Genre: Thriller/Action,
Romance
Length: One Shoot
Cast: Kai, Song Minji
Supporting Cast: D.O, Lee Sooman,
Suho, Baekhyun, Sehun, Chanyeol, Sobo, Kris
Nb: This is my second FF :) review pleasee! :P
Tubuh anak
kecil itu meringkuk ketakutan di dinding sebuah lorong gelap. Pipa-pipa air
menjalar di mana-mana memenuhi lorong. Air menetes dari pipa yang bocor dan
membuat tempat itu lembab dan berbau busuk. Dindingnya hanyalah tumpukkan
batuan serta kerikil yang ditimbun berantakan, sedangkan lantainya adalah
batu-batu dan tanah yang diselimuti lumut.
"Gyaa!!"
Sebuah jeritan menggema di lorong itu.
Anak kecil
yang meringkuk tadi berdiri dengan ketakutan. Tangan kanannya gemetaran
menyentuh benda di sakunya. "Eomma? Appa?"
Ia berjalan
perlahan-lahan dengan langkah kecil. Ketakutan dan setengah menangis menelusuri
lorong itu sambil meraba-raba dinding di sekitarnya sebagai petunjuk.
"Eomma?
Appa?" Ia berbisik memanggil lagi.
Akhirnya ia
sampai di ujung lorong. Jemarinya menyentuh selongsong besi yang berdiri di
depannya. Pintu. Dijulurkan tangannya setinggi yang ia bisa hingga mencapai
kenop pintu, lalu menariknya.
Di balik
pintu adalah ruangan besar yang dipenuhi cahaya terang. Dinding dan lantainya
putih. Lampu bersinar dari segala arah. Anak kecil itu baru saja akan memasuki
ruangan, namun langkahnya dihentikan oleh pemandangan mengerikan di dalam
ruangan. Sebuah tubuh tak berdaya terbaring di atas lantai dengan luka
menggangga di pelipisnya. Di sebelah tubuh itu, seorang laki-laki berdiri
dengan wajah ditutupi kacamata. Ketika menyadari kehadiran sang anak kecil,
laki-laki itu menoleh dan tersenyum sadis, memamerkan deretan gigi kuningnya.
Bibir kecil anak itu telah terbuka untuk berteriak, tetapi seseorang telah
lebih dahulu membungkam mulutnya dan menarik tubuhnya.
***
"Kai?
Kai?" Suara seorang gadis membangunkan Kai.
Kai membuka
matanya dan melihat cahaya matahari lembut dan pepohonan rimbun di atasnya. Di
sisi lain, sebuah wajah yang familier sedang menatapnya panik. Rambut panjang
ikalnya menggelitiki pipi Kai.
"Kau
mimpi buruk lagi ya?" Tanya gadis itu.
Kai
mengerjapkan matanya dan mengamati sekitarnya. Ia berada di taman yang sangat
ia kenali. Ayunan, jungkat jungkit dan bak pasir terletak tidak jauh dari
tempat Kai berada. Rupanya ia tertidur di pangkuan gadis itu di bangku taman.
"Oh
mianhae, Minji," Kai menekan sikunya, mengangkat tubuhnya agar terduduk.
Setelah duduk dengan benar, ia menggeleng pelan dan memijat pelipisnya.
"Kau
selalu mimpi buruk," Kata gadis bernama Minji itu dengan suara cemas.
"Tidak
apa, tenang saja." Kai menoleh pada Minji dan tersenyum lembut.
"Sudah berapa lama aku tertidur?"
Minji itu
menjulurkan tangan untuk melihat arlojinya. "Hampir setengah jam."
"Oh."
Hanya butuh
setengah jam baginya untuk mendapatkan mimpi itu. Kai sudah terlalu sering
mendapat mimpi yang sama dan semakin lama mimpi itu semakin terasa nyata. Hanya
saja, ketika terbangun dan melihat Minji di dekatnya, ketakutan dalam hatinya
sedikit demi sedikit menguap.
"Ehm,
aku harus pulang sebentar lagi." Kata Minji.
"Aku
antar." Ujar Kai langsung.
***
"Oke,
mari kita sambut teman kita yang baru saja pulang kencan!" Kalimat itu
menyambut Kai yang baru saja masuk ke dalam kamar kosnya.
Seorang
laki-laki duduk di tempat tidurnya menghadap bantal dan mengepalkan tangannya
ke bantal. Kai tidak menanggapi sambutan laki-laki itu.
"Oh,
kau sangat membosankan, Kai." Komentar laki-laki tadi. Ia menarik
tangannya dan mulai meninju bantalnya.
"Dan
kau sangat cerewet, D.O." Balas Kai. Laki-laki itu duduk di tempat
tidurnya, berbaring dengan lengan disandarkan.
"Postur
tubuhmu bagus buat jadi petarung," komentar D.O, berhenti meninju bantal
dan menatap Kai dengan sedikit iri, "kenapa tak mau ikut klub kami sih?
Kai
nyengir, "Ikut klub tinju bantal? Maaf deh, nggak tertarik."
D.O
menggeram. "Terserah kau sajalah." Laki-laki itu kembali meninju
bantalnya dengan kesal. Ia berhenti beberapa saat kemudian dan menepuk dahinya.
"Oh ya, baru ingat!" D.O menjulurkan jemarinya ke saku dan menarik
keluar sebuah amplop merah terang. "Ada surat untukmu! Nih! Sepertinya
surat cinta."
Kai
menerima amplop itu dengan hati mencelos. Ia tahu benar bahwa amplop itu bukan
surat cinta. Sudah lama sekali semenjak ia menerima amplop merah itu. Kai tahu,
ketika amplop itu datang, akan ada hal buruk terjadi.
***
Sejak
kedatangan amplop merah itu, Kai benar-benar tidak dapat fokus dalam melakukan
segala sesuatu. Hari-harinya hampir ia habiskan untuk melamun dan memikirkan
isi amplop itu. Kai sendiri bingung bagaimana dia dapat melakukan aktivitasnya.
Dia juga tidak dapat memberikan alasan yang tepat bagaimana ia dapat masuk ke
kelas yang tepat tanpa benar-benar sadar. Hanya ada beberapa waktu ketika
sedang menikmati makan siang maupun menikmati sore bersama Minji, Kai dapat
membuat dirinya fokus.
"Kai."
panggil Minji lembut, menyadarkan Kai dari lamunannya. Kai menoleh pada Minji
dan menaikan alisnya. Gadis itu tersenyum lembut. "Hari ini kita tidak ada
kelas sore, kita pergi kencan yuk?"
Butuh
beberapa saat bagi Kai untuk mencerna ajakan Minji. "Kencan? Ehm.."
"Kau
seperti punya masalah," Kata Minji menjelaskan, "sekali-sekali kau
juga perlu bersenang-senang… lagipula,” Minji berhenti sebelum melanjutkan,
“sudah lama kita tidak kencan.”
"Baiklah,”
Kai mengangguk lalu berdiri menarik Minji, "Ayo! Kita mau kemana?"
***
"Lihat,
lucu sekali!" Kata Minji menunjuk salah seekor monyet. "Mirip
kau!"
"Sepertinya
aku lebih tampan, deh." Kai membela diri.
"Masa?"
Minji menjulurkan lidahnya dan tertawa.
Hampir
selama beberapa saat Kai melupakan segala hal yang menganggunya. Senyum dan
tawa Minji selalu membuat dirinya tenang.
Mereka
sudah berjalan hampir mengelilingi seluruh penjuru kebun binatang. Kelelahan,
mereka berdua memutuskan untuk membeli minum di kios makanan ringan. Selagi
menunggu antrean, Minji pergi ke toilet. Setelah mendapatkan pesanan dua botol
Cola, Kai menunggu di sebelah kios itu. Ia mengamati sekitar dengan bosan.
Akhirnya ia memutuskan untuk mengeluarkan ponselnya, mencari-cari folder galeri
kameranya dan mengamati foto-foto Minji yang menghias di layarnya. Ada belasan
foto Minji bersama berbagai jenis binatang disana. Senyuman tulus gadis itu
membuat Kai ikut tersenyum. Ia sangat manis. Kai men-scroll gambar-gambar itu perlahan-lahan dan ia tak berhenti
tersenyum. Di tengah asyik melihat galeri foto di ponselnya, Kai merasa
seseorang sedang mengawasinya. Ia menoleh ke kanan-kiri, ke depan-belakang. Tak ada siapa-siapa. Akhirnya ia kembali
menatap layar ponselnya.
"Kai."
Panggil seseorang. Tapi bukan suara Minji yang memanggil, melainkan suara berat
laki-laki.
Kai
mengangkat wajahnya dan seketika itu juga hatinya mencelos. Di depannya berdiri
tiga orang laki-laki. Dua laki-laki di kanan dan kiri berbadan besar, sedangkan
laki-laki di tengah bertubuh kurus. Wajah ketiganya ditutupi kacamata hitam.
"Atau
lebih tepatnya, Kim Jong-In." Laki-laki di tengahlah yang berbicara. Ia meringis
dan tersenyum keji. "Kau tak dapat mengecohkan organisasi kami walaupun
telah mengganti namamu.”
Kai meremas
jemarinya yang sedang memegang kantung Cola.
"Ya,
aku tidak ke sini untuk berbasa-basi." Kata laki-laki itu. "Berikan
benda itu."
Kai
menggertakkan giginya. "Benda itu tidak ada padaku."
"Pembohong."
Ujung bibir laki-laki itu berkedut.
"Tidak,"
Kai memandang laki-laki itu tajam, "benda itu tidak ada padaku."
Laki-laki kurus
itu menoleh pada kedua laki-laki di sebelahnya, lalu ia nyengir, "aku
memintamu dengan baik-baik, tapi," Kedua laki-laki di sebelahnya melangkah
maju, "kalau kau tidak bisa diminta dengan baik-baik..."
Kai
melangkah ke depan dan mendorong tinjunya ke salah satu perut laki-laki besar
itu dan melemparkan kantung colanya ke laki-laki yang lain. Sebuah tinjuan
tambahan meluncur ke wajah laki-laki besar itu. Dengan lincah Kai mendorong
keduanya dengan siku dan ia bergerak maju untuk menyerang laki-laki kurus
ditengah. Namun, langkah Kai dihentikan ketika laki-laki di tengah itu
mengancungkan benda bewarna hitam ke arah Kai. Pistol.
Beberapa
pengunjung yang memperhatikan mulai ribut. Beberapa berteriak. Petugas keamanan
berlari menghampiri mereka, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain
bersikap waspada. Kai dapat melihat dari sudut matanya, beberapa petugas
diam-diam sedang menggunakan walkie-talkienya.
"Kau
tak akan membunuhku." Kata Kai berani.
"Kenapa
menurutmu begitu?" Tanya laki-laki itu.
“Kau tak
akan mendapatkan apa-apa dengan membunuhku.”
Mereka
berdua saling diam selama beberapa detik.
"Polisi!
Polisi datang!" Teriak seseorang di antara kerumunan pengunjung kebun
binatang.
"Sial."
Laki-laki kurus itu bergerak mundur diikuti dua kawannya. “Kita akan menemukannya,
Kim Jong-In!” Ia mengancungkan pistolnya para pengunjung dan petugas keamanan agar
mereka memberinya jalan.
Kai
menggertakkan gigi. Ia memungut cola yang terjatuh dan membuangnya ke tempat
sampah. Beberapa pengunjung masih bergerombol mengamati Kai dengan pandangan
ingin tahu.
"Kai!"
Suara Minji datang dari kerumunan. Gadis itu memeluk Kai. "Kau tak
apa-apa?"
Kai
mengusap puncak rambut Minji. "Tak apa. Tenang saja."
Minji
mengendurkan pelukannya dan ia menatap Kai, "Tadi, aku yang berteriak 'polisi'.
Sebenarnya mereka belum datang.”
Kai
terkekeh. Seperti biasanya, Minji yang dikenalnya adalah gadis lembut yang
pemberani.
Polisi
datang tidak lama kemudian. Kai dan Minji beserta beberapa saksi sukarelawan
diinterogerasi di kantor polisi hingga malam. Polisi menganggap Kai adalah
korban dalam kekacauan hari itu dan ia melepaskan Kai.
Setelah
mengantarkan Minji sampai ke rumah, Kai segera membuka ponselnya dan menelpon
seseorang. Ia memasang hoddie sweaternya untuk menutupi wajahnya dan melesat
pergi. Bukan kembali ke kos-kosannya, melainkan ke rumah yang menjadi tempat
terakhir yang ingin ia kunjungi.
***
Kai menatap
pintu bambu di depannya dengan gelisah. Ia benci tempat itu. Ia benci rumah
kecil bermodel Jepang yang sedang ia kunjungi itu. Tapi ia harus bertemu dengan
penghuninya. Beberapa detik setelah Kai memutuskan untuk menggedor pintu bambu
rumah itu, penghuninya membukakan pintu. Seorang laki-laki separuh baya dengan
rambut hitam lebat dan kacamata persegi bertengger di hidungnya keluar.
"Kau rupanya?"
Laki-laki itu mengernyit bingung. Ia menoleh ke kanan-kiri dan setelah memastikan tidak ada
siapa-siapa di sana, dengan cepat ia menarik Kai masuk. Mereka berdua masuk ke
ruang tamu. Ruang tamu it bermodel Jepang. Lantainya dari bambu yang disusun
sejajar. Ada dua bantal tipis mengeliling meja persegi dan ada teko teh beserta
cangkir-cangkir kecilnya yang menghiasi meja.
Kai dan laki-laki
itu duduk berhadapan
"Jadi,
kenapa kau ke sini?" Tanya laki-laki itu sembari membalikkan cangkir dan
menuangkan isi teko ke cangkir.
"Soo-man
ssi.." Kai mengepalkan tangan, "Mereka menemuiku."
Soo-man
berhenti menuangkan teh ke cangkir. Ia meletakkan teko ke tempatnya.
"Mereka menemuimu?"
"Ne,"
Kai memejamkan mata, menceritakan setiap detail pertemuannya dengan kawanan itu
di kebun binatang.
"Oh."
Sooman mengangguk singkat.
"Aku
ingin memastikan.. Apa ‘benda itu’ aman?" Kai bertanya dengan ragu-ragu.
Sooman
menaikkan alisnya, "Kau meragukan tempat penyimpananku?" Kai tidak
menjawab. "Selama benda itu berada di aku, mereka tidak akan
mendapatkannya."
"Tapi
mereka menemukan aku!" Kai berkeras.
"Itu
karena kau sangat ceroboh!" Soo-man berbicara dengan suara lebih keras.
"Kau bahkan tidak menyadari penyadap yang mereka pasang di lengan
bajumu."
Kai mengangkat
lengannya dan mencari-cari
"Aku
sudah mengambilnya saat menarikmu tadi." Kata Sooman. Laki-laki paruh baya
itu meneguk tehnya sebelum berkata, "Itu berarti mereka tahu bahwa ‘benda
itu’ tidak ada padamu. Tapi mereka juga sangat gegabah. Menunjukkan diri di
khayalak bukanlah pilihan bijaksana. Mereka sedangterburu-buru."
"Terburu-buru?"
Tanya Kai. Alih-alih menjawab, Sooman meneguk tehnya sambil berpikir.
"Sebenarnya, apa yang mereka inginkan dari benda itu?"
Sooman
menggeleng. "Entahlah, aku, dan bahkan orang tuamu tidak pernah tahu
fungsinya. Kami hanya guardian - penjaga."
Kai hanya
diam. Jadi selama ini orang tuanya menjaga benda bahkan hingga rela mati demi
benda itu itu tanpa mengetahui fungsinya?
"Dan
Kai.. Jangan pernah kemari lagi jika tidak perlu.” Kata Sooman tegas. “Kalau
mereka dapat menemukanmu di kebun binatang dengan mudah, berarti mereka
mengawasimu. Mungkin hari ini mereka tidak dapat melacakmu karena kau baru saja
dari kepolisian, tapi tidak suatu hari nanti."
***
Hampir
seminggu sejak pertemuan Kai dengan orang-orang itu. Apa yang dikatakan Sooman
benar. Walaupun tidak bertemu dengan mereka, Kai selalu merasa bahwa seseorang
sedang mengawasinya. Baik saat ia sedang di kampus, di mall, di jalan-jalan,
maupun saat ia sedang bersama Minji di taman. Mereka baru menunjukkan diri di
akhir pekan ketika Kai akan memasuki gedung kos-kosannya.
"Ada
jadwal tersendiri ya buat menemuiku?" Kai mendengus. Ia membalikkan badan
dan mendapati setengah lusin laki-laki bertubuh besar berdiri. "Mau
menempelkan penyadap lagi?"
"Beritahu
kami dimana benda itu." Kata salah seorang dari mereka.
Kai
nyengir, "Carilah di pantatmu, bung! Kau akan menemukannya."
"Cepat
beritahu kami!" Bentak laki-laki paling tinggi. Kai hanya membalasnya
dengan cengiran. Laki-laki itu berlari menyerang Kai. Walaupun lebih besar dan
lebih kuat, Kai lebih lincah dan ia berhasil memiting laki-laki itu dengan
mudah dan mendorongnya menjauh. Perlahan-lahan satu persatu dari merekamulai
menyerbu. Awalnya Kai dapat mempertahankan dirinya, namun jumlah mereka terlalu
banyak. Ia merasakan tonjokkan mendarat di pipinya dan ia tidak dapat bergerak
beberapa saat. Salah seorang dari mereka memegang lengannya, sedang yang lain
meninju perut Kai. Kai benar-benar tidak ingat apa yang terjadi setelah itu. Ia
hanya melihat bayangan kabur D.O sekilas dan setelah itu pandangannya lenyap.
Saat
terbangun, Kai sudah berada di tempat tidur kamar kosnya. Di sebelahnya, Minji
dan D.O memandangnya dengan cemas.
"Apa
yang ter.." Kai mendorong sikunya untuk duduk, tapi luka membuat ia
terjatuh kembali.
"Istirahatlah."
Kata Minji lembut. Ia menatap Kai cemas. "Bagaimana keadaanmu?"
"Aku
tidak tahu." Kai menyentuh pelipisnya. Ada kapas yang melekat di sana.
"Apa yang terjadi? Kenapa kau disini, Minji?"
"Apa
yang terjadi?" D.O mendengus, "Seharusnya kami yang bertanya! Aku dan
beberapa teman klubku menemukanmu ditonjok banyak laki-laki berbadan besar di
depan gedung kos. Kami menghabisi mereka semua!" D.O mengucapkan kalimat
terakhir dengan bangga. "Teman klubku pulang beberapa saat yang lalu, dan
soal Minji, aku yang menelponnya untuk merawat lukamu. Tante kos tidak ada di
kos.”
"Apa
yang terjadi Kai? Apa mereka laki-laki di kebun binatang?" Tanya Minji
khawatir.
"Bukan
siapa-siapa. Hanya orang-orang yang kalah bertarung." Kata Kai.
"Kau
juga menyebut laki-laki di kebun binatang seperti itu!" Minji memprotes.
"Ya,
lawanku 'kan macam-macam." Kai menjawab dengan acuh.
Minji
memutar matanya, "Baiklah, siapapun mereka, polisi sedang mencarinya. Ya,
kami melapor pada polisi!" Minji menambahkan kalimat terakhir sebagai
jawaban dari wajah bingung Kai. "Kau istirahatlah, aku ada kelas sebentar
lagi. Istirahat! D.O akan menjadi mataku." Minji melempar pandangan
memerintah pada D.O yang dibalas cengiran, lalu gadis itu berpamitan pada mereka
berdua untuk pergi.
"Sial."
Kai menggeram, ia menoleh pada D.O. "Kau tak 'kan menuruti keinginannya
'kan?
"Apa?
Aku sudah menjadi matanya." D.O mengangkat bahu.
"Ayolah,
D.O, aku tidak bisa istirahat terus! Ada yang harus kulakukan hari ini!"
Ujar Kai.
D.O kembali
ke tempat tidurnya tidak menggubris Kai.
"Baiklah,
begini, kalau kau membantuku, aku akan masuk klubmu." Kata Kai.
D.O
menoleh, ia berpikir sejenak sebelum bertanya, "Memang apa sih
maumu?"
***
Minji
sedang berbaring di tempat tidurnya dengan gelisah. Pikirannya terus menerus
dipenuhi oleh Kai. Apakah laki-laki itu baik-baik saja? Ia ingin menelpon, tapi
takut menganggu laki-laki itu beristirahat. Sebelum pulang ke rumah, ia sudah
menitipkan banyak makanan dan obat-obatan pada D.O, tapi itu tidak mengurangi
kecemasannya. Di tengah mencemaskan Kai, tiba-tiba ponsel di sebelahnya
berbunyi. Ia meraih ponsel itu. Kai.
"Yoboseyo?
Kenapa masih bangun sampai selarut ini?!" Protes Minji.
"Kau
sendiri kenapa masih bangun?" Tanya Kai di sebrang.
Minji terdiam
cukup lama sebelum menjawab, "Aku mencemaskanmu."
Kai
mendengus di sebrang. "Luka dan pukulan itu temanku, kau tak perlu
cemas."
"Tapi..."
"Jangan
bahas itu. Lihatlah keluar." Kata Kai.
"Mwo?"
Minji berdiri dari tempat tidurnya. "Lihat keluar untuk apa?"
"Lakukan
saja." Ujar Kai di sebrang.
Minji
melangkah ke dekat jendela. Ia menyibakkan gorden dan mendorong jendela itu
hingga terbuka. Kamar Minji berada di lantai dua. Di bawahnya hanya ada jalanan
kecil. DMinji melongok keluar dan ke bawah. Hanya hamparan kosong malam yang
menyambutnya.
"Ada
apa sih..." Minji berhenti bertanya. Sebuah benda persegi berwarna kuning
terang perlahan-lahan melayang ke atas. Satu-dua-tiga.. Belasan lampion
melayang satu persatu ke atas. Ada bewarna-warni lampion, dari kuning, merah,
biru hingga hijau. Tapi yang paling mencolok adalah goresan hitam di setiap
lampion. Ketika lampion itu sudah berada cukup dekat, Minji menyadari bahwa
ternyata itu bukan hanya goresan, melainkan tulisan.
"Saeng..
Il.. Chuk... Ha.. Hae.. Yo.. Nae.. Sa.. Rang.. Ha.. Neun.. Nae.. Min..
Ji.." Minji menutup mulutnya. Ia hampir saja melupakan ulang tahunnya
karena kecemasannya terhadap Kai. Butuh waktu sesaat sebelum Minji mengeluarkan
suara."Kai.. Ini.." Gadis itu melongok ke bawah. Sosok Kai terlihat
di bawah penerangan lampion yang akan diluncurkan berikutnya.
Kai
mengangkat wajahnya dan tersenyum."Selamat ulang tahun, Minji." Ia
meluncurkan lampion tersebut, "Aku mencintaimu." Dan Kai mulai
menyanyi di sebrang. Suaranya yang indah melantun di malam yang sepi. Selesai
bernyanyi Kai berkata, "Maaf, aku ingin membawakan kue tart dan menemuimu,
tapi aku tidak mau menganggu orang tuamu."
"Apa
yang kau katakan, sih?" Minji tidak dapat menahan air matanya keluar,
"Kai, ini adalah kejutan paling indah!"
***
Kai
menepati janjinya. Setelah memar dan lukanya pulih, ia ikut ke tempat latihan klub
milik D.O. Tempat latihan itu berada di gudang bawah di belakang kampus Kai. Ruangan
latihan itu cukup luas dan dapat menampung berpuluh-puluh orang. Ada ring tinju
dan bantal tinju di salah satu sisi ruangan. Sarung tinju tergeletak di
mana-mana. Ada pula dashboard panah dan alat-alat untuk memperkuat otot
lainnya. Namun yang paling menarik bagi Kai adalah rak besar dari kaca yang
tergantung di dinding dan memamerkan berbagai jenis senjata dari panah, kapak,
pisau hingga tombak. Anggota klub itu ada sekitar selusin. Kai selalu mengira
klub bertarung D.O membosankan, namun ia menjadi ketagihan di hari pertama
latihan.
Hari-hari
berikutnya, Kai tidak pernah absen datang ke klub. Ia juga mulai mengenal
anggota-anggotanya. Ia juga akrab dengan beberapa anggota seperti Suho
-seniornya, Baekhyun, Chanyeol, dan yang termuda, Sehun.
"Bagaimana
caranya menghindari peluru?" Tanya Kai pada Suho suatu hari ketika Suho
sedang membersihkan ujung tombaknya.
"Peluru
pistol?" Tanya Suho. Kai mengangguk. "Peluru hanya bisa dihindari
dengan kecepatan," Suho menjelaskan sambil masih mengelap ujung tombaknya,
"Kau harus pandai berkelit dan memperhatikan arah angin. Kau juga harus
mengenal orang yang menarik pelatuknya, harus tahu apakah dia pro atau tidak.
Kebanyakan amatir akan menyerang lurus dan dapat diprediksi, kau dapat berkelit
dengan mudah jika kau cepat." Suho meletakkan tombaknya dan mengangkat
wajahnya menatap Kai, "Tapi, pro memiliki gerakan yang sulit diprediksi.
Untuk apa kau bertanya tentang ini?"
"Tidak
untuk apa-apa." Jawab Kai cepat. "Aku hanya penasaran, apakah tidak
ada latihan untuk menghindari peluru?"
Suho
berpikir-pikir sejenak sebelum berkata, "Ada, kalau kau ingin, aku bisa
melatihmu dengan pistol kertas." Suho membuka rak senjata. Ia menarik
tonjolan di dasar rak. Sebuah pistol kecil tergeletak di sana. "Tapi kita
hanya bisa melakukan ini dengan rahasia."
Beberapa
hari kemudian, Kai mulai berlatih menghindari peluru kertas dengan Suho. Mereka
berlatih ketika semua anggota klub telah pulang. Pistol kertas Suho melemparkan
gumpalan kertas kecilnamun dengan kecepatan sangat tinggi. Butuh beberapa hari
sebelum Kai benar-benar menguasai betul teknik menghindarinya. Kai juga belajar
menggunakan pistol walaupun ia tidak yakin ia akan menggunakan benda aslinya.
Beberapa
anggota mulai penasaran apa yang Kai dan Suho sering lakukan berdua.
"Kau
masih normal 'kan?" Goda D.O suatu hari, "Bahkan kau bertemu Suho
hyeong lebih sering ketimbang Minji."
"Tentu
saja aku normal!" Protes Kai.
Namun yang
dikatan D.O memang benar. Sejak hari ulang tahun Minji, Kai jarang sekali
bertemu gadis itu. Kai sudah menjelaskan keikutsertaanya dalam klub bertarung
D.O dan gadis itu memakluminya.
"Oh
ya, aku menemukan ini di depan kamar kita tadi." D.O mengeluarkan amplop
merah dari sakunya.
Kai menelan
ludah. Sudah lewat dua minggu semenjak bertemu kawanan itu dan akhirnya mereka
menampakkan diri lagi. Kai menerima surat itu dengan berat hati dan membaca
isinya. Matanya melotot begitu membaca isi surat itu.
"Tidak!"
Kai menggertakkan gigi dengan geram begitu selesai membaca isi surat itu. Ia
segera mengambil ponselnya dan mengetik-ngetik.
"Ada
apa?" Tanya D.O.
Kai tidak
menjawab D.O. Ia mengangkat ponselnya ke telinga dan menunggu. Tidak ada
jawaban.
"Sial!
Sial!" Geram Kai.
"Ada
apa sih?" Tanya D.O penasaran. Ia menarik surat dari tangan Kai dan
membaca isinya. ".. Menculik Minji? Benda itu? Dari siapa ini?
Jangan-jangan orang iseng?"
"Tidak,
bukan iseng." Kai menggertakkan gigi. "Mereka orang-orang yang
mengeroyokiku waktu itu."
Setelah
panggilan kedua tidak diangkat, Kai langsung berlari keluar. Ia tidak dapat
memikirkan hal lain selain kalimat-kalimat di surat itu.
'Kalau kau
ingin gadismu selamat,'
Kai
menggertakkan gigi. Minji... Apakah gadis itu baik-baik saja?
'Bawalah
benda itu padaku.'
***
"Sooman
ssi! Buka pintunya!" Kai menggedor pintu bambu Sooman dengan tak sabar.
Sooman membuka pintu beberapa saat kemudian.
"Apa
yang.." Sooman berhenti berkata, "Kau..." Laki-laki paruh baya
itu tidak sedang melihat pada Kai, melainkan pada sesuatu di belakang Kai.
Kai
menoleh. Ia benar-benar terkejut dan tidak sedikitpun menyadari kehadiran dua
orang berbadan besar di belakangnya. Kini, kedua lelaki itu tidak datang dengan
tangan kosong lagi, melainkan dengan pistol mengacung ke arah Kai dan Sooman.
"Bos
kami akan datang beberapa saat lagi," Kata salah seorang dari mereka,
tersenyum keji.
Hanya perlu
sedikit waktu ketika sebuah mobil limusin beserta beberapa mobil dan sepeda
motor yang mengawal datang. Ada belasan laki-laki berbadan besar keluar dari
mobil pengawal. Dari mobil limusin, keluarlah laki-laki kurus yang Kai temui di
kebun binatang dan seorang laki-laki berbadan besar lainnya yang menahan tubuh
seorang gadis. Minji. Minji memberontak selama beberapa saat, namun berhenti
dan tidak dapat menyembunyikan wajah kebingunannya saat melihat Kai.
"Ya,
ya, kami sudah datang dan menahan pacarmu yang manis ini," Kata laki-laki
kurus. "Berikan benda itu."
"Di
mana bosmu?" Tanya Kai. Kai tahu benar dari lagaknya bahwa laki-laki itu
pastilah asisten pribadi sang bos dan bos sedang berada di limusin.
"Kau
tak perlu tahu." Kata laki-laki kurus itu.
"Ya,
aku perlu tahu!" Bentak Kai. "Aku perlu tahu pembunuh orangtuaku!"
"Benar,"
Sebuah suara datang dari belakang laki-laki kurus itu. Seorang laki-laki tua
baru saja turun dari limusin dan ia melangkah ke depan Kai. "Kau perlu
tahu pembunuh orangtuamu yang lemah." Laki-laki itu tersenyum, memamerkan
gigi kuningya yang tak berubah.
"Kau…"
Gerakan Kai dihentikan oleh acungan pistol dari berbagai tempat.
"Berhenti,"
Suara Sooman menggelegar dari belakang Kai, "Aku yang menjaga benda itu,
akan kuantarkan kau ke sana, Sobo."
Sobo
tersenyum keji, "Lee Sooman,eh? Rupanya ada guardian yang masih
hidup?" Laki-laki tua itu berjalan melalui Kai mengikuti Sooman masuk ke
dalam rumahnya.
Kai masuk
bersamaan dengan laki-laki yang menyandera Minji.
"Jadi
mereka laki-laki yang kalah bertarung?" Tanya Minji di sebelahnya.
"Minji,
maafkan aku.. Aku.." Kai benar-benar tidak tahu apa yang harus ia katakan.
Karena dirinyalah Minji harus terlibat hal seperti ini.
Lee Sooman
mengantarkan Sobo memasuki rumahnya menuju gudang penyimpanan. Gudang
penyimpanan itu berisi puluhan peti dan kardus. Sooman bergerak menuju salah
satu peti dan membukanya. Dari peti itu ia meraih sebuah liontin kecil. Kai
masih mengingat setiap detail liontin itu. Setiap ukiran dan lekukannya.
Semenjak kematian orang tuanya, Kai dan sahabat orang tuanya, Sooman, menjaga
liontin itu mati-matian. Kai mengepalkan jari dengan perasaan marah.
Sebelum
Sooman memyerahkan liontin itu, mereka sayup-sayup mendengar suara teriakan dan
letusan pistol di luar gudang. Kai dan beberapa pengawal Sobo mengintip keluar
dari gudang dan mendapati kekacauan parah di luar. Beberapa meter dari Kai,
seorang pengawal roboh dengan luka tergaris di punggungnya. Beberapa pengawal
mulai mundur dan tembakan mereka mengarah ke mana-mana.Sekitar selusin pemuda
berlari, meloncat dan menyerang pengawal Sobo satu-satu. Butuh beberapa waktu
sebelum Kai dapat mencerna situasi yang terjadi. Pemuda-pemuda itu ternyata adalah
anggota klub bertarung. Kai dapat melihat dari sudut matanya bahwa Minji
memanfaatkan keributan yang terjadi untuk menggigit lengan penyandera yang
menahan lehernya. Entah kekuatan apa yang membuat gadis itu berhasil mendorong
lenganlaki-laki besar itu yang memegang pistol. Dengan lincah gadis itu berlari
ke arah Kai dan Kai menangkapnya, lalu berkelit untuk menghindari peluru yang
ditembakkan oleh pengawal Sobo yang lain.
“Kai!”
Soman memanggil. Ketika Kai menoleh, liontin telah meluncur ke arahnya. “Lari!
Cepat!”
“Sialan kau
Sooman!” Sobo mengancungkan pistolnya dan menembakkan pelurunya ke arah Sooman.
“Tidak!”
Kai terkesiap. Ia ingin berlari dan memeriksa keadaan Sooman, tapi.. ia
memandang liontin di genggamannya. Dia punya tugas lain. Kai menarik Minji
keluar dari gudang penyimpanan. Melewati segerombolan pengawal yang roboh dan
melewati mereka yang masih bertarung.
“TAHAN DIA!!!!”
Teriak Sobo dari kejauhan.
Beberapa
pengawal mulai membagi tugas, ada yang masih sibuk mempertahankan diri dari
serangan anggota klub[ bertarung, ada yang berlari mengejar Kai. Ia berusaha
melindungi Minji dan berkelit dari tembakan. Mereka amatir, pikir Kai. Tembakan mereka selalu dapat bisa ditebak
arahnya sehingga Kai dapat menghindarinya dengan mudah. Tapi hujan peluru tak
ada habis-haisnya. Di dekat pintu keluar, Kai menemukan sebuah tangga tersandar
di dinding. Ia menggunakan tangga itu untuk mendorong sekelompok pengejarnya.
Kai terus berlari hingga keluar dari rumah Sooman. Tepat di depan rumah Sooman,
belasan tubuh pengawal telah tergeletak tak berdaya di jalan raya. Kai menoleh
ke kanan dan ke kiri. Kemana ia harus pergi?
“Kim
Jong-In,” Suara Sobo terdengar di belakang Kai, “jangan harap kau dapat lari
dari aku!”
Tidak ada
jalan lain. Ternyata Sobo cukup cepat untuk mengejarnya.
“Aku tidak
akan lari.” Kata Kai pada akhirnya. Ia berbisik pada Minji, “Larilah.”
“Tidak
mau.” Minji menggeleng.
“Kumohon.”
Kai memejamkan mata memohon.
Minji
menggeleng.
“Pacarmu
tidak mau pergi ya?” Tanya Sobo. “Seperti ibumu yang bodoh yang rela mati
bersama ayahmu.”
“Kai,”
Minji berbisik pelan lalu menyodorkan suatu benda ke perut Kai. Setelah
mengetahui apa benda itu Kai mengernyit bingung. “Aku mengambilnya dari
pengawal yang mengejar tadi, gunakan ini!”
Kai mengangguk.
Minji berlari menuju belokan beberapa meter dari Kai dan bersembunyi di sana.
Kai menoleh pada Sobo. “Jangan menyertakan Minji, oke? Aku sendiri yang akan
melawanmu, brengsek!”
“Aku tidak
akan menyerangmu kalau kau memberikan benda itu padaku.” Kata Sobo menawarkan.
“Sayangnya
aku tidak akan memberikannya padamu.” Ujar Kai tegas.
Kai berlari
melompati mobil-mobil pengawal yang diparkir di depan. Sobo mengacungkan
pistolnya dan mulai menembak Kai. Sobo pro. Kai tahu jelas bahwa laki-laki
jahat itu telah menghabiskan separuh hidupnya menggunakan pistol untuk membunuh
orang, seperti yang telah ia lakukan pada orang tua Kai. Namun Kai gesit dan ia
mampu menghindari tembakan.
Kai juga
telah mengangkat pistol yang ia terima dari Minji dan mulai menyerang Sobo.
Awalnya Kai memiliki masalah dalam mengontrol pistolnya, ternyata perbedaan
antar pistol kertas dan pistol asli sangatlah jauh. Namun akhirnya ia mulai
terbiasa. Sobo berkelit beberapa kali, namun dalam usia yang sudah tidak mudah,
gerakan Sobo lebih lambat di banding Kai, alhasil beberapa peluru Kai berhasil
melukai lengan dan wajah Sobo. Setelah beberapa saat menyerang dan di serang,
Kai bersembunyi di belakang salah satu mobil untuk mengecek jumlah peluru
tersisa. Ternyata dewi keberuntungan sedang tidak berpihak padanya. Hanya
tersisa satu peluru. Ia harus menggunakan peluru itu hati-hati.
Kai
melompat keluar dan menghadapi Sobo yang ternyata juga sudah lelah berkelit
dari serangan Kai. Mereka saling mengancungkan pistol dan saling bertatapan
dengan dendam dan amarah berkobar. Dari raut wajahnya yang kaku, Kai dapat
menebak bahwa pistol Sobo juga hanya menyisakan satu peluru. Mereka imbang.
Namun, beberapa detik kemudian raut wajah Sobo yang kaku digantikan oleh wajah
penuh kemenanga.
“Aku
menang!” Serunya.
“Kai
belakangmu!” Teriak Minji dari kejauhan.
Kai menoleh
dan langsung berkelit menghindari serangan pengawal utama Sobo yang kurus.
Laki-laki itu mengumpat-umpat dan membalikkan badan. “Sial! Ini karena kau
gadis bodoh!” Ia sudah mengancungkan pistolnya dan Kai tahu apa yang akan
laki-laki itu lakukan selanjutnya. Kai tidak dapat memikirkan hal lain lagi. Ia
segera mengancungkan pistolnya dan menembak peluru terakhirnya ke arah
laki-laki kurus itu sebelum laki-laki itu sempat menekan pelatuk pistolnya
sendiri. Sobo menggunakan kesempatan ini mengarahkan mulut pistolnya ke arah
Kai. Kai berkelit, namun peluru Sobo lebih cepat.
Kai
terjatuh. Ia merasakan sakit luar biasa ketika peluru itu menembus kulit dan
bersarang di perutnya. Telinganya seakan tuli seketika. Ia hanya dapat
mendengar suara-suara teriakan. Penglihatannya juga menjadi kabur. Ia menangkap
bayangan Sobo di depannya, lalu digantikan wajah Suho, lalu Minji, lalu
kegelapan.
***
Tubuh
kecil Kai ditarik ke belakang lalu di angkat melewati lorong gelap itu. Sayup-sayup
Kai dapat mendengar suara-suara letusan, tapi makin lama suara letusan itu
hilang. Seseorang yang menggendongnya menaiki tangga dan keluar dari sebuah
lubang di toko kecil yang memiliki cahaya redup
“Eomma,
Appa!” Kai memberontak di lengan orang yang menggendongnya.
“Sst…
tenanglah Jong-In,” Orang itu menurunkan Kai kecil dari gendongannya. Kini Kai
dapat melihat laki-laki berkacamata yang menggendongnya, “namaku Lee Sooman,
dan aku yang akan merawatmu kelak, oke?”
“Aku
tidak kenal kau! Eomma bilang aku tidak boleh pergi dengan sembarang orang!”
Kai melawan.
“Benar,
dan aku bukan sembarang orang!”
***
“Kai!
Kau bangun! Syukurlah Tuhan!” Kalimat itu segera menyambut Kai yang baru saja
membuka matanya. Ia mengerjap beberapa kali dan meneliti sekitarnya.Ia telah
berada di rumah sakit. Minji, D.O, Suho dan hampir semua anggota klub, bahkan
yang Kai tidak begitu kenal telah mengelilingi ranjang Kai.
“Apa
yang terjadi?” Tanya Kai. Ia
mengamati perban yang tergulung di tubuhnya. “Di mana Sobo? Dan kalian…
bagaimana kalian bisa berada di…?”
D.O
lah yang menjawab semua pertanyaan dari Kai. Ia menceritakan bagaimana D.O
merasa akan adanya bahaya pada Kai dan ia mengajak seluruh anggota klub
membuntuti Kai. Tentang Sobo, laki-laki tua itu ditangkap polisi yang dipanggil
Kris, salah satu senior klub. Tentang liontin, polisi mengamankan liontin itu.
Pasukan peneliti menemukan sebuah kunci di dalam padatan liontin dan mereka
masih dalam tahap penyelidikan terhadap gembok dari kunci itu. Beberapa dari
peneliti menebak bahwa kunci itu adalah kunci dari brangkas yang berisikan
senjata mematikan. Kai dapat mencerna semua informasi kecuali informasi
mengenai Sooman.
“Maaf,
Kai.” D.O memandang ke semuua anggota klub dan meminta dukungan, “Dokter tidak
berhasil menyelamatkan Sooman Ahjussi.”
***
Proses
pemakaman Sooman berlangsung beberapa hari kemudian. Kai dapat menghadiri
pemakaman itu dengan perban masih membungkus tubuhnya. Beberapa anggota klub
bertarung datang ke upacara pemakaman Sooman dan memberikan ucapan turut
berduka cita pada Kai.
“Aku
sungguh berterima kasih pada kalian,” Ucap Kai pada seluruh anggota klub seusai
pemakaman, “kurasa aku sudah tidak selamat kalau tidak ada kalian.
Semua
anggota mengangguk.
“Itu
gunanya teman.” D.O mengedip.
Setelah
itu, semua anggota klub pulang dan meninggalkan Kai dan Minji berdua. Kai
mengajak Minji pergi ke taman yang sering mereka kunjungi.
Ayunan,
jungkat-jungkit, bak pasir, dan bangku taman masih berada di sana tanpa
mengalami perubahan. Ya, tak ada yang berubah. Hanya satu hari lain dengan Kai
tanpa perasaan takut terhadap Sobo. Satu hari lain dimana Kai benar-benar
kehilangan pelindung sekaligus orang yang telah membesarkannya.
“Aku
tahu kau masih tidak menerima kematian Sooman Ahjussi.” Kata Minji.
Mereka
berdua duduk di ayunan dan menggoyang pelan ayunan itu. Hari masih siang taman
itu sepi. Anak-anak kecil pasti masih berada di sekolah.
“Ya,”
Kai mengangguk, “walau kadang dia menyebalkan, dia satu-satunya orang yang
menjagaku semenjak orang tuaku meninggal.” Kai memejamkan mata. Sooman, ibu,
ayahnya, semua telah meninggalkan Kai. Semua meninggal demi liontin itu. Semua
meninggal karena Sobo.
Minji
dan Kai terdiam beberapa lama.
Menikmati desiran angin yang berhembus di antara mereka.
“Kau
ingat saat pertama kali kita ketemu?” Tanya Minji akhirnya.
“Ingat,”
Kai mendengus, “kau hampir tertabrak sepedaku dan kau mengomel panjang lebar.”
Mereka
berdua tertawa.
“Minji,”
Kata Kai pelan, “tentang kejadian beberapa hari yang lalu, aku sungguh minta
maaf telah melibatkanmu. Aku benar-benar tidak ingin kau…”
“Gwenchana,
Kai. Yang penting aku selamat.” Sahut Minji enteng.
Kai
menggeleng, “Kau hampir mati.”
“Dan
nyatanya tidak.” Sahut Minji lagi.
“Minji,”
Kai menoleh pada gadis itu, “kau tahu, kemarin itu bukan akhir dari segalanya.
Selanjutnya aku akan ikut menyelidiki kunci itu dan…” Ia berhenti sebentar
sebelum berkata, “aku benar-benar tidak ingin melibatkanmu dalam bahaya lagi.”
Minji
mengernyit, “Apa maksudmu, Kai?”
“Song
Minji, aku tidak akan memaksamu berpacaran denganku lagi.. Kau punya pilihan,
kau punya hidup yang jauh lebih aman tanpa aku.” Kata Kai.
“Apa
kau ingin kita putus?” Tanya Minji dengan suara pelan.
“Tidak,
tentu saja tidak! Tapi, kita…” Kai menggeleng. “Kau punya pilihan lebih baik.”
“Ya!
Kai! Kau ngomong apa sih? Dengarkan,” Minji menghela napas sebelum berkata
dengan marah, “Aku memang punya dan aku telah memilih sendiri pilihanku. Aku mencintai
seseorang yang telah melibatkanku pada bahaya, selamanya. Aku tidak peduli akan
apa yang harus dia hadapi selanjutnya,” Minji menggertakan gigi dengan kesal,
“atau mungkin orang itu yang telah berubah pikiran?” Kalimat terakhir diucapkan
dengan sakratis.
Mendengar
ucapan Minji, Kai mendengus. “Berubah pikiran?” Kai berdiri dan berlutut di
depan Minji, “Yang benar saja!” Ia merengkuh wajah Minji dan menciumnya.





0 komenz:
Post a Comment