Saturday, July 31, 2010

Always You 5








To my friend: Never give up to get him

Aku dan Caroline hanya bisa mengangguk.
“Nah, sekarang kalian mau istirahat atau gimana? Jangan lupa 1 jam lagi harus ngumpul di taman lho...” Ujar Erika ceria.
Sekali lagi hanya aku yang mengangguk. Beda dengan Caroline, kali ini ia mengatakan sesuatu. “Erika, ehm.. aku boleh tanya sesuatu?”
Erika tersenyum. “Boleh.”
Kulirik Caroline. Gadis berambut hitam panjang itu tenggah menggaruk rambutna yang tidak gatal, lalu ia bertanya, “Gimana sih ceritanya kamu sama si Johan Watson bisa jadian?”
Sebenarnya, pertanyaan Carol nggak penting banget. Aku juga nggak selera mengetahui privasi orang, tapi aku tetap mendengarkan Erika menjawab, “Ya... kami ketemu terus temenan, pdkt, jadian... gitu aja.”
Carol tampak kecewa. “Masa gitu aja?”
Erika mengangguk.
Aku menatap gadis itu. Entah mengapa, wajah Erika tampak seperti merahasiakan sesuatu. Dan sekali lagi, ketika aku melihat Erika, aku seperti pernah meihat wajah itu sebelum ini, tapi dimana ya?
***
Setelah satu jam beristirahat, dengan percakapan canggung antara aku, Carol dan Erika, akhirnya kami bersama-sama keluar dari kamar dan menuju teras.
Di taman itu sudah disiapkan 3 meja bundar yang besar. Dan berbagai aneka makanan sudah diletakkan di atas meja.
Aku dan Carol mendapati Stanley dan temannya sedang berbincang-bincang di meja 1, jadi dengan segera aku duduk di sebelah Stanley, dan Carol duduk di sebelahku. Entah mengapa, Erika ikut duduk di meja 1dan dia mengajak Johan Watson duduk di meja 1 juga. Sebenarnya aku nggak terlalu suka duduk di dekat Watson, aku nggak pingin Carol tahu kalau aku udah kenal sama Watson. Dan untungnya juga, sampai saat ini Watson sama sekali belum nyapa aku. Bakal rumit masalahya kalau Watson nyapa aku, mengingat sifat cemburuan Stanley yang sering kali membuatku kesal.
Angel, si fans fanatik Watson, segera duduk di meja 1. Setelah beberapa menit, meja 1 sudah penuh sendiri, karena ada Johan Watson, sang idola di sini. Rasanya aku pingin pindah di meja 2 atau meja 3 aja.
“Nah... udah penuh nih... tapi kita makannya tunggu meja 2 sama meja 3 aja ya...” Kata Watson.
Seluruh cewek, kecuali aku dan Erika, berteriak “Iya” histeris.
Huh, betul-betul deh, nggak pw banget duduk di sini. Tapi sepertinya bukan hanya aku saja yang terganggu. Stanley juga merasa terganggu. Dia terus saja cemberut.
“Kenapa Stan?” Tanyaku.
“Nggak... cewek-cewek itu berisik amat sih, Hun... aku jadi ga mood.” Stanle mengulurkan tangannya merangkul pundakku.
“Sama.” Tanggapku ikut cemberut.
“Ehem-ehem,” Johan ber'ehem-ehem nggak penting. “Nah, sambil nunggu meja 2 sama meja 3, kita main dulu yuk. Gimana kalau main sambung kata, pake nama pemain tenis terkenal, yang kalah harus ngelakuin jujur tantangan... oke nggak?”
Semua njawab oke, kecuali aku. Aku melongo. Aku mana ngerti nama pemain tenis?
“Ok, mulai dari aku.” Kata si Johan. “Aku pake namaku aja, Johan Watson.”
“Nicolas Kiefer.”
“Roger Federer.”
“R... eh... eh..”
“Udah 10 detik, kamu kalah, ayo pilih jujur atau tantangan?” Seru Johan pada seorang cewek berambut hitam pendek.
Gadis itu, bukannya malah tegang atau bingung atau gelisah, tapi dia malah senyum-senyum, senang karena di ajak bicara Johan Watson.
“Tantangan aja deh...”
Johan tampak berpikir-pikir sejenak. “Hmn, enaknya apa ya tantangannya?”
Angel, si fans fanatik yang menyebalkan itu menimpali. “Gimana kalau nyanyi aja?”
Johan mengangguk-angguk. “Nice Idea.”
Seluruh orang yang duduk di meja 1 segera bersorak. “Nyanyi... nyanyi...” Tapi aku cemberut. Pemaksaan banget sih nyuruh orang nyanyi, kalau orangnya lagi sakit batuk gimana? Tapi ternyata si cewek nggak batuk, dan dia malah oke-oke aja di sruh nyanyi.
“Lanjut-lanjut.” Kata Johan.
“Richard Gasquet.”
“Tim Henman.”
“Nicole Vaidisova.”
“Ashley Cooper.”
“Rafael Nadal.”
“Lindsay Davenport.”
“Tommy Haas.”
“Serena Williams.”
Dan aku baru sadar, sekarang giliranku. Aku terlalu terpaku karena ternyata semua yang ikut camp ini memang fans tenis. Aku betul-betul nggak bisa mikir dan walaupun aku berpikir sekeras apapun aku nggak bakal ketemu jawaban yang tepat. S... siapa?
“Stanley Wright.” Jawabku asal.
Stanley yang duduk di sebelahku melongo beberapa saat. Begitu pula dengan semua orang yang duduk di sana. Mereka bingung.
“Emang ada pemain tenis namanya Stanley Wright? Kok aku nggak tahu?” Tanya Johan.
“Ada aja..” Jawabku asal. “Di masa depan.”
Stanley dan Carol langsung saja tertawa. Semua orang tampak tambah bingung. Carol segera menjelaskan di sela tawanya. “Stanley Wright itu kokoku... Pacarnya dia nih...”
“Itu nggak masuk hitungan.” Kata Johan. “Berarti kamu kalah, Kathleen... Ayo, pilih jujur atau tantangan?”
“Err...” Aku berpikir-pikir.
Di sela aku berpikir, Caroline menyeletuk. “Loh, Watson, kok kamu tahu namanya Kathleen? Perasaan tadi aku atau Katy belum nyebutin nama kami?”
Aku melongo sesaat. Haduh, kenapa sih, sahabatku satu ini teliti banget.
“Lho, kita emang udah kenal, kok, dan lagi, aku juga yang ngajak Kathleen ke camp ini.” Jawab Watson enteng.
Serasa petir menyambarku, seluruh tatapan mata di meja 1 itu segera menghunjamku. Mulai dari Carol hingga Stanley. Aku hanya bisa menunduk dan bingung harus bagaimana.
***

Wednesday, July 21, 2010

Always You 4

To My friend: Don't lie to urself...

"Kathleen..." Lagi-lagi sapaan dari Johan datang ketika aku muncul ke permukaan air.
"Oh hi Jo.." Aku balas menyapa sambil menaiki tangga kolam renang.
Johan tersenyum. Senyuman yang membuat sahabatku, Caroline, tergila-gila padanya. "Jadi gimana? Kamu bisa datang ke camp? Kalau bisa, entar aku daftarin."
"Oh.." Tanggapku sambil meraih handukku yang tergantung di kursi. "Aku sudah daftar kok."
"Oh begitu..." Kata Johan. Ia tersenyum, tapi aku cuek saja, nggak minat membalas senyumannya. "Ketemuannya di lapangan tenis ini... mau kujemput?"
Aku mengernyit. "Nggak usah lah... Buat apa? Aku 'kan biasa dateng ke sini jalan kaki. Lagian, aku pergi ke camp bareng cowokku... Jadi ya... kalau aku pergi bareng kamu... Entar dia bakal mikir yang enggak-enggak"
Johan tampak kaget sejenak. "Kamu udah punya cowok? Oh... ya ya..."
***

Pagi itu, lapangan tenis benar-benar penuh. Ternyata banyak sekali orang yang ikut camp. Stanley dan Caroline datang beberapa saat setelah aku. Panitia camp mendata kita terlebih dahulu sebelum kita masuk ke dalam bus.
Dan aku lega, sejauh ini aku belum menemukan batang hidung Johan Watson. Tapi kelihatannya hanya aku yang lega karena absennya si Johan. Semua cewek pada ribut dan ngomel atas ketidak hadiran si Johan Watson. Panitia camp segera menenangkan mereka, "Tenang para ladies, Johan Watson bakal datang beberapa menit lagi." Ujar si panitia camp melalui microphone.
Semua cewek tampak senang. Ya, semua cewek, kecuali aku.
Stanley juga tampak cuek dengan absennya si Johan. Dia jauh lebih senang mengomel dengan alasan karena Caroline memaksa duduk berdua denganku, karena bangku untuk bertiga di bus itu sudah ditempati semua. Akhirnya ia terpaksa duduk berdua dengan cowok kerempeng yang agak aneh.
Beberapa menit kemudian, aku melihat mercedes hitam di luar jendela. Mercedes itu berhenti di parkiran. Setelah mobil mewah itu berhenti, dua penumpangnya keluar. Yang satu adalah laki-laki yang mengenakan kacamata hitam dan gayanya keren. Yang satunya agi adalah seorang cewek berambut coklat panjang dan mengenakan kacamata hitam juga.
"Nah, rupanya sang idola sudah datang tuh!" Ujar si panitia camp.
Tapi nggak ada gemuruh kesenangan, para cewek pada bisik-berbisik.
"Eh, siapa cewek itu?" tanya Caroline.
Aku mengangkat bahu. "Pacarnya mungkin."
"Ah! Jangan sampe!" Caroline menggeleng-geleng.
Johan Watson dan si cewek misterius tadi menaiki tangga bus. Begitu mereka sudah sampai ke dalam bus, si cewek misterius duduk di kursi depan, sedangkan Johan berdiri di bagian depan bus, lalu meraih microphone panitia camp. Bus mulai melaju.
"Selamat pagi semuanya... Maaf atas keterlambatan saya yang telah menunda waktu keberangkatannya... Hmn... masih semangat 'kan tapinya? Pastinya dong! Nah, di camp kali ini, saya selaku panitia camp ini akan menerangkan kegiatan-kegiatan kita selama camp..." Dan bla bla bla.
Aku nggak begitu mendengarkannya. Aku jauh lebih tertarik memandangi pemandangan di luar jendela.
"Nah, paham semuanya? Ada pertanyaan?" Tanya Johan di akhir penjelasannya sambil menyunggingkan senyuman mematikannya yang membuat Caroline meremas lengan pakaianku.
Seorang cewek cantik berambut hitam sebahu yang duduk di kursi belakang berdiri "Aku mau tanya, cewek yang dateng bareng kamu itu siapa?"
Suasana di bus menjadi sangat hening. Sebagian orang tampak kagum dengan keberanian si cewek, sebagian orang tampak serius menatap Johan menunggu jawabannya.
Johan sendiri melongo beberapa saat, lalu akhirnya ia terkekeh. "Dia pacarku."
Cewek-cewek tampak mengeluh. Aku tentu saja nggak mengeluh, ya, walaupun hanya sedikit kaget. Cewek yang tadi berdiri di belakang rupanya masih belum duduk, ia bertanya lagi. "Siapa namanya? Apa kelebihan yang kamu suka darinya? Sejauh ini kulihat dia tampak biasa dan nggak seberapa cocok sama kamu tuh!"
Entah mengapa aku jadi sebel pada cewek yang bertanya itu. Plis deh, sok kecantikan banget! Ya, walau dia emang cantik sih. Tapi aku jadi kasihan banget sama pacar si Johan, aku nggak bisa mbayangin gimana terlukanya dibilang gitu. Tapi ternyata malah banyak cewek bergumam menyetujui perkataan cewek yang berdiri di belakang itu.
"Namanya Erika. Dan aku suka dia tanpa alasan." Jawab Johan dengan tenang sambil menatap pacarnya yang duduk di bagian depan dengan pandangan penuh arti.
***
Kami sampai di batu satu jam kemudian. Sesampainya di villa tempat kami camp, panitia camp membagi-bagi kamar kami dalam kelompok-kelompok. Aku akan sekamar dengan Caroline dan dua orang lagi.
Ngomong-ngomong... Villa yang akan kami tinggali ini berada di pelosok-pelosok dan jauh dari perumahan manapun. Memang tempat yang cocok untuk camp. Selain itu, villa ini besar sekali dan memiliki 3 lapangan tenis. Di hari kedua, lapangan tersebut akan dipakai untuk lomba tenis. Siapapun yang mengikuti camp itu boleh mendaftarkan diri untuk ikut serta dalam lomba tenis itu. Pemenangnya akan mendapatkan sejumlah uang, piala, dan berhak bertanding melawan Johan. Wow, bayangin, bisa tanding bareng petenis nasional. Dan kalau misalnya bisa menang dari Johan, pasti akan memberi kebanggaan pribadi pada diri sendiri.
Tapi tentu saja aku nggak berminat, aku jauh lebih tertarik pada kolam renang villa tersebut. Kolam renangnya dibangun seperti danau di tenggah hutan. Keren banget. Aku udah nggak sabar ingin renang di sana. Tapi sebelum itu, aku ingin istirahat dulu di kamar, capek banget sejam duduk di bus itu.
Ketika aku dan Caroline memasuki kamar kami, aku kaget melihat pacar si Johan, Erika dan gadis cantik menyebalkan yang telah menjelek-jelekkan si Erika berada di kamar, Ternyata dua orang selain aku dan Carol adalah mereka. Wow, benar-benar kebetulan yang mengerikan.
Aku melihat kembali ke daftar nama penghuni kamarku. Erika. Caroline. Kathleen. Angel. Oh, ternyata gadis itu bernama Angel. Ckck... Angel-malaikat, sama sekali nggak cocok buat gadis seperti itu, kurasa.
Angel yang sudah mengenakan baju olahraga kini duduk di depan meja rias melipstiki bibirnya yang sudah pink. Ampun deh, orang ini mau olahraga atau fashion show?
Sedangkan Erika berbaring di tempat tidur dengan pandangan kosong. Ia sudah melepas kacamata hitamnya, dan di balik kacamata hitamnya, wajahnya tampak manis.
Beberapa saat aku memandangi Erika, entah mengapa ada sesuatu yang aneh di wajahnya itu. Wajahnya itu mirip sekali dengan seseorang... tapi aku tidak ingat siapa seseorang tersebut.
Setelah Angel keluar dari kamar, Erika tersenyum. "Funny girl."
Aku dan Caroline saling pandang bingung. Tiba-tiba Erika turun dari ranjangnya lalu menghampiri kami
"Hey... kalian Kathleen dan Caroline 'kan? Semoga kita bisa kerja sama sebagai teman satu kamar ini." Ujar cewek bermata biru itu.
***

Sunday, July 18, 2010

Always You 3

To my friend: Don't say "I don't Love him now" if you still can't forget him

"Kenapa emang?" Tanyaku sambil memutar-mutar sedotanku.
Stanley tersenyum. "Aku di ajak temanku camp tenis di Batu jumat depan... dan mereka nyuruh aku ngajak kamu.."
Aku bengong beberapa detik.Lalu kulirik kertas yang sedang kupegang.Kenapa kok kebetulan sekali camp tenis Johan dan Stanley diadakan di hari dan tempat yang sama?
"Kenapa, hun?" Tanya Stanley bingung.
Kusodorkan kertas yang kupegang pada Stanley."Acara camp temenmu sama dengan camp ini ya?"
Stanley mengernyit sejenak memandang kertas itu. Lalu ia mengambil sesuatu dari saku jinsnya. Stanley mengeluarkan selembar kertas yang sama persis dengan milikku. "Sepertinya iya... Kamu diajak siapa?"
"Emh.. Temen."
"Cewek atau cowok?" Tanya Stanley menyelidik.
Aku paling nggak suka sifat Stanley yang satu ini, curigaan dan cemburuan. Terpaksa aku berbohong, kujawab, "Aku diajak adikmu, Caroline."
Stanley mengangguk-angguk mengerti. "Pantas... Nanti di camp itu 'kan ada idolanya... Petenis yang lagi tenar itu... Siapa tuh namanya?" Johan... Ehm... Johan Watson!" Stanley mengangkat bahu. "Tapi siapa yang ngajak dia? Kayaknya dia nggak punya temen di club tenis ini deh.."
"Ya... entahlah..." Kataku meringis.
Stanley menggangguk-angguk. "Ehm.. Jadi, kamu mau ikut 'kan, hun?"
Aku mengangguk walau sedikit ragu-ragu.
"Sip... sekarang aku harus ngehubungi temenku... Soalnya pesertanya harus di daftar... Peminatnya banyak sih!"
Stanley menekan-nekan tombol hpnya.
"Eh... Caroline daftarin juga aja... Kayaknya dia belum ndaftarin diri."
Tanpa curiga Stanley mengangguk.

***

"Plis plis plis, Rol, kamu dateng ke camp ini ya...and pura-pura jadi orang yang ngajak aku ke camp itu!" Kataku memohon-mohon pada Caroline sambil menyodorkan kertas camp itu.
Caroline yang sedang tidur-tiduran di ranjangnya tampak bingung. "Camp apa sih ini?" Carol mengambil kertas itu dan membacanya sekilas. "Camp Tenis?"
"Ya.. jadi gini..." AKu menceritakan semuanya pada Caroline, kecuali pada poin bahwa yang mengajakku adalah idolanya, Johan Watson. "Kamu nggak mau kan aku tengkar and putus sama kokomu?" Kataku diakhir cerita.
Caroline mengernyit. "Tapi Katy... kamu 'kan tahu aku nggak suka camp-camp beginian! Lagian entar kamu sama koko asyik pacaran, aku ditinggal sendirian. Nggak mau ah..."
Kupasang wajah termelasku sepanjang sejarah hidupku. Tapi Caroline tetap bersih kokoh nggak mau ikut. Terpaksa aku menggunakan jurus terakhir. "Oh ya, di camp ini bakal ada idolamu si Johan Watson itu lho!"
Caroline menatapku. "Serius?"
Aku mengernyit. "Memangnya aku tipe orang yang suka bohong?"
Caroline menggaruk-garuk kepala. "Ya kadang kamu 'kan memang suka bohong. Kamu yakin baby?"
Kuangkat jari telunjuk dan jari tenggahku "Suer deh aku nggak bohong kali ini! Yakin banget aku!"
"Kalau gitu okelah!"

***

Saturday, July 17, 2010

Always You 2





To my friend: Don't Lie... Don't lie to yourself.. :)

"Kathleen..."
Sapaan itu segera saja datang ketika aku muncul ke permukaan air. Kuangkat wajahku dan mendapati Johan berdiri di tepi kolam renang.
"Oh.. hi Jo..." Pelan-pelan kunaiki tangga kolam renang. Lalu aku mengambil handukku yang tergantung di kursi.
"Hari ini minggu." Kata Johan nggak jelas.
Aku masih sibuk mengelap wajahku yang basah. Lalu melepas topi renangku.
"Hari ini minggu," Kata Johan lagi.
Aku menoleh padanya dan memasang wajah "Iya, Minggu, terus kenapa?" tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Ya memang sih Johan atlet yang terkenal, tampan, keren, dan talanted, tapi entah kenapa, aku betul-betul nggak tertarik dan malah agak risih padanya. Hampir tiap hari ia selalu menyapaku dan mengajak ngobrol di tepi kolam renang. Emang dia nggak ada kerjaan lain apa?
"Jadi...Habis gini kamu ada acara nggak?" Tanya Johan.
Aku berpikir sejenak, lalu menjawab. "Ada."
Wajah ceria Johan berubah menjadi kecewa. Aku baru saja hendak berbalik pergi ke kamar ganti, tapi lagi-lagi Johan mencegatku.
"Eh.. bentar.." Johan merogoh tas tenisnya. Lalu ia mengeluarkan selembar kertas. Ia menyodorkan kertas itu padaku. "Club Tenis mau ngadain camp... and kita boleh invite orang luar... jadi aku invite kamu..Kalau bisa, datang ya!"
Aku melirik kertas itu. Lalu mengangguk singkat pada Johan. Jujur aja, aku nggak minat sama sekali. Begitu sampai di ruang ganti, kulipat saja kertas itu sembarangan lalu memasukannya ke dalam tas renangku.
***
Kulirik jam tanganku. Dasar, sudah 1 jam aku menunggu di sini dan orang itu belum muncul-muncul juga. Nggak berperasaan banget sih? Tahu gitu, aku nggak mbela-belain cepet-cepet mandi tadi.
Dengan kesal aku mengaduk-aduk es kopiku dengan sedotan. Huh! Bosen juga kalau begini. Aku butuh sesuatu yang bisa aku baca. Kubuka hpku, tapi nggak ada sms sama sekali. Terpaksa kurogoh-rogoh tas renangku, siapa tahu ada sesuatu. Lalu aku menemukan kertas pemberian Johan tadi. Lumayan lah, bisa dibaca.
Aku mulai membacanya. Camp Tenis itu diadakan 3 hari, dari Jumat depan. Hmn.. aku berpikir sejenak, Jumat depan aku ada kuliah nggak ya? Lho... kenapa kok aku tiba-tiba tertarik ikut camp ini ya? Baru saja aku hendak membaca kertas itu lagi, tapi tiba-tiba sekelilingku gelap. Aku kaget sejenak, lalu aku menggertakkan gigi dengan marah.
"Stanley..." Ujarku ketus.
Stanley terkekeh lalu melepaskan tangannya yang tadi menutupi mataku. Ia berjalan dengan santai ke kursi di sebrangku. Ia duduk dan menatapku dengan wajah tanpa rasa bersalah.
"Sory hun... tadi aku masih ngerjain proyek yang baru ini... jadi lupa waktu..."
Aku nggak menganggapinya. Dengan cuek aku membaca kertas camp tadi, walaupun aku nggak bener-bener membaca. Aku cuma pura-pura membacanya.
"Hun... kamu marah ya?" Tanya Stanley dengan nada sedih.
Tapi aku masih belum mau menanggapinya. Kuteruskan akting cuekku. Huh! Mana mungkin sih ada cewek yang nggak marah disuruh nunggu 1 jam tanpa ada kabar apa-apa? Mana dateng dengan wajah nggak bersalah lagi!
"Hun.. ayolah jangan marah.. Aku minta maaf banget!" Kata Stanley lagi dengan memelas. Tapi aku masih belum menanggapinya. Akhirnya Stanley berdiri, lalu berlutut di sebelahku. "I'm So Sorry Hun..."
Aku bengong. Tapi begitu sadar kami diperhatikan semua orang di cafe itu, aku segera berujar, "Yaya, tak maafin! Cepet berdiri! Diliatin orang!"
Stanley beridiri, lalu duduk kembali di kusinya sambil nyengir. Aku menunduk untuk menutupi wajahku yang sudah semerah tomat ini.
"Hun, Jumat depan ada acara?" Tanya Stanley.
Aku mengernyit. "Entahlah, kayaknya sih nggak ada. Kenapa?"
Stanley tersenyum.
***

Wednesday, July 14, 2010

Day_After_Day




Cerita ini adalah inspirasi dari MV Big Bang.. Haru-haru (Day After Day)

Tanganku mengepal dan wajahku berubah merah karena amarah. Ya, bagaimana tidak marah melihat sahabatku sendiri mengkhianati aku? Terang-terangan ia mesra-mesraan dengan gadis yang kucintai...
Peter sialan! Padahal ia sendiri tahu bagaimana aku mencintai gadis itu. Bagaimana sedihnya aku karena tiba-tiba gadis itu menjauhiku tanpa sebab. Eh, ternyata dia malah mencari kesempatan di dalam kesempitan. Aku tahu... Peter memang mempunyai selera yang sama denganku, tapi... ia sahabatku! Tak mengertikah ia pada perasaanku? Apakah cinta lebih penting dibanding persahabatan kita?
Aku hampir saja membanting handphone yang kugenggam. Untung saja, Ron sudah mencegahku lebih dahulu.
"Bro... sabar..." Kata Ron memegang pundakku.
Tom menimpali. "Ya,bro... Aku tahu kamu jealous... tapi please tahan emosi mu.""
Kupejamkan mataku. Apakah aku bisa menahan emosi ini? Tidak! Aku tidak bisa! Tapi aku harus! Kubuka lagi mataku, dan mendapati Mey tersenyum pada Peter, memeluknya sekilas lalu pergi. Acara perpisahan yang memuakkan.
Begitu Mey menghilang, aku segera menghampiri Peter dan langsung menghajar cowok jangkung itu. Semua pengunjung cafe itu langsung saja menatap kami.
"Brengsek! Pengkhianat!" Bentakku langsung.
Peter mengelus pipinya yang merah. "Dasar... Kekanak-kanakan banget sih kamu, James? Pantes aja Mey ninggalin kamu..."
Telingaku panas mendengarkannya, dan aku baru saja hendak melayangkan tinju kedua, tapi Ron dan Tom sudah menahanku. Aku memberontak. Begitu tangan mereka sedikit longgar menahanku, segera saja kudorong mereka berdua. lalu segera melayangkan tinju keduaku ke arah Peter. Tapi Peter menghindar, dan ia balas mendorongku dengan kasar hingga aku menubruk kursi-kursi. Dengan marah, aku hendak membalas, tapi satpam sudah datang dan menarikku. Aku membentak. "Hey! Sudah bosan pekerjaan rupanya? Anda lupa saya anak pemilik cafe ini?"
Si Satpam mengerut dan langsung melepaskan aku. "Tapi tuan muda.. Anda membuat keributan di sini."
"Suka-suka aku!" Bentakku. Dan aku langsung menoleh pada Peter. "Mulai hari ini... jangan sebut aku sahabatmu lagi! Pengkhianat!"
Aku berbalik pergi, diikuti Ron dan Tom.
***
Aku belum pulang dari rumah sejak hari itu. AKu terus berada di rumah kecil tempat aku dan teman-temanku nongkrong dan nge dance.
Malam ini tempat ini sepi, karena aku menolak Ron dan Tom menemaniku. Aku ingin sendiri. Dan tentu saja si Peter nggak bakal ke sini. Pengkhianat sialan itu!
Dan tanpa sadar, dengan amarahku yang memuncak ini, aku telah memecahkan cermin yang mengantung di tembok rumah ini.
Perlahan air mata meluncur turun dari mataku. Aku betul-betul kecewa. Baik pada Peter, sahabatku sendiri, maupun pada Mey, gadis yang amat sangat kucintai itu.
Benarkah apa yang dikatakan Peter tadi? Mey menjauhiku karena aku terlalu kekanakan? Tapi selama ini, sebelum Mey menjauhiku, dia nggak pernah protes dengan kelakuanku sama sekali.
***
Aku terbengong di kursi penumpang. Sebenarnya aku nggak ingin pergi ke mall di saat amarahku masih meletup-letup ini. Tapi Ron dan Tom memaksaku. Mungkin ke mall bisa me refresh otakku, begitu kata mereka.
Mobil Ron yang berkaca gelap ini membuat kepalaku agak sakit begitu memasuki tempat parkir. Otomatis aku membuka kaca mobil, dan menatap keluar. Pandanganku langsung tertuju pada sbuah mobil yang amat sangat kukenal. Mobil Peter.
Dan di dalam mobil itu, aku mendapati Peter dan Mey sedang mengobrol sambil tertawa-tawa.
Segera saja aku berseru, "Berhenti!"
Ron yang kaget langsung saja menghentikan mobilnya. Aku segera keluar dan berjalan menuju mobil silver Peter. Ku dobrak langsung pintu mobil Peter. Peter yang menyadarinya langsung tersenyum, dan ia malah dengan sengaja merangkul Mey. Mey yang kaget langsung melihat ke arahku. Ia kaget, aku yakin ia amat sangat kaget, tapi gadis berambut hitam panjang itu hanya sebentar memandangku dan langsung menunduk.
Aku kesal. Tapi sepertinya Peter benar, Mey sudah tidak memiliki perasaan padaku.
***
"Ahh!" Teriakku sambil melempar meja ke dinding hingga meja kayu itu jatuh dengan hasil retak di mana-mana. Tapi aku belum puas, kulempar kursi ke arah dinding. Tapi aku masih belum puas, kulempar vas bunga dan benda-benda lain hingga ruangan di rumah kecil itu berantakan.
Aku tahu, Ron dan Tom berada di depan pintu mengawasi. Maafkan aku teman-teman, tapi aku betul-betul sedih, kecewa, marah. Perasaanku sekarang ini tak terlukiskan.
Ketika sadar semua barang sudah kuhancurkan, aku duduk di sudut ruangan dan pikiranku melayang tak fokus.
***
Sudah berapa hari sejak aku menghancurkan ruangan itu dan terduduk di sudut ruangan. Ron dan Tom yang biasanya membawakanku makanan dan minuman. Mereka terus mengajakku ngobrol, walau aku terus saja diam. Dan ketika malam hari, aku menyuruh mereka pulang. AKu tahu, aku jahat harus menjadi seperti ini hanya karena perasaanku, padahal teman-temanku begitu baiknya padaku.
Tapi aku heran, hari ini mereka tidak mengujungiku sama sekali. Dan aku.. lapar sekali... Aku keluar dari ruangan itu, dengan ling lung berjalan di jalan kecil dekat rumah itu.
Tiba-tiba handphoneku berbunyi, dan aku baru sadar, handphoneku ini adalah satu-satunya benda yang tidak kuhancurkan, mungkin karena aku masih berharap telepon dari Mey yang menyatakan bahwa ia minta maaf dan sebenarnya ia tidak mencintai Peter atau apalah.
"Halo?" Sapaku dengan suara serak.
"James? Cepat ke rumah sakit SQ sekarang juga... tentang Mey." Aku kaget.
"Di... di mana?" Tanyaku langsung.
"ICU."
Segera saja aku berlari ke rumah sakit SQ. Rumah sakit itu tidak jauh dari sini. Dan sesampainya disana, aku langsung menaiki tangga dengan tergesa-gesa. Kalang kabut aku mencari ruang ICU.
Di depan Ruangan itu, Ron dan Tom menunggu dengan cemas. Dan aku mendapati Peter di sana juga.
AKu baru saja hendak menghampiri Ron dan Tom, tapi Peter sudah menghampiriku lebih dahulu.
"James."
Aku nggak menghiraukannya.
"Aku tahu kamu sudah sangat membenciku, tapi mengertikah kamu, ini permintaan Mey."
Aku mengernyit tak mengerti.
"3 bulan yang lalu, Mey divonis kanker darah stadium akhir," Kata Peter. "Dia ingin pergi jauh dari kamu. Dia ingin melupakan kamu, agar dia bisa pergi dari dunia ini dengan tenang. Dan lagi... dia juga ingin agar kamu dapat melupakan dia, agar kamu nggak sedih saat kehilangan dia. Maka itu aku menawarkan agar aku pura-pura menjadi pacarnya."
Aku menahan nafas mendengarkannya. Lalu Peter mengeluarkan sebuah boneka kecil. Aku ingat betul bahwa boneka itu kudapat dari hasil bermain tangkap boneka di timezone dan kuberikan pada Mey.
"Dia pernah cerita, bahwa ketika kau memberikan ini, kau berkata bahwa kau ingin bersama dengan dia selamanya, maka itu dia memberikan boneka ini padaku agar aku mengembalikannya padamu, karena ia tahu, dia nggak akan bisa bersama denganmu selamanya."
Aku meraih boneka kecil itu.
"Sebenarnya dia ingin agar aku nggak menceritakan ini padamu. Begitu tahu aku dan kamu tengkar, ia ingin drama ini berakhir agar aku kembali baikan dengamu. Toh dia tahu, bahwa drama ini sia-sia, karena sampai kapan pun, dia tidak akan pernah melupakan kamu! Yang terpenting baginya, drama ini berhasil membuatmu benci dengannya."
Aku menggenggam kuat-kuat boneka kecil itu. Dasar bodoh! Mana mungkin aku bisa membencimu, Mey? Bodoh sekali! Bodoh sekali kamu Mey!!! Teriakku dalam hati. Dan perlahan air mataku mengalir. Aku nggak peduli pada gengsi sebagai cowok sekarang ini.
Peter menepuk pundakku. "Aku tahu perasaanmu, bro. Lebih baik sekarang kita berdoa sambil menunggu keadaan Mey."
Aku menurut. AKu terus berdoa.Tuhan... Plis... selamatkan Mey... Selamatkan dia. Aku tak ingin kehilangan dia, Tuhan.
Tapi jawaban Tuhan lain, Mey yang keluar dari kamar ICU, berbaring dengan jantung yang telah berhenti berdetak. Meninggalkan aku untuk selamanya.
***
Sy_Jy


See Haru-haru MV di sini
Haru-haru Lyrics Translation
Leave

Yeah, Finally I realize that I am nothing without you
I was so wrong, forgive me

Ah ah ah ah~ 

My broken heart like a wave

My shaken heart like a wind 
My heart vanished like smoke
It can’t be removed like a tattoo
I sigh deeply as if a ground is going to cave in
Only dusts are piled up in my mind
(say goodbye)

Yeah, I thought I wouldn’t be able to live even one day without you

But somehow I managed to live on (longer) than I thought
You don’t answer anything as I cry out “I miss you”
I hope for a vain expectation but now it’s useless

What is it about that person next to you, did he make you cry?

Dear can you even see me, did you forget completely?
I am worried, I feel anxiety because I can’t get close nor try to talk to you
I spend long nights by myself, erasing my thoughts a thousand times

Don’t look back and leave

Don’t find me again and live (on)
Because I have no regrets from loving you, take only the good memories
I can bear it in some way
I can stand in some way
You should be happy if you are like this
I become dull day by day (eh eh eh eh)
Oh girl I cry, cry

You’re my all, say goodbye… 


If we pass by each other on the street
Act like you didn’t see me and go the way you were walking to
If you keep thinking about our past memories
I might go look for you secretly


 Always be happy with him, (so) I won’t ever get a different mind
Even smallest regret won’t be left out ever
Please live well as if I should feel jealous

You should always be like that bright sky, like that white cloud

Yes, you should always smile like that as if nothing happened


Don’t look back and leave
Don’t find me again and live (on)
Because I have no regrets from loving you, take only the good memories
I can bear it in some way
I can stand in some way
You should be happy if you are like this
I become dull day by day (eh eh eh eh)


I hope your heart fees relieved
Please forget about me and live (on)
Those tears will dry completely


As time passes by
It would’ve hurt less if we didn’t meet at all (mm)
Hope you will bury our promise of being together forever baby
I pray for you
Don’t look back and leave

Don’t find me again and live (on)
Because I have no regrets from loving you, take only the good memories
I can bear it in some way
I can stand in some way
You should be happy if you are like this
I become dull day by day (eh eh eh eh) 
Oh girl I cry, cry

You’re my all, say goodbye, bye
Oh my love don’t lie, lie
You’re my heart, say goodbye



Tuesday, July 13, 2010

I'm so sorry but I love You 3


Huwah! Orang tua kejam! Masa kamar sudah ku bel berkali-kali, hp sudah kutelpon berkali-kali, masih aja pintunya belum dibuka. Dengan panik aku berjalan berputar-putar di depan kamar. Masa aku harus nunggu sampai pagi di sini? Oh tidak...

Lalu aku baru ingat. Mamaku kan selalu mematikan ponselnya kalau tidur. Pantas saja telponku nggak diangkat-angkat.

Dengan gelisah aku turun dari lift menuju lantai dasar. Begitu sampai di lantai dasar, aku berdiri di sebelah lift sambil berpikir-pikir.

Cara satu-satunya adalah meminta kunci cadangan atau meminta tolong untuk menelponkan telepon kamarku ke resepsionis. Kar'na kuingat bahwa telepon kamar hotel berada tepat di sebelah tempat tidur mama papa. Dengan suara kencang di dekat mereka, aku yakin babi yang sedang tidur pun pasti bangun.

Tapi, masalahnya, aku nggak bisa bahasa Jepang! Ehm, tapi paling nggak aku bisa bahasa inggris, kalau begitu aku mesti merangkai kalimatnya dulu sekarang. Aku nggak mau kelihatan kikuk di depan si resepsionis.

Ketika aku sedang berusaha merangkai kalimat, seseorang berjalan mendekatiku. Tapi aku nggak begitu peduli. Mungkin orang itu mau naik lift. Kuteruskan usahaku merangkai kalimat.

"Eh, permisi, maksudku.." Gumam seseorang dalam bahasa inggris. "Halo."

Aku nggak yakin sapaan itu untukku, tapi kuangkat saja wajahku. Dan dalam sekejap rangkaian kalimat yang sudah kubentuk di otakku bubar semua melihat dua orang yang berada tepat di depanku ini.

"Maaf, aku yakin kamu sedang cemas karena memikirkan ini 'kan?" Tanya Steve Black sambil mengangkat sebuah anting.

Aku tercengang beberapa saat setelah menyadari anting itu milikku. Tangaku secara otomatis memeriksa kedua telingaku, dan benar saja, di telinga kiriku tidak ada anting mengantung.

"Ah...ya... makasih..." Jawabku kikuk sambil meraih anting itu.

Steve tersenyum.

Teman Steve berdeham. "Tadi kamu menjatuhkannya di warung, jadi kami sengaja ke sini untuk mengembalikan itu."

AKu mengangguk. "Oh begitu, terima kasih."

Hening beberapa lama saat aku memasang kembali antingku. Setelah antingku terpasang di telingaku, aku mengangkat wajahku dan mendapati kedua orang itu sedang memandangku bingung.

"Ada apa?" Tanyaku bingung.

***

Aku dan Ar menatap gadis itu dengan bingung. Ya, bagaimana nggak bingung? Gadis ini sudah bertemu aku dua kali, dan dia bahkan nggak minta tanda tangan, minta foto, atau bahkan bertanya "Kau Steve William 'kan?". Ya.. bukannya aku gimana, tapi aku yakin semua orang di jagat raya ini pasti sudah tau aku. AKu artis yang lagi naik daun kar'na film terbaruku. Paling nggak orang pernah melihatku di koran-koran, majalah-majalah atau poster-poster.

Setelah gadis itu memasang antingnya, ia mengangkat wajahnya. Kedua alisnya menyatu, lalu ia bertanya, "Ada apa?"

Ar balas bertanya, "Kamu tahu laki-laki yang berada di sebalahku ini?"

Gadis itu mengangguk "Tahu, Steve Black 'kan? Pemain film 'Enchiago' dan leader 'BlackBeat' 'kan?"

Nah, aku lebih bengong lagi. Dia tau aku, tapi reaksinya tetap biasa.

"Jadi, kamu nggak minta tanda tangan atau foto bareng dengan dia?" Tanya Ar yang sama bingungnya denganku.

Gadis itu tampak bingung juga. Lalu akhirnya ia berujar, "Oh iya ya.. eh... kalau gitu bisakah anda memfoto kami berdua dengan ponselku? Kebetulan aku nggak bawa kertas sama sekali." Gadis itu mengetik-ngetik di ponselnya lalu memberikannya pada Ar.

Secara otomatis aku melesat ke sebelah gadis itu.

Setelah Ar selesai memfoto kami berdua, ia mengembalikan ponsel gadis itu sambil sedikit berbasa-basi. "Anda orang mana?"

"Oh... saya dari Indonesia."

Ar mengangguk-angguk. "Berlibur sendirian?"

Gadis itu menggeleng. "Aku pergi bersama keluarga."

Aku mengernyit. "Lalu, kenapa kok kamu keluar sendirian malam-malam sedingin ini?"

"Er..." Gadis itu tampak ragu-ragu menjawab, "Tadi aku nggak bisa tidur, terus karena keluargaku sudah tidur, jadi aku keluar makan sendirian, lalu..."

"Lalu?" Tanyaku.
***

To Be Continued.. by: Sy_Jy