laki-laki yang lain. Sebuah tinjuan tambahan meluncur ke wajah laki-laki besar itu. Dengan lincah Kai mendorong keduanya dengan siku dan ia bergerak maju untuk menyerang laki-laki kurus ditengah. Namun, langkah Kai dihentikan ketika laki-laki di tengah itu mengancungkan benda bewarna hitam ke arah Kai. Pistol.
Beberapa pengunjung yang memperhatikan mulai ribut. Beberapa berteriak. Petugas keamanan berlari menghampiri mereka, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain bersikap waspada. Kai dapat melihat dari sudut matanya, beberapa petugas diam-diam sedang menggunakan walkie-talkienya.
"Kau tak akan membunuhku." Kata Kai berani.
"Kenapa menurutmu begitu?" Tanya laki-laki itu.
“Kau tak akan mendapatkan apa-apa dengan membunuhku.”
Mereka berdua saling diam selama beberapa detik.
"Polisi! Polisi datang!" Teriak seseorang di antara kerumunan pengunjung kebun binatang.
"Sial." Laki-laki kurus itu bergerak mundur diikuti dua kawannya. “Kita akan menemukannya, Kim Jong-In!” Ia mengancungkan pistolnya para pengunjung dan petugas keamanan agar mereka memberinya jalan.
Kai menggertakkan gigi. Ia memungut cola yang terjatuh dan membuangnya ke tempat sampah. Beberapa pengunjung masih bergerombol mengamati Kai dengan pandangan ingin tahu.
"Kai!" Suara Minji datang dari kerumunan. Gadis itu memeluk Kai. "Kau tak apa-apa?"
Kai mengusap puncak rambut Minji. "Tak apa. Tenang saja."
Minji mengendurkan pelukannya dan ia menatap Kai, "Tadi, aku yang berteriak 'polisi'. Sebenarnya mereka belum datang.”
Kai terkekeh. Seperti biasanya, Minji yang dikenalnya adalah gadis lembut yang pemberani.
Polisi datang tidak lama kemudian. Kai dan Minji beserta beberapa saksi sukarelawan diinterogerasi di kantor polisi hingga malam. Polisi menganggap Kai adalah korban dalam kekacauan hari itu dan ia melepaskan Kai.
Setelah mengantarkan Minji sampai ke rumah, Kai segera membuka ponselnya dan menelpon seseorang. Ia memasang hoddie sweaternya untuk menutupi wajahnya dan melesat pergi. Bukan kembali ke kos-kosannya, melainkan ke rumah yang menjadi tempat terakhir yang ingin ia kunjungi.
***
Kai menatap pintu bambu di depannya dengan gelisah. Ia benci tempat itu. Ia benci rumah kecil bermodel Jepang yang sedang ia kunjungi itu. Tapi ia harus bertemu dengan penghuninya. Beberapa detik setelah Kai memutuskan untuk menggedor pintu bambu rumah itu, penghuninya membukakan pintu. Seorang laki-laki separuh baya dengan rambut hitam lebat dan kacamata persegi bertengger di hidungnya keluar.
"Kau rupanya?" Laki-laki itu mengernyit bingung. Ia menoleh ke kanan-kiri  dan setelah memastikan tidak ada siapa-siapa di sana, dengan cepat ia menarik Kai masuk. Mereka berdua masuk ke ruang tamu. Ruang tamu it bermodel Jepang. Lantainya dari bambu yang disusun sejajar. Ada dua bantal tipis mengeliling meja persegi dan ada teko teh beserta cangkir-cangkir kecilnya yang menghiasi meja.
Kai dan laki-laki itu duduk berhadapan
"Jadi, kenapa kau ke sini?" Tanya laki-laki itu sembari membalikkan cangkir dan menuangkan isi teko ke cangkir.
"Soo-man ssi.." Kai mengepalkan tangan, "Mereka menemuiku."
Soo-man berhenti menuangkan teh ke cangkir. Ia meletakkan teko ke tempatnya. "Mereka menemuimu?"
"Ne," Kai memejamkan mata, menceritakan setiap detail pertemuannya dengan kawanan itu di kebun binatang.
"Oh." Sooman mengangguk singkat.
"Aku ingin memastikan.. Apa ‘benda itu’ aman?" Kai bertanya dengan ragu-ragu.
Sooman menaikkan alisnya, "Kau meragukan tempat penyimpananku?" Kai tidak menjawab. "Selama benda itu berada di aku, mereka tidak akan mendapatkannya."
"Tapi mereka menemukan aku!" Kai berkeras.
"Itu karena kau sangat ceroboh!" Soo-man berbicara dengan suara lebih keras. "Kau bahkan tidak menyadari penyadap yang mereka pasang di lengan bajumu."
Kai mengangkat lengannya dan mencari-cari
"Aku sudah mengambilnya saat menarikmu tadi." Kata Sooman. Laki-laki paruh baya itu meneguk tehnya sebelum berkata, "Itu berarti mereka tahu bahwa ‘benda itu’ tidak ada padamu. Tapi mereka juga sangat gegabah. Menunjukkan diri di khayalak bukanlah pilihan bijaksana.  Mereka sedangterburu-buru."
"Terburu-buru?" Tanya Kai. Alih-alih menjawab, Sooman meneguk tehnya sambil berpikir. "Sebenarnya, apa yang mereka inginkan dari benda itu?"
Sooman menggeleng. "Entahlah, aku, dan bahkan orang tuamu tidak pernah tahu fungsinya. Kami hanya guardian - penjaga."

Kai hanya diam. Jadi selama ini orang tuanya menjaga benda bahkan hingga rela mati demi benda itu itu tanpa mengetahui fungsinya?
"Dan Kai.. Jangan pernah kemari lagi jika tidak perlu.” Kata Sooman tegas. “Kalau mereka dapat menemukanmu di kebun binatang dengan mudah, berarti mereka mengawasimu. Mungkin hari ini mereka tidak dapat melacakmu karena kau baru saja dari kepolisian, tapi tidak suatu hari nanti."
***
Hampir seminggu sejak pertemuan Kai dengan orang-orang itu. Apa yang dikatakan Sooman benar. Walaupun tidak bertemu dengan mereka, Kai selalu merasa bahwa seseorang sedang mengawasinya. Baik saat ia sedang di kampus, di mall, di jalan-jalan, maupun saat ia sedang bersama Minji di taman. Mereka baru menunjukkan diri di akhir pekan ketika Kai akan memasuki gedung kos-kosannya.
"Ada jadwal tersendiri ya buat menemuiku?" Kai mendengus. Ia membalikkan badan dan mendapati setengah lusin laki-laki bertubuh besar berdiri. "Mau menempelkan penyadap lagi?"
"Beritahu kami dimana benda itu." Kata salah seorang dari mereka.
Kai nyengir, "Carilah di pantatmu, bung! Kau akan menemukannya."
"Cepat beritahu kami!" Bentak laki-laki paling tinggi. Kai hanya membalasnya dengan cengiran. Laki-laki itu berlari menyerang Kai. Walaupun lebih besar dan lebih kuat, Kai lebih lincah dan ia berhasil memiting laki-laki itu dengan mudah dan mendorongnya menjauh. Perlahan-lahan satu persatu dari merekamulai menyerbu. Awalnya Kai dapat mempertahankan dirinya, namun jumlah mereka terlalu banyak. Ia merasakan tonjokkan mendarat di pipinya dan ia tidak dapat bergerak beberapa saat. Salah seorang dari mereka memegang lengannya, sedang yang lain meninju perut Kai. Kai benar-benar tidak ingat apa yang terjadi setelah itu. Ia hanya melihat bayangan kabur D.O sekilas dan setelah itu pandangannya lenyap.
Saat terbangun, Kai sudah berada di tempat tidur kamar kosnya. Di sebelahnya, Minji dan D.O memandangnya dengan cemas.
"Apa yang ter.." Kai mendorong sikunya untuk duduk, tapi luka membuat ia terjatuh kembali.
"Istirahatlah." Kata Minji lembut. Ia menatap Kai cemas. "Bagaimana keadaanmu?"
"Aku tidak tahu." Kai menyentuh pelipisnya. Ada kapas yang melekat di sana. "Apa yang terjadi? Kenapa kau disini, Minji?"
"Apa yang terjadi?" D.O mendengus, "Seharusnya kami yang bertanya! Aku dan beberapa teman klubku menemukanmu ditonjok banyak laki-laki berbadan besar di depan gedung kos. Kami menghabisi mereka semua!" D.O mengucapkan kalimat terakhir dengan bangga. "Teman klubku pulang beberapa saat yang lalu, dan soal Minji, aku yang menelponnya untuk merawat lukamu. Tante kos tidak ada di kos.”
"Apa yang terjadi Kai? Apa mereka laki-laki di kebun binatang?" Tanya Minji khawatir.
"Bukan siapa-siapa. Hanya orang-orang yang kalah bertarung." Kata Kai.
"Kau juga menyebut laki-laki di kebun binatang seperti itu!" Minji memprotes.
"Ya, lawanku 'kan macam-macam." Kai menjawab dengan acuh.
Minji memutar matanya, "Baiklah, siapapun mereka, polisi sedang mencarinya. Ya, kami melapor pada polisi!" Minji menambahkan kalimat terakhir sebagai jawaban dari wajah bingung Kai. "Kau istirahatlah, aku ada kelas sebentar lagi. Istirahat! D.O akan menjadi mataku." Minji melempar pandangan memerintah pada D.O yang dibalas cengiran, lalu gadis itu berpamitan pada mereka berdua untuk pergi.
"Sial." Kai menggeram, ia menoleh pada D.O. "Kau tak 'kan menuruti keinginannya 'kan?
"Apa? Aku sudah menjadi matanya." D.O mengangkat bahu.
"Ayolah, D.O, aku tidak bisa istirahat terus! Ada yang harus kulakukan hari ini!" Ujar Kai.
D.O kembali ke tempat tidurnya tidak menggubris Kai.
"Baiklah, begini, kalau kau membantuku, aku akan masuk klubmu." Kata Kai.
D.O menoleh, ia berpikir sejenak sebelum bertanya, "Memang apa sih maumu?"
***
Minji sedang berbaring di tempat tidurnya dengan gelisah. Pikirannya terus menerus dipenuhi oleh Kai. Apakah laki-laki itu baik-baik saja? Ia ingin menelpon, tapi takut menganggu laki-laki itu beristirahat. Sebelum pulang ke rumah, ia sudah menitipkan banyak makanan dan obat-obatan pada D.O, tapi itu tidak mengurangi kecemasannya. Di tengah mencemaskan Kai, tiba-tiba ponsel di sebelahnya berbunyi. Ia meraih ponsel itu. Kai.
"Yoboseyo? Kenapa masih bangun sampai selarut ini?!" Protes Minji.
"Kau sendiri kenapa masih bangun?" Tanya Kai di sebrang.
Minji terdiam cukup lama sebelum menjawab, "Aku mencemaskanmu."
Kai mendengus di sebrang. "Luka dan pukulan itu temanku, kau tak perlu cemas."
"Tapi..."
"Jangan bahas itu. Lihatlah keluar." Kata Kai.
"Mwo?" Minji berdiri dari tempat tidurnya. "Lihat keluar untuk apa?"
"Lakukan saja." Ujar Kai di sebrang.

Minji melangkah ke dekat jendela. Ia menyibakkan gorden dan mendorong jendela itu hingga terbuka. Kamar Minji berada di lantai dua. Di bawahnya hanya ada jalanan kecil. DMinji melongok keluar dan ke bawah. Hanya hamparan kosong malam yang menyambutnya.
"Ada apa sih..." Minji berhenti bertanya. Sebuah benda persegi berwarna kuning terang perlahan-lahan melayang ke atas. Satu-dua-tiga.. Belasan lampion melayang satu persatu ke atas. Ada bewarna-warni lampion, dari kuning, merah, biru hingga hijau. Tapi yang paling mencolok adalah goresan hitam di setiap lampion. Ketika lampion itu sudah berada cukup dekat, Minji menyadari bahwa ternyata itu bukan hanya goresan, melainkan tulisan.
"Saeng.. Il.. Chuk... Ha.. Hae.. Yo.. Nae.. Sa.. Rang.. Ha.. Neun.. Nae.. Min.. Ji.." Minji menutup mulutnya. Ia hampir saja melupakan ulang tahunnya karena kecemasannya terhadap Kai. Butuh waktu sesaat sebelum Minji mengeluarkan suara."Kai.. Ini.." Gadis itu melongok ke bawah. Sosok Kai terlihat di bawah penerangan lampion yang akan diluncurkan berikutnya.
Kai mengangkat wajahnya dan tersenyum."Selamat ulang tahun, Minji." Ia meluncurkan lampion tersebut, "Aku mencintaimu." Dan Kai mulai menyanyi di sebrang. Suaranya yang indah melantun di malam yang sepi. Selesai bernyanyi Kai berkata, "Maaf, aku ingin membawakan kue tart dan menemuimu, tapi aku tidak mau menganggu orang tuamu."
"Apa yang kau katakan, sih?" Minji tidak dapat menahan air matanya keluar, "Kai, ini adalah kejutan paling indah!"
***
Kai menepati janjinya. Setelah memar dan lukanya pulih, ia ikut ke tempat latihan klub milik D.O. Tempat latihan itu berada di gudang bawah di belakang kampus Kai. Ruangan latihan itu cukup luas dan dapat menampung berpuluh-puluh orang. Ada ring tinju dan bantal tinju di salah satu sisi ruangan. Sarung tinju tergeletak di mana-mana. Ada pula dashboard panah dan alat-alat untuk memperkuat otot lainnya. Namun yang paling menarik bagi Kai adalah rak besar dari kaca yang tergantung di dinding dan memamerkan berbagai jenis senjata dari panah, kapak, pisau hingga tombak. Anggota klub itu ada sekitar selusin. Kai selalu mengira klub bertarung D.O membosankan, namun ia menjadi ketagihan di hari pertama latihan.
Hari-hari berikutnya, Kai tidak pernah absen datang ke klub. Ia juga mulai mengenal anggota-anggotanya. Ia juga akrab dengan beberapa anggota seperti Suho -seniornya, Baekhyun, Chanyeol, dan yang termuda, Sehun.
"Bagaimana caranya menghindari peluru?" Tanya Kai pada Suho suatu hari ketika Suho sedang membersihkan ujung tombaknya.
"Peluru pistol?" Tanya Suho. Kai mengangguk. "Peluru hanya bisa dihindari dengan kecepatan," Suho menjelaskan sambil masih mengelap ujung tombaknya, "Kau harus pandai berkelit dan memperhatikan arah angin. Kau juga harus mengenal orang yang menarik pelatuknya, harus tahu apakah dia pro atau tidak. Kebanyakan amatir akan menyerang lurus dan dapat diprediksi, kau dapat berkelit dengan mudah jika kau cepat." Suho meletakkan tombaknya dan mengangkat wajahnya menatap Kai, "Tapi, pro memiliki gerakan yang sulit diprediksi. Untuk apa kau bertanya tentang ini?"
"Tidak untuk apa-apa." Jawab Kai cepat. "Aku hanya penasaran, apakah tidak ada latihan untuk menghindari peluru?"
Suho berpikir-pikir sejenak sebelum berkata, "Ada, kalau kau ingin, aku bisa melatihmu dengan pistol kertas." Suho membuka rak senjata. Ia menarik tonjolan di dasar rak. Sebuah pistol kecil tergeletak di sana. "Tapi kita hanya bisa melakukan ini dengan rahasia."
Beberapa hari kemudian, Kai mulai berlatih menghindari peluru kertas dengan Suho. Mereka berlatih ketika semua anggota klub telah pulang. Pistol kertas Suho melemparkan gumpalan kertas kecilnamun dengan kecepatan sangat tinggi. Butuh beberapa hari sebelum Kai benar-benar menguasai betul teknik menghindarinya. Kai juga belajar menggunakan pistol walaupun ia tidak yakin ia akan menggunakan benda aslinya.
Beberapa anggota mulai penasaran apa yang Kai dan Suho sering lakukan berdua.
"Kau masih normal 'kan?" Goda D.O suatu hari, "Bahkan kau bertemu Suho hyeong lebih sering ketimbang Minji."
"Tentu saja aku normal!" Protes Kai.
Namun yang dikatan D.O memang benar. Sejak hari ulang tahun Minji, Kai jarang sekali bertemu gadis itu. Kai sudah menjelaskan keikutsertaanya dalam klub bertarung D.O dan gadis itu memakluminya.
"Oh ya, aku menemukan ini di depan kamar kita tadi." D.O mengeluarkan amplop merah dari sakunya.
Kai menelan ludah. Sudah lewat dua minggu semenjak bertemu kawanan itu dan akhirnya mereka menampakkan diri lagi. Kai menerima surat itu dengan berat hati dan membaca isinya. Matanya melotot begitu membaca isi surat itu.
"Tidak!" Kai menggertakkan gigi dengan geram begitu selesai membaca isi surat itu. Ia segera mengambil ponselnya dan mengetik-ngetik.
"Ada apa?" Tanya D.O.
Kai tidak menjawab D.O. Ia mengangkat ponselnya ke telinga dan menunggu. Tidak ada jawaban.
"Sial! Sial!" Geram Kai.
"Ada apa sih?" Tanya D.O penasaran. Ia menarik surat dari tangan Kai dan membaca isinya. ".. Menculik Minji? Benda itu? Dari siapa ini? Jangan-jangan orang iseng?"
"Tidak, bukan iseng." Kai menggertakkan gigi. "Mereka orang-orang yang mengeroyokiku waktu itu."
Setelah panggilan kedua tidak diangkat, Kai langsung berlari keluar. Ia tidak dapat memikirkan hal lain selain kalimat-kalimat di surat itu.
'Kalau kau ingin gadismu selamat,'
Kai menggertakkan gigi. Minji... Apakah gadis itu baik-baik saja?
'Bawalah benda itu padaku.'
***
"Sooman ssi! Buka pintunya!" Kai menggedor pintu bambu Sooman dengan tak sabar. Sooman membuka pintu beberapa saat kemudian.
"Apa yang.." Sooman berhenti berkata, "Kau..." Laki-laki paruh baya itu tidak sedang melihat pada Kai, melainkan pada sesuatu di belakang Kai.
Kai menoleh. Ia benar-benar terkejut dan tidak sedikitpun menyadari kehadiran dua orang berbadan besar di belakangnya. Kini, kedua lelaki itu tidak datang dengan tangan kosong lagi, melainkan dengan pistol mengacung ke arah Kai dan Sooman.
"Bos kami akan datang beberapa saat lagi," Kata salah seorang dari mereka, tersenyum keji.
Hanya perlu sedikit waktu ketika sebuah mobil limusin beserta beberapa mobil dan sepeda motor yang mengawal datang. Ada belasan laki-laki berbadan besar keluar dari mobil pengawal. Dari mobil limusin, keluarlah laki-laki kurus yang Kai temui di kebun binatang dan seorang laki-laki berbadan besar lainnya yang menahan tubuh seorang gadis. Minji. Minji memberontak selama beberapa saat, namun berhenti dan tidak dapat menyembunyikan wajah kebingunannya saat melihat Kai.
"Ya, ya, kami sudah datang dan menahan pacarmu yang manis ini," Kata laki-laki kurus. "Berikan benda itu."
"Di mana bosmu?" Tanya Kai. Kai tahu benar dari lagaknya bahwa laki-laki itu pastilah asisten pribadi sang bos dan bos sedang berada di limusin.
"Kau tak perlu tahu." Kata laki-laki kurus itu.
"Ya, aku perlu tahu!" Bentak Kai. "Aku perlu tahu pembunuh orangtuaku!"
"Benar," Sebuah suara datang dari belakang laki-laki kurus itu. Seorang laki-laki tua baru saja turun dari limusin dan ia melangkah ke depan Kai. "Kau perlu tahu pembunuh orangtuamu yang lemah." Laki-laki itu tersenyum, memamerkan gigi kuningya yang tak berubah.
"Kau…" Gerakan Kai dihentikan oleh acungan pistol dari berbagai tempat.
"Berhenti," Suara Sooman menggelegar dari belakang Kai, "Aku yang menjaga benda itu, akan kuantarkan kau ke sana, Sobo."
Sobo tersenyum keji, "Lee Sooman,eh? Rupanya ada guardian yang masih hidup?" Laki-laki tua itu berjalan melalui Kai mengikuti Sooman masuk ke dalam rumahnya.
Kai masuk bersamaan dengan laki-laki yang menyandera Minji.
"Jadi mereka laki-laki yang kalah bertarung?" Tanya Minji di sebelahnya.
"Minji, maafkan aku.. Aku.." Kai benar-benar tidak tahu apa yang harus ia katakan. Karena dirinyalah Minji harus terlibat hal seperti ini.
Lee Sooman mengantarkan Sobo memasuki rumahnya menuju gudang penyimpanan. Gudang penyimpanan itu berisi puluhan peti dan kardus. Sooman bergerak menuju salah satu peti dan membukanya. Dari peti itu ia meraih sebuah liontin kecil. Kai masih mengingat setiap detail liontin itu. Setiap ukiran dan lekukannya. Semenjak kematian orang tuanya, Kai dan sahabat orang tuanya, Sooman, menjaga liontin itu mati-matian. Kai mengepalkan jari dengan perasaan marah.
Sebelum Sooman memyerahkan liontin itu, mereka sayup-sayup mendengar suara teriakan dan letusan pistol di luar gudang. Kai dan beberapa pengawal Sobo mengintip keluar dari gudang dan mendapati kekacauan parah di luar. Beberapa meter dari Kai, seorang pengawal roboh dengan luka tergaris di punggungnya. Beberapa pengawal mulai mundur dan tembakan mereka mengarah ke mana-mana.Sekitar selusin pemuda berlari, meloncat dan menyerang pengawal Sobo satu-satu. Butuh beberapa waktu sebelum Kai dapat mencerna situasi yang terjadi. Pemuda-pemuda itu ternyata adalah anggota klub bertarung. Kai dapat melihat dari sudut matanya bahwa Minji memanfaatkan keributan yang terjadi untuk menggigit lengan penyandera yang menahan lehernya. Entah kekuatan apa yang membuat gadis itu berhasil mendorong lenganlaki-laki besar itu yang memegang pistol. Dengan lincah gadis itu berlari ke arah Kai dan Kai menangkapnya, lalu berkelit untuk menghindari peluru yang ditembakkan oleh pengawal Sobo yang lain.
“Kai!” Soman memanggil. Ketika Kai menoleh, liontin telah meluncur ke arahnya. “Lari! Cepat!”
“Sialan kau Sooman!” Sobo mengancungkan pistolnya dan menembakkan pelurunya ke arah Sooman.
“Tidak!” Kai terkesiap. Ia ingin berlari dan memeriksa keadaan Sooman, tapi.. ia memandang liontin di genggamannya. Dia punya tugas lain. Kai menarik Minji keluar dari gudang penyimpanan. Melewati segerombolan pengawal yang roboh dan melewati mereka yang masih bertarung.
“TAHAN DIA!!!!” Teriak Sobo dari kejauhan.
Beberapa pengawal mulai membagi tugas, ada yang masih sibuk mempertahankan diri dari serangan anggota klub[ bertarung, ada yang berlari mengejar Kai. Ia berusaha melindungi Minji dan berkelit dari tembakan. Mereka amatir, pikir Kai. Tembakan mereka selalu dapat bisa ditebak arahnya sehingga Kai dapat menghindarinya dengan mudah. Tapi hujan peluru tak ada habis-haisnya. Di dekat pintu keluar, Kai menemukan sebuah tangga tersandar di dinding. Ia menggunakan tangga itu untuk mendorong sekelompok pengejarnya. Kai terus berlari hingga keluar dari rumah Sooman. Tepat di depan rumah Sooman, belasan tubuh pengawal telah tergeletak tak berdaya di jalan raya. Kai menoleh ke kanan dan ke kiri. Kemana ia harus pergi?
“Kim Jong-In,” Suara Sobo terdengar di belakang Kai, “jangan harap kau dapat lari dari aku!”
Tidak ada jalan lain. Ternyata Sobo cukup cepat untuk mengejarnya.
“Aku tidak akan lari.” Kata Kai pada akhirnya. Ia berbisik pada Minji, “Larilah.”
“Tidak mau.” Minji menggeleng.
“Kumohon.” Kai memejamkan mata memohon.
Minji menggeleng.
“Pacarmu tidak mau pergi ya?” Tanya Sobo. “Seperti ibumu yang bodoh yang rela mati bersama ayahmu.”
“Kai,” Minji berbisik pelan lalu menyodorkan suatu benda ke perut Kai. Setelah mengetahui apa benda itu Kai mengernyit bingung. “Aku mengambilnya dari pengawal yang mengejar tadi, gunakan ini!”
Kai mengangguk. Minji berlari menuju belokan beberapa meter dari Kai dan bersembunyi di sana. Kai menoleh pada Sobo. “Jangan menyertakan Minji, oke? Aku sendiri yang akan melawanmu, brengsek!”
“Aku tidak akan menyerangmu kalau kau memberikan benda itu padaku.” Kata Sobo menawarkan.
“Sayangnya aku tidak akan memberikannya padamu.” Ujar Kai tegas.
Kai berlari melompati mobil-mobil pengawal yang diparkir di depan. Sobo mengacungkan pistolnya dan mulai menembak Kai. Sobo pro. Kai tahu jelas bahwa laki-laki jahat itu telah menghabiskan separuh hidupnya menggunakan pistol untuk membunuh orang, seperti yang telah ia lakukan pada orang tua Kai. Namun Kai gesit dan ia mampu menghindari tembakan.
Kai juga telah mengangkat pistol yang ia terima dari Minji dan mulai menyerang Sobo. Awalnya Kai memiliki masalah dalam mengontrol pistolnya, ternyata perbedaan antar pistol kertas dan pistol asli sangatlah jauh. Namun akhirnya ia mulai terbiasa. Sobo berkelit beberapa kali, namun dalam usia yang sudah tidak mudah, gerakan Sobo lebih lambat di banding Kai, alhasil beberapa peluru Kai berhasil melukai lengan dan wajah Sobo. Setelah beberapa saat menyerang dan di serang, Kai bersembunyi di belakang salah satu mobil untuk mengecek jumlah peluru tersisa. Ternyata dewi keberuntungan sedang tidak berpihak padanya. Hanya tersisa satu peluru. Ia harus menggunakan peluru itu hati-hati.
Kai melompat keluar dan menghadapi Sobo yang ternyata juga sudah lelah berkelit dari serangan Kai. Mereka saling mengancungkan pistol dan saling bertatapan dengan dendam dan amarah berkobar. Dari raut wajahnya yang kaku, Kai dapat menebak bahwa pistol Sobo juga hanya menyisakan satu peluru. Mereka imbang. Namun, beberapa detik kemudian raut wajah Sobo yang kaku digantikan oleh wajah penuh kemenanga.
“Aku menang!” Serunya.
“Kai belakangmu!” Teriak Minji dari kejauhan.
Kai menoleh dan langsung berkelit menghindari serangan pengawal utama Sobo yang kurus. Laki-laki itu mengumpat-umpat dan membalikkan badan. “Sial! Ini karena kau gadis bodoh!” Ia sudah mengancungkan pistolnya dan Kai tahu apa yang akan laki-laki itu lakukan selanjutnya. Kai tidak dapat memikirkan hal lain lagi. Ia segera mengancungkan pistolnya dan menembak peluru terakhirnya ke arah laki-laki kurus itu sebelum laki-laki itu sempat menekan pelatuk pistolnya sendiri. Sobo menggunakan kesempatan ini mengarahkan mulut pistolnya ke arah Kai. Kai berkelit, namun peluru Sobo lebih cepat.
Kai terjatuh. Ia merasakan sakit luar biasa ketika peluru itu menembus kulit dan bersarang di perutnya. Telinganya seakan tuli seketika. Ia hanya dapat mendengar suara-suara teriakan. Penglihatannya juga menjadi kabur. Ia menangkap bayangan Sobo di depannya, lalu digantikan wajah Suho, lalu Minji, lalu kegelapan.
***
Tubuh kecil Kai ditarik ke belakang lalu di angkat melewati lorong gelap itu. Sayup-sayup Kai dapat mendengar suara-suara letusan, tapi makin lama suara letusan itu hilang. Seseorang yang menggendongnya menaiki tangga dan keluar dari sebuah lubang di toko kecil yang memiliki cahaya redup
“Eomma, Appa!” Kai memberontak di lengan orang yang menggendongnya.
“Sst… tenanglah Jong-In,” Orang itu menurunkan Kai kecil dari gendongannya. Kini Kai dapat melihat laki-laki berkacamata yang menggendongnya, “namaku Lee Sooman, dan aku yang akan merawatmu kelak, oke?”
“Aku tidak kenal kau! Eomma bilang aku tidak boleh pergi dengan sembarang orang!” Kai melawan.
“Benar, dan aku bukan sembarang orang!”
***
“Kai! Kau bangun! Syukurlah Tuhan!” Kalimat itu segera menyambut Kai yang baru saja membuka matanya. Ia mengerjap beberapa kali dan meneliti sekitarnya.Ia telah berada di rumah sakit. Minji, D.O, Suho dan hampir semua anggota klub, bahkan yang Kai tidak begitu kenal telah mengelilingi ranjang Kai.
“Apa yang terjadi?” Tanya  Kai. Ia mengamati perban yang tergulung di tubuhnya. “Di mana Sobo? Dan kalian… bagaimana kalian bisa berada di…?”
D.O lah yang menjawab semua pertanyaan dari Kai. Ia menceritakan bagaimana D.O merasa akan adanya bahaya pada Kai dan ia mengajak seluruh anggota klub membuntuti Kai. Tentang Sobo, laki-laki tua itu ditangkap polisi yang dipanggil Kris, salah satu senior klub. Tentang liontin, polisi mengamankan liontin itu. Pasukan peneliti menemukan sebuah kunci di dalam padatan liontin dan mereka masih dalam tahap penyelidikan terhadap gembok dari kunci itu. Beberapa dari peneliti menebak bahwa kunci itu adalah kunci dari brangkas yang berisikan senjata mematikan. Kai dapat mencerna semua informasi kecuali informasi mengenai Sooman.
“Maaf, Kai.” D.O memandang ke semuua anggota klub dan meminta dukungan, “Dokter tidak berhasil menyelamatkan Sooman Ahjussi.”
***
Proses pemakaman Sooman berlangsung beberapa hari kemudian. Kai dapat menghadiri pemakaman itu dengan perban masih membungkus tubuhnya. Beberapa anggota klub bertarung datang ke upacara pemakaman Sooman dan memberikan ucapan turut berduka cita pada Kai.
“Aku sungguh berterima kasih pada kalian,” Ucap Kai pada seluruh anggota klub seusai pemakaman, “kurasa aku sudah tidak selamat kalau tidak ada kalian.
Semua anggota mengangguk.
“Itu gunanya teman.” D.O mengedip.
Setelah itu, semua anggota klub pulang dan meninggalkan Kai dan Minji berdua. Kai mengajak Minji pergi ke taman yang sering mereka kunjungi.
Ayunan, jungkat-jungkit, bak pasir, dan bangku taman masih berada di sana tanpa mengalami perubahan. Ya, tak ada yang berubah. Hanya satu hari lain dengan Kai tanpa perasaan takut terhadap Sobo. Satu hari lain dimana Kai benar-benar kehilangan pelindung sekaligus orang yang telah membesarkannya.
“Aku tahu kau masih tidak menerima kematian Sooman Ahjussi.” Kata Minji.
Mereka berdua duduk di ayunan dan menggoyang pelan ayunan itu. Hari masih siang taman itu sepi. Anak-anak kecil pasti masih berada di sekolah.
“Ya,” Kai mengangguk, “walau kadang dia menyebalkan, dia satu-satunya orang yang menjagaku semenjak orang tuaku meninggal.” Kai memejamkan mata. Sooman, ibu, ayahnya, semua telah meninggalkan Kai. Semua meninggal demi liontin itu. Semua meninggal karena Sobo.
Minji dan Kai  terdiam beberapa lama. Menikmati desiran angin yang berhembus di antara mereka.
“Kau ingat saat pertama kali kita ketemu?” Tanya Minji akhirnya.
“Ingat,” Kai mendengus, “kau hampir tertabrak sepedaku dan kau mengomel panjang lebar.”
Mereka berdua tertawa.
“Minji,” Kata Kai pelan, “tentang kejadian beberapa hari yang lalu, aku sungguh minta maaf telah melibatkanmu. Aku benar-benar tidak ingin kau…”
“Gwenchana, Kai. Yang penting aku selamat.” Sahut Minji enteng.
Kai menggeleng, “Kau hampir mati.”
“Dan nyatanya tidak.” Sahut Minji lagi.
“Minji,” Kai menoleh pada gadis itu, “kau tahu, kemarin itu bukan akhir dari segalanya. Selanjutnya aku akan ikut menyelidiki kunci itu dan…” Ia berhenti sebentar sebelum berkata, “aku benar-benar tidak ingin melibatkanmu dalam bahaya lagi.”
Minji mengernyit, “Apa maksudmu, Kai?”
“Song Minji, aku tidak akan memaksamu berpacaran denganku lagi.. Kau punya pilihan, kau punya hidup yang jauh lebih aman tanpa aku.” Kata Kai.
“Apa kau ingin kita putus?” Tanya Minji dengan suara pelan.
“Tidak, tentu saja tidak! Tapi, kita…” Kai menggeleng. “Kau punya pilihan lebih baik.”
“Ya! Kai! Kau ngomong apa sih? Dengarkan,” Minji menghela napas sebelum berkata dengan marah, “Aku memang punya dan aku telah memilih sendiri pilihanku. Aku mencintai seseorang yang telah melibatkanku pada bahaya, selamanya. Aku tidak peduli akan apa yang harus dia hadapi selanjutnya,” Minji menggertakan gigi dengan kesal, “atau mungkin orang itu yang telah berubah pikiran?” Kalimat terakhir diucapkan dengan sakratis.
Mendengar ucapan Minji, Kai mendengus. “Berubah pikiran?” Kai berdiri dan berlutut di depan Minji, “Yang benar saja!” Ia merengkuh wajah Minji dan menciumnya.

0 komenz: