To my friend: Never give up to get him
Aku dan Caroline hanya bisa mengangguk.
“Nah, sekarang kalian mau istirahat atau gimana? Jangan lupa 1 jam lagi harus ngumpul di taman lho...” Ujar Erika ceria.
Sekali lagi hanya aku yang mengangguk. Beda dengan Caroline, kali ini ia mengatakan sesuatu. “Erika, ehm.. aku boleh tanya sesuatu?”
Erika tersenyum. “Boleh.”
Kulirik Caroline. Gadis berambut hitam panjang itu tenggah menggaruk rambutna yang tidak gatal, lalu ia bertanya, “Gimana sih ceritanya kamu sama si Johan Watson bisa jadian?”
Sebenarnya, pertanyaan Carol nggak penting banget. Aku juga nggak selera mengetahui privasi orang, tapi aku tetap mendengarkan Erika menjawab, “Ya... kami ketemu terus temenan, pdkt, jadian... gitu aja.”
Carol tampak kecewa. “Masa gitu aja?”
Erika mengangguk.
Aku menatap gadis itu. Entah mengapa, wajah Erika tampak seperti merahasiakan sesuatu. Dan sekali lagi, ketika aku melihat Erika, aku seperti pernah meihat wajah itu sebelum ini, tapi dimana ya?
***
Setelah satu jam beristirahat, dengan percakapan canggung antara aku, Carol dan Erika, akhirnya kami bersama-sama keluar dari kamar dan menuju teras.
Di taman itu sudah disiapkan 3 meja bundar yang besar. Dan berbagai aneka makanan sudah diletakkan di atas meja.
Aku dan Carol mendapati Stanley dan temannya sedang berbincang-bincang di meja 1, jadi dengan segera aku duduk di sebelah Stanley, dan Carol duduk di sebelahku. Entah mengapa, Erika ikut duduk di meja 1dan dia mengajak Johan Watson duduk di meja 1 juga. Sebenarnya aku nggak terlalu suka duduk di dekat Watson, aku nggak pingin Carol tahu kalau aku udah kenal sama Watson. Dan untungnya juga, sampai saat ini Watson sama sekali belum nyapa aku. Bakal rumit masalahya kalau Watson nyapa aku, mengingat sifat cemburuan Stanley yang sering kali membuatku kesal.
Angel, si fans fanatik Watson, segera duduk di meja 1. Setelah beberapa menit, meja 1 sudah penuh sendiri, karena ada Johan Watson, sang idola di sini. Rasanya aku pingin pindah di meja 2 atau meja 3 aja.
“Nah... udah penuh nih... tapi kita makannya tunggu meja 2 sama meja 3 aja ya...” Kata Watson.
Seluruh cewek, kecuali aku dan Erika, berteriak “Iya” histeris.
Huh, betul-betul deh, nggak pw banget duduk di sini. Tapi sepertinya bukan hanya aku saja yang terganggu. Stanley juga merasa terganggu. Dia terus saja cemberut.
“Kenapa Stan?” Tanyaku.
“Nggak... cewek-cewek itu berisik amat sih, Hun... aku jadi ga mood.” Stanle mengulurkan tangannya merangkul pundakku.
“Sama.” Tanggapku ikut cemberut.
“Ehem-ehem,” Johan ber'ehem-ehem nggak penting. “Nah, sambil nunggu meja 2 sama meja 3, kita main dulu yuk. Gimana kalau main sambung kata, pake nama pemain tenis terkenal, yang kalah harus ngelakuin jujur tantangan... oke nggak?”
Semua njawab oke, kecuali aku. Aku melongo. Aku mana ngerti nama pemain tenis?
“Ok, mulai dari aku.” Kata si Johan. “Aku pake namaku aja, Johan Watson.”
“Nicolas Kiefer.”
“Roger Federer.”
“R... eh... eh..”
“Udah 10 detik, kamu kalah, ayo pilih jujur atau tantangan?” Seru Johan pada seorang cewek berambut hitam pendek.
Gadis itu, bukannya malah tegang atau bingung atau gelisah, tapi dia malah senyum-senyum, senang karena di ajak bicara Johan Watson.
“Tantangan aja deh...”
Johan tampak berpikir-pikir sejenak. “Hmn, enaknya apa ya tantangannya?”
Angel, si fans fanatik yang menyebalkan itu menimpali. “Gimana kalau nyanyi aja?”
Johan mengangguk-angguk. “Nice Idea.”
Seluruh orang yang duduk di meja 1 segera bersorak. “Nyanyi... nyanyi...” Tapi aku cemberut. Pemaksaan banget sih nyuruh orang nyanyi, kalau orangnya lagi sakit batuk gimana? Tapi ternyata si cewek nggak batuk, dan dia malah oke-oke aja di sruh nyanyi.
“Lanjut-lanjut.” Kata Johan.
“Richard Gasquet.”
“Tim Henman.”
“Nicole Vaidisova.”
“Ashley Cooper.”
“Rafael Nadal.”
“Lindsay Davenport.”
“Tommy Haas.”
“Serena Williams.”
Dan aku baru sadar, sekarang giliranku. Aku terlalu terpaku karena ternyata semua yang ikut camp ini memang fans tenis. Aku betul-betul nggak bisa mikir dan walaupun aku berpikir sekeras apapun aku nggak bakal ketemu jawaban yang tepat. S... siapa?
“Stanley Wright.” Jawabku asal.
Stanley yang duduk di sebelahku melongo beberapa saat. Begitu pula dengan semua orang yang duduk di sana. Mereka bingung.
“Emang ada pemain tenis namanya Stanley Wright? Kok aku nggak tahu?” Tanya Johan.
“Ada aja..” Jawabku asal. “Di masa depan.”
Stanley dan Carol langsung saja tertawa. Semua orang tampak tambah bingung. Carol segera menjelaskan di sela tawanya. “Stanley Wright itu kokoku... Pacarnya dia nih...”
“Itu nggak masuk hitungan.” Kata Johan. “Berarti kamu kalah, Kathleen... Ayo, pilih jujur atau tantangan?”
“Err...” Aku berpikir-pikir.
Di sela aku berpikir, Caroline menyeletuk. “Loh, Watson, kok kamu tahu namanya Kathleen? Perasaan tadi aku atau Katy belum nyebutin nama kami?”
Aku melongo sesaat. Haduh, kenapa sih, sahabatku satu ini teliti banget.
“Lho, kita emang udah kenal, kok, dan lagi, aku juga yang ngajak Kathleen ke camp ini.” Jawab Watson enteng.
Serasa petir menyambarku, seluruh tatapan mata di meja 1 itu segera menghunjamku. Mulai dari Carol hingga Stanley. Aku hanya bisa menunduk dan bingung harus bagaimana.
***



