Genre: Romantic, Fantasy
Cast: Choi Joonhong (Zelo B.A.P.), Jang Jaerim
Supporting cast: Ji Eun, Yoseob, Taeyeon, Dongwoon,
Hana, Yoo Jaesuk, Seo Songsaengnim
Length: One shoot
Nb: Maaf judulnya agak frontal ya >_<, tapi ini cuma fiksi belaka
yang melibatkan sedikit Dewa-dewi. Dan minta maaf juga endingnya aneh dan
mengecewakan karena nulis endingnya buru-buru. *biasa orang sibuk :P Oke selamat baca, please kasih review!:)
Pagi subuh ketika pantai masih sepi, aku berjalan di
sepanjang pantai sambil menenteng sebuah ember untuk di isi kerang. Saat itulah
pertama kali aku bertemu dengannya. Tubuhnya yang jangkung terbaring di atas
pasir pantai. Suara desiran air laut lembut berkumandang di sebelahnya. Aku
menghampiri tubuh itu,menduga-duga ia adalah orang yang terdampar.
"Hei, kau baik-baik saja?" Aku berlutut di
sebelahnya, menggucang pelan lengannya. Kuperiksa denyut nadi dan nafasnya. Ia
masih hidup. Kugoyangkan sekali lagi lengannya.
Perlahan kelopak matanya terbuka. Ia mengerjap
beberapa kali sebelum kedua bola mata hitam tajamnya menatapku.
"Kau tak apa-apa?" Tanyaku.
Laki-laki itu mendorong sikunya untuk mengangkat
tubuhnya. Aku menyangga punggungnya untuk membantu hingga ia terduduk.
"Di mana ini?" Tanyanya bingung.
"Pantai Hanenim," Jawabku, "kau siapa?
Kenapa berada di sini?"
"Aku..." Ia berpikir sejenak, "Choi
Joonhong. Aku tidak tahu kenapa bisa di sini."
Ia menatapku lembut dengan kedua mata hitamnya.
Ia terlalu sempurna, pikirku saat itu. Wajahnya tampan
tanpa bercela. Rambut pirang ikal, mata, hidung, bibir, lekukan wajah. Semua
tampak sempurna. Ia sangat tampan dan manis. Sungguh sebuah kebohongan bila aku
berkata bahwa aku tidak terpesona.
"Aku Jang Jaerim. Apa kau hanya mengingat
namamu?" Tanyaku bingung.
Joonhong mengangguk.
Akhirnya aku memutuskan mengajak Joonhong ke
penginapan milik orang tuaku. Mereka menerima Joonhong dengan senang hati.
Mereka mengijinkan Joonhong tinggal di salah satu kamar penginapan kami hingga
ingatannya kembali.
Sudah hampir sebulan sejak kedatangan Joonhong di
hidupku. Tanpa terasa, kami menjadi dekat. Ia sering membantuku di kedai
penginapan maupun membantuku mencari kerang untuk dijual. Orang tuaku juga
sudah menganggap Joonhong sebagai keluarga kecil kami. Mereka menyayangi
Joonhong seperti anak mereka sendiri. Namun, satu pun ingatan Joonhong tak ada
yang kembali.
"Joonhong a.." Panggilku pelan. "Masih
tidak adakah ingatan yang kembali?"
Sore hari di bawah matahari senja, kami berdua jalan
berdampingan di sepanjang pantai.
"Tidak." Jawab Joonhong.
"Kau harus ke rumah sakit.." Kataku,
"Bukannya apa, tapi.."
"Jaerim a," Joonhong berhenti dan menatapku
lekat, "aku sudah sering mengatakan aku tidak mau ke rumah sakit. Jangan
bahas ingatanku lagi. Kalau memang ingatan itu tak kunjung kembali, berarti
semuanya tak penting."
"Tapi.."
Tiba-tiba Joonhong mengangkat tubuhku. Aku memekik dan
ia tertawa-tawa lalu melemparkanku di air laut. Sekujur tubuhku basah dan
kedinginan.
"Joonhong! Sialan kau!!" Seruku marah.
Joonhong tergelak. Aku berdiri dan mendorongnya ke
air. Tapi Joonhong terlalu kuat, sehingga akhirnya kami berdua sama-sama jatuh.
Joonhong berdiri terlebih dahulu dan ia mengangkatku lagi. "Kalau kau
bicara tentang ingatanku lagi, aku akan menceburkanmu lagi."
"Baiklah, aku tidak akan membicarakannya."
Ucapku kesal.
Joonhong menjulurkan lidah, lalu menggendongku hingga
ke pantai. Ia meletakkanku di pasir dan ia duduk di sebelahku. Kami berdua
memandang langit di kejauhan. Matahari perlahan turun. Indah sekali.
"Tunggu!" Seru sebuah suara kecil.
Aku menoleh ke belakang. Dua anak kecil berlarian
mengejar seorang anak kecil lain yang menaiki sepeda di tepi pantai.
"Jaerim," panggil Joonhong. Aku menoleh
padanya dan memandang laki-laki tampan itu dengan pandangan bertanya.
"Kenapa kau tidak sekolah?"
Pertanyaan Joonhong membuatku terdiam. Aku memandang
langit dengan sendu. Sekolah. Satu kata yang membuatku teringat banyak hal.
"Sudah lama aku berhenti sekolah dan aku memang
tidak butuh," jawabku, "toh kelak aku akan meneruskan pekerjaan orang
tuaku. Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi."
Joonhong mengernyit, "Aku tidak sependapat."
Seharusnya aku juga tidak sependapat dengan jawabanku
sendiri. Aku sangat ingin sekolah, ingin sekali. Tapi aku tahu bahwa aku tak
akan pernah ke sekolah lagi. Ada alasan lain di balik itu, namun hanya alasan
tadi yang dapat kuucapkan.
***
"Cepat sedikit!!" Seruku pada Joonhong.
"Aku sudah cepat!" Bantah Joonhong.
Joonhong menggoncengku bersepeda hingga pasar. Aku
menggendong ember berisi kerang untuk dijual sedangkan Joonhong yang mengemudi
sepeda. Joonhong memancal sepeda sangat cepat hingga kami hampir terjungkal
saat ia mengerem di depan pasar.
"Kan! Gara-gara kau menyuruhku cepat-cepat!"
Ujar Joonhong sembari meraih lenganku agar aku tidak terjatuh. Salah satu
kakinya ia gunakan untuk menumpu di tanah.
Aku turun dari kursi bonceng dan nyengir.
"Dongwoon! Kita sudah telat!" Seru sebuah
suara di belakang kami.
Aku menoleh dan mendapati dua orang teman satu
sekolahku. Dongwoon dan Yoseob, dengan seragam dan tas ransel di pundak,
berlari terburu-buru. Mereka tidak melihatku, tapi aku terus memandang hingga
sosok mereka lenyap.
"Kau ingin sekolah." Tuduh Joonhong.
Aku menoleh pada Joonhong. "Sudah kubilang tidak,
aku memandang mereka karena mereka temanku." Dustaku.
Kami berdua berjalan di sepanjang pasar menawarkan
kerang-kerang hingga hanya tersisa sedikit. Sisa kerang-kerang itu kami bawa
pulang untuk persediaan di kedai penginapan. Sepanjang perjalanan pulang,
Joonhong terdiam dan tampak sedang memikirkan sesuatu. Begitu sampai di depan
penginapan dan setelah memarkirkan sepeda kami, Joonhong meraih ember yang
kupeluk dan membawanya ke dapur kedai. Aku mengikuti Joonhong.
"Ada yang ingin kutawarkan," Kata Joonhong.
"Apa?"
Joonhong meletakkan ember itu di atas meja dan ia
menoleh padaku. "Kalau kau kembali sekolah, kau boleh minta satu permintaan
dariku."
Aku memejamkan mata dan menghela napas. "Kenapa
kau begitu ingin aku kembali sekolah?"
"Karena kau ingin sekolah."
"Aku tidak ingin!" Bantahku. "Joonhong,
kau tidak mengerti kenapa.."
"Dan aku tidak ingin mengerti!" Joonhong
bersikeras. "Yang aku tahu, kau ingin sekolah dan kau harus kembali."
"Joonhong, jaebal, jangan bahas ini lagi. Aku
tidak ingin berdebat seperti ini." Ucapku sembari menatap lantai kayu.
"Kau selalu menghindar." Tuduh Joonhong.
Benar, aku selalu menghindar. Hanya saja hidup
menghindar seperti ini lebih baik. Joonhong tidak pernah mengerti. Tak ada yang
pernah mengerti.
Beberapa hari setelah itu, aku dan Joonhong saling
diam. Kami bertemu di kedai seperti biasanya dan bekerja tanpa mengobrol.
Joonhong masih tetap membantuku memilah kerang di pantai dan menjualnya di
pasar, tapi hanya sekadar itu.
Setelah beberapa hari, aku benar-benar tidak tahan.
Selesai mengerjakan tugasku di kedai, sendirian aku pergi meninggalkan kedai.
Semakin dekat dengan tempat tujuan, hatiku semakin berat. Hanya beberapa meter
di dekat tempat tujuan, aku berhenti. Bahkan memandangnya dari jauh, aku sangat
merindukan gedung kecil itu. Sudah lama sekali sejak aku berada di jalanan ini.
Sudah terlalu lama.
"Berani sekali kau datang ke sini." Sebuah suara
bergema di belakangku.
Aku menoleh dan hatiku mencelos seketika. Di
belakangku, sekelompok remaja berdiri menatapku keji. Salah seorang perempuan
berjalan ke arahku. Bibirnya berkedut.
"Jang Jaerim a.. Kukira kau sudah mengerti
kalimat terakhirku waktu itu. JANGAN PERNAH MENAMPAKKAN DIRI LAGI!" Ia
membentak tepat di depanku. Aku mundur ketakutan. Seharusnya aku memang tidak
ke sini. Ini bukan tempatku.
"Apakah kau tak mengerti?" Tanya gadis itu
menyipitkan mata.
"A.. Arra.." Aku mundur sekali lagi.
"Itu juga yang kau ucapkan waktu itu!" Ucap
gadis itu sengit, "rupanya, perkataan saja tak cukup untukmu!"
Gadis itu membalikkan badan dan melambai pada gengnya.
Seharusnya aku dapat menggunakan kesempatan ini untuk lari, tapi aku terlalu
takut. Dua orang kroni gadis itu menarik paksa tubuhku. Langit sudah hampir
gelap ketika mereka menyeretku ke sebuah gubuk tua dan mendorongku ke dalamnya.
"Hana! Apa yang mau.." Aku mulai panik.
Setelah mendorongku masuk, Hana tersenyum licik,
"Nikmatilah!". Gadis itu menarik daun pintu tertutup diiringi
tawanya. Aku berlari mendorong pintu, tapi seperti yang sudah kuduga, Hana
telah menyangga pintu itu.
Aku tersekap di dalam gubuk tua entah di mana. Mungkin
bukan gubuk, melainkan gudang. Hanya ada satu ventilasi kecil dan aku yakin
tubuhku tidak akan cukup untuk keluar dari sana. Perlahan air mataku keluar,
aku ketakutan. Tidak akan ada orang yang tahu aku di sini, dan jika Hana tidak
mengeluarkanku, aku akan mati kelaparan beberapa hari kemudian.
Di tengah tangisku, aku merasakan udara panas
menyesakkan mengelabuiku. Aku berdiri perlahan, memandangi warna oranye yang
perlahan-lahan menelusuri duan pintu, lalu atap-atap jerami. Butuh beberapa
waktu sebelum aku menyadari apa yang terjadi. Kebakaran! Api menjalar dari
segala arah mengurungku. Aku berlari ke pojokan di mana api belum tersulut.
"Rasakan!" Teriak Hana dari kejauhan,
"Lebih baik kau lenyap!"
Suara tawanya berkumandang di antara lautan api.
Baiklah, aku tidak akan mati beberapa hari kemudian.
Sebentar lagi aku akan mati. Kalau tidak terbakar, aku akan mati kehabisan
oksigen.
Kuusap air mataku. Mereka tidak berguna, keluarnya
mereka tidak akan membantuku menghentikan kobaran api. Kugunakan kerah bajuku
untuk menutupi hidungku dari asap, namun kerah bajuku hanya menolong selama
beberapa menit. Api semakin menjalar dan asapnya semakin menyesakkan
pernapasanku. Aku terbatuk-batuk dan mulai kehilangan kesadaranku. Sayup-sayup
aku mendengar teriakan yang memercikan sedikit harapan dalam hati.
"Apinya terlalu besar!"
"Panggil rumah.. Tidak panggil semua warga!"
"Terlalu jauh!"
Semakin lama suara-suara itu menjadi jauh. Pandanganku
juga mulai kabur. Lalu aku mulai berhalusinasi, aku melihat wajah Joonhong yang
panik. Ia mengangkatku.
"Bertahanlah!" Suara Joonhong terdengar di
kejauhan.
Aku merasakan lengannya perlahan mengangkat tubuhku,
membawaku berjalan bersamanya. Lalu aku samar-samar melihat balok kayu di dekat
pintu jatuh tepat di atasku. Joonhong melepaskan salah satu tangannya dari
tubuhku dan mendorong kayu itu menjauh, lalu ia kembali mengangkat tubuhku.
Berikutnya, halusinasiku berakhir dan hilang bersamaan dengan kesadaranku
***
Ketika terbangun, aku sudah berada di kamar tidurku.
Aku tidak sendirian di sana Joonhong, eomma, appa, dan beberapa orang memadati
kamar kecilku. Lampu kamarku bersinar terang.
"Apa.. Apa yang terjadi?" Tanyaku dengan
suara serak. Kugunakan sikuku untuk mendorong tubuhku berdiri. Joonhong
membantuku hingga aku terduduk.
"Apa yang terjadi?" Tanyaku sekali lagi.
"Kau terperangkap di gubuk yang
terperangkap." Jawab Joonhong.
Kusentuh pelipisku. Ya, aku mengingatnya.
"Lalu?"
"Lalu aku menolongmu." Kata Joonhong.
"Tapi, bagaimana kau tahu?" Tanyaku bingung.
Joonhong menunjuk sekelompok orang di belakang dengan
jempolnya. "Mereka yang pertama menemukanmu, dan mereka lah yang memanggil
bantuan."
Aku mengerjap mengamati sekelompok orang itu. Perlahan
aku mulai mengenal satu persatu wajah mereka.
"Dongwoon? Yoseob? Ji Eun? Taeyeon?"
Satu persatu dari mereka mulai tersenyum.
"Kita melihat geng Hana menguncimu dan membakar
gubuk itu," Ji Eun menjelaskan dengan suara manisnya, "setelah mereka
pergi, kami berusaha menerobos gubuk, tapi pintu gubuk itu sudah
terbakar."
"Kalau kau butuh saksi untuk melaporkan
mereka," Ujar Yoseob, "kami akan jadi saksinya."
Perlahan bibirku tersenyum. "Gamsahae.. Sungguh,
mungkin tanpa kalian aku akan mati." Kataku tulus.
"Cheonma, kita 'kan teman." Kata Taeyeon, ia
menambahkan "Kembalilah sekolah."
Setelah mereka pulang, eomma duduk di sebelahku,
membawa semangkuk bubur.
"Makanlah."
Aku mengangguk dan mulai menyuapkan sendok demi sendok
bubur. Selesai makan, eomma menepuk puncak kepalaku. Sudah bukan pertama
kalinya bagi eomma mendapatiku dalam keadaan seperti ini, walau
sebelum-sebelumnya aku tidak dalam keadaan di ombang-ambing kematian.
"Appa akan melaporkan mereka ke pihak
polisi." Kata eomma.
"Jangan!" Sergahku, "Jangan,
kumohon."
"Jaerim, kau tidak bisa terus begini, eomma juga
ingin.."
"Eomma, kumohon jangan. Aku takut." Kataku
pelan.
Joonhong berbisik pada eomma dan setelah eomma itu
eomma mengangguk dan ijin keluar. Tinggal aku dan Joonhong yang berada di
kamar.
"Jaerim a.." Panggil Joonhong lembut, duduk
tepat di depanku, "kita harus mengobrol."
Setelah lama tidak mengobrol, aku baru menyadari bahwa
aku merindukan laki-laki tampan ini. Tapi, aku sedang dalam keadaan tidak ingin
membicarakan apapun mengenai Hana dan gengnya.
"Kalau kau memaksaku, aku menolak!" Ucapku
langsung.
"Tidak, aku tidak memaksamu, aku hanya ingin
tanya." Kata Joonhong. "Apa mereka musuhmu?"
"Mereka? Hana dan gengnya?" Tanyaku bingung.
Hana memang sangat membenciku, dan begitu pula aku membencinya. Tapi musuh?
"Entahlah. Kurasa aku hanya orang yang ditindas."
"Benar." Kata Joonhong. "Mereka bukan
musuhmu. Musuhmu itu ketakutanmu pada mereka."
Aku memandang Joonhong tidak mengerti. "Apa
maksudmu?"
"Kau membiarkan dirimu ditindas, kau tak pernah
melawan, kau takut."
"Benar! Aku takut!" Seruku disertai buliran
mata yang mengalir. "Aku takut!"
"Tenanglah." Joonhong menarik tubuhku dalam
pelukannya. "Lawanlah rasa takutmu."
Aku menggeleng, "Tidak bisa."
Setelah Joonhong melepaskan pelukannya, aku menatap
lekat laki-laki itu. "Kumohon, Joonhong. Biarkan saja seperti ini. Toh,
aku bisa hidup damai tanpa bersekolah."
"Dan kau akan selamanya menghindar, apa itu
maumu?" Tanya Joonhong. "Jaerim, hidup tanpa persaingan dan
perlawanan itu nggak akan pernah ada. Karena persaingan dan perlawananlah,
damai itu ada."
Kugigit bibirku pelan. "Tapi kalau aku melapor..
Mereka.. Mereka akan.."
"Jaerim, kau punya teman. Lihat 'kan! Kau perlu
membuka matamu lagi. Kasih sayang itu selalu menang melawan ketakutan."
Kata Joonhong.
Akhirnya aku mengangguk walau masih dengan berat hati.
Joonhong tersenyum lalu menepuk kepalaku. Ketika ia menarik tangannya kembali,
aku teringat sesuatu. Kutarik lengannya dan memeriksa telapak tangannya. Tangan
Joonhong bersih, mulus, tak bercela. Aku mengernyit bingung.
"Ada apa?" Tanya Joonhong.
"Aku melihatmu melempar balok kayu
terbakar," kataku bingung, "tapi kenapa tidak ada bekas luka bakar
ataupun sedikit goresan di telapak tanganmu?"
"Oh." Wajah Joonhong memucat. Ia menarik
tangannya. "Mungkin kau berhalusinasi."
"Tapi.."
"Istirahatlah.” Joonhong menyela, ia menghindari
tatapanku. “Besok kau harus ikut ke kantor polisi sebagai saksi dari korban."
***
Hari berikutnya, kami mengurus pencobaan pembunuhan
Hana di kantor polisi. Tapi polisi baru menangkap Hana dan gengnya seminggu
kemudian setelah mereka menemukan salah satu barang bukti yang terjatuh di TKP.
Selama proses pengadilan, aku tak berani memandang Hana. Aku tahu, dia pasti
sedang melihatku dengan pandangan membunuh. Hana di adili sesuai hukum
pencobaan pembunuhan dan dihukum kurung 2 tahun.
"Semua sudah selesai." Joonhong
menepuk-nepuk pundakku menenangkan.
Aku mengangguk. Ya, semuanya sudah selesai.
Esoknya, ketika terbangun dari tidur, aku merasakan
perubahan. Semua ketakutanku telah pergi.
Walau masih pagi, kedai penginapan sudah di penuhi
orang-orang. Sebagian darinya adalah turis. Aku baru saja akan pergi ke dapur
membuat makanan, tapi Joonhong mencegatku. Ia menyuruhku duduk di salah satu
kursi pengunjung, lalu ia masuk ke dapur. Beberapa detik kemudian, Joonhong
datang membawa nampan makanan dan menaruhnya di depanku.
"Perayaan kecil-kecilan." Katanya.
"Hadiah atas kau yang telah melawan takutmu, hari ini aku akan
menggantikan seluruh tugasmu di kedai."
Aku tersenyum lalu mengangguk, "Baiklah, aku
terima."
Kami makan sarapan kecil kami sambil mengobrol dan
bergurau. Setelah lama tak mengobrol dan bergurau, rasanya saat ini seperti hal
yang sudah terlalu lama.
Selesai makan, Joonhong menepati janjinya dengan
menggantikan pekerjaanku. Hari ini aku dapat menikmati satu hari tanpa bekerja.
Aku memilih berjalan-jalan di belakang kedai yang menghadap pantai. Udaranya
sejuk dan menyenangkan. Ketika aku mengitari penginapan, aku mengintip ke kamar
Joonhong yang berada di lantai satu. Joonhong membuka gorden jendelanya dan
menampakkan isi kamarnya yang tertata rapi. Tapi pintu kamarnya terbuka. Aku
bergegas masuk ke penginapan untuk menutup pintu kamarnya, dan saat itulah,
ketika aku akan menutup pintu kamar itu, aku menemukan selembar kertas terjatuh
tepat di depan pintu. Kuraih selembar kertas itu. Kertas itu bukan kertas polos
biasa, melainkan selembar perkamen yang isinya berupa coretan-coretan tinta
yang tak di mengerti.
***
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk masuk
sekolah. Sudah tidak ada Hana dan gengnya yang menjadi alasan bagiku untuk
tidak masuk sekolah. Walau begitu, saat pertama kali memasuki gedung sekolah,
hatiku dilanda rasa khawatir. Seluruh tubuhku di selimuti bayang-bayang
ketakutan. Aku berjalan perlahan menelusuri koridor sekolah yang padat. Tidak
ada perubahan yang terjadi di sana.
"Akhirnya kau masuk juga!" Seseorang
merangkulku dari belakang. Aku sontak menoleh dengan terkejut. Ji eun telah
berdiri di sebelahku dan tersenyum lebar.
Ketika memasuki kelas, beberapa murid tersenyum
menyapaku. Beberapa dari mereka meminta maaf dan mengemukakan perasaan bersalah
mereka karena dulu terpaksa menjauhiku. Aku tidak menyalahkan mereka, toh aku
tahu bagaimana tindakan semena-mena Hana dan gengnya. Dengan absenya Hana dan
gengnya, hari pertama sekolahku benar-benar jauh lebih menyenangkan. Ternyata
aku benar-benar merindukan sekolah, merindukan teman, merindukan celoteh
membosankan guru. Joonhong tahu betul itu.
'Kringgg!!'
"Jaerim, kita pulang bersama yuk!" Ajak
Taeyeon dan Ji eun.
"Aku ingin sekali, tapi aku harus menemui Yoo
songsaengnim." Kataku pada mereka.
"Yoo saeng..? Maksudmu Yoo Jaesuk saeng? Guru
sejarah kita?" Tanya Taeyeon bingung.
Aku mengangguk. "Besok aku pasti pulang bersama
kalian."
Setelah mereka pulang, sendirian aku menuju ruang
guru. Yoo Jaesuk adalah laki-laki paruh baya yang tinggi dan kacamata persegi
bertenger di hidungnya. Wajahnya baik dan ia guru sejarah yang sangat disenangi
murid-murid. Ketika melihat kehadiranku, Yoo songsaengnim menyambutku dengan
senang.
"Lalu ada perlu apa menemuiku?" Tanya Yoo
songsaengnim setelah berceloteh panjang lebar tentang betapa berartinya kehadiranku.
"Begini," aku mengeluarkan secarik perkamen
dari saku rokku dan memberikannya pada Yoo songsaengnim, "aku menemukan
ini di.. Di gudang.. Aku hanya ingin tahu jika Yoo saeng tahu tulisan apa yang
tergores di sana."
Yoo songsaengnim membuka perkamen itu dan mengernyit
memandang coretan di sana. Ada sekitar lima baris gambar persegi, matahari,
lingkaran dan simbol tidak jelas lainnya di sana. Jelas sekali itu bukan bahasa
jepang, bahasa mandarin, maupun alphabet.
"Aku tidak yakin," gumam Yoo saeng,
"seperti rune, tapi kukira ini rune kuno?"
"Rune kuno?"
"Ya, bagian dari hieroglyph." Kata Yoo songsaengnim.
"Oh." Tanggapku. Rune. Hieroglyph. Dari mana
bahasa alien ini berasal?
"Kalau rune modern, aku bisa membacanya, tapi aku
tidak pernah mempelajari rune kuno." Kata Yoo songsaengnim seraya
mengembalikan perkamen itu padaku.
"Baiklah. Gamsahamida, Yoo saeng."
"Sama-sama, dan sekali lagi aku senang bertemu
denganmu." Kata Yoo songsaengnim tulus.
Keluar dari ruang guru, aku bergegas menuju
perpustakaan. Perpustakaan di sekolah kami sangat kecil dan hanya ada 10 rak
kecil buku yang memuat hanya buku pengetahuan lama yang telah usang.
Perpustakaan selalu sepi dan selalu menjadi temanku. Selama masa penindasan
Hana terhadapku dulu, hanya perpustakaan inilah yang menjadi temanku. Aku tidak
membaca, melainkan hanya duduk, menyembunyikan diri dari kehidupanku. Walaupun
hanya 10 rak buku, ada sekitar seribu buku bejejer di sana. Hampir setengah jam
aku mencari, namun tak juga kutemukan buku rune. Aku mulai berpikir Yoo saeng
tadi hanyalah membual.
"Apa yang kau cari?"
Aku menoleh dan Seo songsaengnim,
guru perpustakaan, telah berada di sebelahku.
"Rune kuno."
"Rune kuno?" Tanya
Seo saeng mengernyit. "Ikut aku."
Seo saeng berjalan mengitari
beberapa rak, memilah-milah buku di satu rak, lalu berjalan ke rak lain. Ketika
sampai di rak ketiga, Seo songsaengnim tersenyum. Ia menarik sebuah buku usang
yang sudah menguning dan menyerahkannya padaku.
"Gomawo Seo saeng!"
Ucapku senang.
Seo saeng tersenyum,
mengangguk, lalu meninggalkanku.
***
Aku berlari pulang ke rumah
dan hampir terjatuh karena tersandung pasir. Seseorang menarikku dan ia
mendengus.
"Ckck..
Hati-hatilah." Suara Joonhong menyambutku.
"Oh, annyeong." Aku
menyapanya.
"Annyeong, bagaimana hari
pertama sekolahmu?" Tanya Joonhong.
"Menyenangkan!" Aku
tersenyum.
Hanya selama beberapa detik
aku merasakan perubahan pada wajah Joonhong. Wajahnya memerah.
"Sini, ikut aku!"
Joonhong menarikku.
"Eh, ke mana?"
Joonhong terus menarikku ke
sisi pantai yang jarang kukunjungi. Banyak karang terjal dan arus air di sana
terlalu deras. Biasanya aku takut melalui tempat ini, tapi dengan Joonhong
menggengamku, tak ada sedikitpun ketakutan padaku. Joonhong mengajakku memanjat
salah satu batu karang.
"Kenapa kita ke
sini?" Tanyaku bingung.
Joonghong berdiri di belakang,
memegang pundakku dan mengarahkan tubuhku ke arah matahari sore yang akan
turun. Ombak bergelombang di kejauhan memperdengarkan suaranya yang indah.
Namun ada satu hal yang lebih menarik perhatianku. Di kejauhan, aku melihat
cahaya indah berkilauan. Cahaya itu memancar dan membentuk pantulan indah di
laut.
"Apa itu?" Tanyaku.
"Emh.. Hadiah."
Jawab Joonhong.
"Hadiah?"
"Ya, itu hadiah pemandangan
indah dariku karena kau masuk sekolah." Kata Joonhong.
"Sampai kapan kau akan
berhenti memberiku hadiah?" Aku tertawa. "Tapi, gomawoyo.. Joonhong
a..”
Aku membalikkan tubuhku dan
entah bagaimana tubuhku secara reflek memeluk Joonhong. “Gomawo, untuk semuanya!
Gomawo karena telah menolongku. Gomawo karena membuatku kembali bersekolah.” Setelah
kami merengangkan pelukan di antara kami, Joonhong merengkuh wajahku dan
menciumku. Awalnya aku kaget, namun aku membalasnya. Hari itu aku baru sadar
bahwa perasaanku pada Joonhong bukanlah hanya perasaan sebagai teman maupun
saudara. Aku mencintai dia.
***
“Pacarmu ganteng sekali!”
“Dan manis!”
“Lihat, dia menunggmu lagi!”
Aku berjalan ke arah Joonhong
yang menunggu di depan gerbang sekolah. Joonhong menjulurkan tangan dan aku
melepaskan tas ranselku, memberikan padanya. Sudah hampir seminggu Joonhong
melakukan hal ini. Hal-hal kecil yang manis.
“Kau tak perlu menungguku tiap
pulang sekolah.” Ujarku.
Joonhong menoleh padaku dan
mengangkat alisnya, “Kau tidak senang?”
“Bukan begitu, kau terlalu
mencolok.” Kataku. “Kau terlalu ‘wow’.”
Laki-laki itu tergelak. Ia
menggandengku dan tersenyum. “Kau beruntung sekali ya?”
Aku mendengus. Kami berdua
jalan menelusuri pantai sebelum pulang ke penginapan. Ombak bergelung lembut di
kejauhan. Matahari sebentar lagi akan turun, dan seperti biasa kami menikmati
pemandangan itu berdua. Hanya berdua. Berada bersama Joonhong memandangi pantai
adalah satu dari beribu hal paling indah yang pernah kurasakan.
Aku benar-benar diselimuti
oleh kabut kebahagiaan selama seminggu penuh dan melupakan begitu saja buku
rune kuno yang kupinjam di perpustakaan. Aku baru menyadari keberadaan buku itu
ketika suatu malam, saat sedang menata tasku, buku itu terjatuh. Aku mengambil
buku itu dan mulai membolak-balik halamannya yang telah menguning dan terisi
dengan coret-coretan yang tintanya sudah pudar. Ada beberapa bagian dalam buku
yang sobek. Buku itu benar-benar kacau. Namun dengan kehadiran buku itu, rasa
penasaran terhadap kertas yang terjatuh di kamar Joonhong muncul lagi. Kuambil
kertas perkamen Joonhong yang kusimpan di salah satu laci meja dan mulai
menyamakan gambar-gambar yang tercoret di kertas dengan di buku.
“Kembalilah?” Ku balikkan buku
dan mulai mencari lagi. “Jelo. Eh…” Kubalikkan buku itu dan ku baca sekali
lagi. Aku melupakan tulisan yang baru ku artikan sebelumnya. Akhirnya kusobek
secarik kertas dari bukuku, dan aku menuliskan satu-satu terjemahan surat itu.
Aku tidak ingat sudah berapa
lama waktu yang kugunakan untuk menterjemahkan sebaris demi sebaris kalimat.
Namun, kalimat-kalimat itu tidak membentuk suatu pernyataan yang masuk akal
sama sekali. Setelah baris terakhir kuterjemahkan, kubaca semua tulisan yang
telah kuterjemahkan:
“kembalilah Jelo
jangan mencampuri lebih banyak
ingatlah siapa dirimu
laut.”
Oke, sepertinya ini sajak atau
pantun. Mungkin Joonhong menemukan perkamen ini di suatu tempat. Hah! Bodoh
sekali aku menghabiskan waktuku untuk hal yang tidak berguna seperti ini.
Ketika aku memutuskan untuk
merangkak ke tempat tidur dan mengabaikan kertas dan buku rune kuno itu,
tiba-tiba saja jendela kamarku yang menghadap ke laut menjeblak terbuka.
Kudengar suara keras desiran ombak yang menghantam pantai di sertai lolongan
anjing. Angin bertiup kencang membuat tubuhku merinding.
***
Hari Minggu cuaca cerah. Badai
di laut sudah mereda. Sejak malam itu, laut terus menerus di datangi badai dan
dengan terpaksa aku hampir tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari. Suara
bising badai laut dan lolongan anjing terus menerus muncul setiap malam.
Hari ini, Joonhong dan aku
menghabiskan waktu kami berdua. Kami mengelilingi pasar dan membeli sepasang
kaos kembar. Lalu, kami mengunjungi pantai, berbarin di pasir dan menikmati
cuaca cerah yang sudah kami rindukan. Ketika menjelang sore, Joonhong
mengajakku ke karang di mana kami melihat pantulan-pantulan indah akibat
matahari turun. Setiap detik bersama Joonhong tak ternilai harganya. Hanya
ketika bersamanya, aku bahagia.
“Ada yang ingin kubicarakan
dengan orang tuamu setelah kita pulang.” Joonhong berbisik padaku ketika kami
tengah menikmati pemandangan sore di atas karang.
Setelah matahari tenggelam,
kami sama-sama menuju penginapan. Ia membawaku ke ruang depan di mana kedua
orang tuaku sedang duduk termanggu menatap layar televisi sambil menjaga tempat
resepsionis. Ketika Joonhong berkata ‘ingin membicarakan sesuatu dengan orang
tuaku’, pikiranku mulai melayang-layang. Semua imajinasiku mulai terkumpul dan
membentuk drama sendiri di pikiranku. Joonhong ingin melamarku! Itulah kesimpulanku.
Aku tidak dapat menahan senyumku ketika kami sudah duduk berhadapan di sofa.
“Ada apa Joonhong?” Tanya
eomma bingung.
“Ada yang ingin kubicarakan
dengan kalian.” Kata Joonhong. Aku menoleh padanya dan melihat wajahnya pucat. Mungkin dia tegang, pikirku.
“Apa?” Tanya eomma.
“Aku…” Joonhong berhenti
sebentar. Ia memandang lantai denga gusar. “Aku akan meninggalkan tempat ini.”
Sontak aku menoleh. Orang
tuaku melotot bingung.
“Mwo?” Seruku bersamaan dengan
orang tuaku.
“Ya.. aku akan keluar dari
sini. Aku akan meninggalkan pulau ini.” Joonhong berbicara dengan suara datar
dan pelan.
Aku menatap Joonhong, menunggu
tawanya seperti biasa setelah menggodaku. Menunggu senyumnya ataupun
cengirannya. Menunggu kalimat “Aku bercanda.” Keluar dari bibirnya. Tapi
alih-alih, Joonhong menatapku serius.
Kulepas genggaman Joonhong
dengan marah. “Leluconmu tidak lucu!”
“Aku tidak bercanda!” Sergah
Joonhong. “Aku serius.”
“Bohong! Kau gila!” Bentakku
marah. Aku bangkit berdiri.
“Benar, kurasa aku sudah
gila.” Joonhong menelungkupkan kepalanya dengan frustasi.
“Aku tidak mengerti.” Ujarku
datar, lalu berlari ke kamarku meninggalkan mereka.
Apa sih yang dipikirkan dia?
Hanya beberapa minggu kami menjadi sepasang kekasih. Kami baru saja kencan pagi
ini, lalu dengan mudahnya ia berkata akan meninggalkan tempat ini? Meninggalkan
tempat ini, meninggalkanku. Perasaan bingung bercampur marah ini membuat aku labil.
Aku mulai berpikir apakah Joonhong teringat masa lalunya? Apakah ada seseorang
di masa lalunya? Tiba-tiba saja air mataku menetes keluar.
“Jaerim a… maafkan aku.” Aku
mendengar suara Joonhong di luar kamar.
“Aku tidak butuh minta maaf!” bentakku.
“Aku butuh penjelasan!”
Joonhong terdiam.
“Kenapa tak ada penjelasan?
Joonhong… apa ingatanmu kembali? Apa ada seseorang…”
“Tidak, Jaerim! Baiklah aku akan
menjelaskan.” Kata Joonhong. “Ijinkan aku masuk.”
Aku membuka pintu kamarku dan
membiarkan Joonhong masuk. DI bawah lampu kamarku, wajah tampan Joonhong tampak
pucat dan stres.
“Jelaskan.” Tuntutku.
“Jaerim, aku tidak pernah
kehilangan ingatanku.”
Tidak pernah kehilangan
ingatan? Ku usap air mata yang baru saja turun. “Lalu?”
“Dengar, mungkin kau tak akan
mempercayai penjelasanku, tapi aku akan menjelaskannya padamu.” Joonhong
menghela napas panjang sebelum memulai. “Nama asliku adalah Zelo, atau lebih
dikenal sebagai Zelos. Aku adalah dewa persaingan yang telah jatuh cinta pada
seorang mortal.”
“Dewa?”
“Ne.”
Oke, tak masuk akal. Kalau
memang Joonhong ingin berbohong, masih ada setumpuk kebohongan yang jauh lebih
masuk akal. Mungkin dia memang sudah tidak waras. Tapi detik berikutnya aku
teringat saat Joonhong menolongku di tengah gubuk kebakaran.
“Apa karena itu kau tidak
terluka walau terbakar?” Tanyaku hati-hati.
“Ne.”
Kutelan ludahku dengan susah
payah. Seharusnya aku mendengus tawa atau mengejeknya, tapi entah kenapa aku
tidak melakukannya. Apa yang baru saja dikatakan Joonhong sangat konyol dan
tidak masuk akal. Namun walau begitu, entah kenapa aku mempercayainya. Mugkin
karena kesempurnaan Joonhong.
“Mian, ini benar-benar
salahku,” Joonhong menggeleng, “tidak seharusnya aku jatuh cinta padamu. Tidak
seharusnya aku membuatmu jatuh cinta.”
Pernyataan Joonhong barusan
membuat hatiku perih. “Apa kau menyesal telah jatuh cinta?” Pertanyaanku
membuat Joonhong mengangkat kepalanya dengan kaget.
Sepasang bola mata Joonhong
menatapku, mengingatkanku pada pandangan pertamanya saat pertama kali kami
bertemu.
“Tidak.” Kata Joonhong.
Aku memejamkan mata. “Joonhong,
jujur aku tidak tahu aku harus percaya atau tidak… Semuanya tidak masuk akal.”
“Tidak memang.” Joonhong
menggertakan gigi.
“Kalau kau memang dewa… Kenapa
kau turun ke bumi?”
Joonhong memejamkan mata
sejenak sebelum menjawab, “Awalnya, aku turun ke bumi adalah untuk menolongmu.
Aku selalu mengamatimu sendirian, dan selalu menghindari kehidupanmu sendiri. Aku
ingin membantumu, aku ingin kau melawan ketakutanmu sendiri. Tapi mungkin,
sebenarnya aku telah jatuh cinta padamu.”
“Lalu kenapa kau
meninggalkanku?” Tuntutku. “Kalau kau bisa tinggal di dunia, kita bisa
bersama.”
Joonhong menggeleng, “Cinta
antara dewa dan mortal itu terlarang. Bahkan laut menentang kita.”
“Laut menentang kita?”
Laut
menentang kita. “Kembalilah
Jelo. Jangan mencampuri lebih
banyak. Ingatlah siapa dirimu. “ Begitulah isi surat Joonhong.
Beberapa hari ini, laut terus diselimuti badai. Laut menentang kita. Semua tampak jelas. Joonhong tidak berbohong,
ia berkata yang sebenarnya, dan kebenaran itu membuat air mataku keluar lebih
deras.
“Jaerim,” Joonhong merengkuh
wajahku dan mengusap air mataku. Lalu ia memelukku.
“Kita tidak akan pernah
bertemu lagi?” Tanyaku disela sesunggukanku.
Joonhong menggeleng.
Malam itu Joonhong terus
berada di sisiku. Ia menggenggam jemariku hingga aku tertidur. Ketika terbangun
keesokan paginya, Joonhong sudah tidak ada di sisiku. Ia telah pergi, dan semua
orang yang pernah mengenal Joonhong tidak mengingat apapun tentang dirinya.
Kehidupanku kembali seperti sebelumnya, hanya saja ada sebuah kenangan dan
perasaan yang kumiliki sendiri. Kenangan akan pertemuan dan perpisahan dengan
seorang dewa. Perasaan cinta terlarangku pada seorang dewa.
***





0 komenz:
Post a Comment